Home

Senin, 04 Februari 2013

Obsesi Penelitian


Judul : Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Terhadap Hasil belajara Siswa Pada Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Mutu pendidikan merupakan prioritas utama dalam melaksanakan pendidikan. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya misalnya melalui penataran guru – guru, perbaikan kurikulum, pengadaan alat – alat laboraturium dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan sebagai usaha penyesuaian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, oleh karena itu guru di tuntut untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut.
Salah satu komponen yang berpengaruh dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah proses belajar mengajar yang meliputi penggunaan model dan metode mengajar oleh guru. Kemampuan siswa menerima materi pembelajaran di kelas sangat tergantung dari usaha guru dalam mengkondisikan kegiatan pembelajaran agar dapat menarik minat, perhatian siswa dan memancing kinerja pengetahuan siswa lebih lanjut. Salah satu upaya guru yaitu dengan menggunakan model pembelajaran. Dimana dalam sebuah model pembelajaran tersebut, terdapat metode mengajar yang bisa digunakan secara bervariasi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran IPA khususnya di Sekolah Dasar seyogyanya tidak hanya sebatas mentransfer konsep - konsep dari buku oleh guru kepada siswa. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya serta pengembangan lebih lanjut dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar memahami alam sekitar secara ilmiah.
 Menurut T. Sarkim (1998:9), “Hakikat pendidikan IPA harus mencakup tiga dimensi yaitu dimensi produk, keterampilan proses, dan sikap ilmiah”. Maka dari itu dalam pembelajaran IPA dibutuhkan strategi belajar mengajar yang dilengkapi dengan berbagai model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan dimensi pengembangan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Oleh karena itu, guru hendaknya tidak terpaku pada satu model saja, tetapi perlu memilih model lain yang lebih tepat guna mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran yang telah di rumuskan.
Di dalam kegiatan pembelajaran IPA kenyataannya guru kebanyakan menggunakan metode ceramah dan memberi catatan dalam menyampaikan materi pelajarannya. Hal ini menyebabkan siswa menjadi cepat jenuh dan kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Umumnya dalam proses pembelajaran siswa bersikap pasif, mereka baru aktif jika diberikan tugas atau disuruh oleh guru. Metode yang digunakan hanya ceramah, mencatat, pemberian tugas ataupun kegiatan diskusi kelompok yang masih kurang bervariatif sehingga proses pembelajaran yang disajikan guru monoton dan lebih bersifat satu arah.
Jika tidak dilakukan perubahan dalam proses pembelajaran, maka sikap siswa tetap pasif, level berpikirnya pun hanya pada tahap mengingat, hafalan dan jika diberi soal berpikir dan konseptual mereka tidak mampu menyelesaikannya. Akhirnya hasil belajar yang dicapai siswa rendah. Oleh sebab itu, untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih efektif, meningkatkan interaksi dan prestasi belajar siswa, maka perlu adanya model pembelajaran yang tepat diterapkan dalam proses pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan dan interaksi antar siswa adalah model Pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elliot Aronson di Universitas Texas, bahwa model pembelajaran Coopertive Learning tipe jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini memanfaatkan kecendrungan siswa untuk berintraksi dalam kelompok kecil, dimana keberhasilan individu siswa ditentukan oleh keberhasilan kelompoknya.
Menurut Slavin (1997:25), model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.

Model pembelajaran Cooperative Learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu prestasi belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Ibrahim,2000:7). Dengan demikian melalui penggunaan model pembelajaran Cooperative Learning diharapkan siswa aktif dapat memahami konsep-konsep IPA dan memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan dan gagasan dalam memanfaatkan alam sekitarnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini menggunakan bentuk rumusan masalah Asosiatif. Rumusan masalah Asosiatif ini bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Dari rumusan masalah Asosiatif tersebut, peneliti menetapkan hubungan kausal, yaitu hubungan yang bersifat sebab akibat antara variabel independen (variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi) dengan variabel dependen (variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi).
       Rumusan masalah tersebut sebagai berikut :
1.      Bagaimana proses penggunaan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar?
2.      Bagaimana hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw?
3.      Seberapa besar pengaruh penggunaan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar?

C.    Rencana Metode Penelitian
1.      Pendekatan Penelitian
Adapun rencana pendekatan penelitian yang akan digunakan yaitu pendekatan kuantitatif. Sebuah pendekatan yang berlandaskan pada suatu teori. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian ilmiah yang berawal atau berangkat dari suatu masalah, merujuk teori, mengemukakan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.
Penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai pendekatan penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. (Sugiyono, 2009:14).

Fokus penelitian kuantitatif diidentifikasikan sebagai proses kerja yang berlangsung secara ringkas, terbatas dan memilah-milah permasalahan menjadi bagian yang dapat diukur atau dinyatakan dalam angka-angka. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjelaskan, menguji hubungan antar variabel, menentukan kausalitas dari variabel, menguji teori dan mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif (untuk meramalkan suatu gejala).
Penelitian kuantitatif menggunakan instrumen (alat pengumpul data) yang menghasilkan data numerikal (angka). Analisis data dilakukan menggunakan teknik statistik untuk mereduksi dan mengelompokan data, menentukan hubungan serta mengidentifikasikan perbedaan antar kelompok data. Kontrol, instrumen, dan analisis statistik digunakan untuk menghasilkan temuan-temuan penelitian secara akurat. Dengan demikian kesimpulan hasil uji hipotesis yang diperoleh melalui penelitian kuantitatif dapat diberlakukan secara umum.
Berdasarkan definisi mengenai pendekatan kuantitatif yang dikemukakan di atas, maka pendekatan kuantitatif dapat disimpulkan sebagai suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang kita ketahui.. Jadi tujuan dari penelitian kuantiatif  yaitu untuk mengukur suatu teori yang telah ada.

Berikut karakteristik dari pendekatan kuantitatif, dilihat dari berbagai aspek:
a.       Perspektif : menggunakan pendekatan etik yaitu penelitian dilakukan berdasarkan kepentingan dari peneliti itu sendiri berdasarkan suatu teori yang ada. 
b.      Konsep atau teori : bertolak dari konsep variabel dalam teori kemudian dicari datanya melalui quesioner untuk pengukuran variabel - variabelnya.
c.      Hipotesis : merumuskan hipotesis sejak awal, yang berasal dari teori yang relevan yang telah dipilih.
d.      Teknik pengumpulan data : mengutamakan penggunaan quesioner atau angket.
e.       Permasalahan atau tujuan : menanyakan atau ingin mengetahui tingkat pengaruh keeratan kolerasi, atau asosiasi antar variabel atau kadar satu variabel dengan cara pengukuran.
f.       Alur pikir penarikan kesimpulan : berproses secara deduktif  yaitu berawal dari teori kemudian dibuktikan melalui fakta dilapangan.
g.      Segi bentuk sajian data : berupa angka atau tabel
h.      Definisi operasional : menggunakan istilah “definisi operasional” yang merupakan petunjuk bagaimana sebuah variabel diukur, atau menggunakan prespektif etik.
i.        Analisis Data : dilakukan di akhir pengumpulan data dengan menggunakan perhitungan statistik.
j.        Instrumen : instrumennya berupa angket dan quesioner.
k.      Kesimpulan : Penarikan kesimpulan dilakukan sepenuhnya oleh peneliti berdasakan hasil perhitungan atau analisis statistik.
l.        Desain:
1)        Spesifik, jelas, dan rinci
2)        Ditentukan secara mantap sejak awal
3)        Menjadi pegangan langkah demi langkah
m.    Sampel:
1)        Dalam jumlah besar
2)        Bersifat representatif
3)        Sedapat mungkin diambil secara random
4)        Ditentukan sejak awal
n.      Usulan Desain
1)        Luas dan rinci
2)        Literaturnya berhubungan dengan masalah dan variabel yang diteliti
3)        Prosedur yang spesifik dan langkah-langkahnya rinci
4)        Masalah dirumuskan dengan spesifik dan jelas
5)        Hipotesis dirumuskan dengan jelas
6)        Desainnya ditulis secara rinci dan jelas sebelum terjun ke lapangan
o.      Penelitian dapat dianggap selesai ketika semua kegiatan yang direncanakan dapat diselesaikan.
p.        Kepercayaan terhadap hasil penelitian dilihat pada pengujian validitas dan reliabilitas instrumen.

2.      Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif pengaruh (Asosiatif) yaitu mencari pengaruh antara variabel independen atau (variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi) dengan variabel dependen (variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi). Jadi dari variabel tersebut dicari seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.

3.      Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.
Menurut Sugiono (2009:107), “Metode eksperimen adalah  metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan”.
Menurut Moch. Ali (1993:134), “Penelitian eksperimen merupakan  modifikasi kondisi yang dilakukan secara sengaja dan terkontrol dalam menentukan peristiwa atau kejadian, serta pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada peristiwa itu sendiri”.

Menurut Sugiyono (2008:73), terdapat empat bentuk desain eksperimen yang dapat digunakan dalam penelitian yaitu Pre-Experimental Design, True Experimental Designs, Factorial Design, dan Quasi Experimental Design.
Peneliti dalam hal ini memiliki rencana akan menggunakan bentuk desain eksperimen yaitu bentuk Pre-Experimental Designs. Pre-Experimental Designs yaitu belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen. Jadi hasil eksperimen yang merupakan variabel dependen itu bukan semata – mata dipengaruhi oleh variabel independen. Dalam Pre-Experimental Designs terdapat beberapa bentuk yaitu One-Shot Case Study, One-Group Pretest-Posttest Design dan Intact-Group Comparison. Dalam hal ini peneliti memiih One-Group Pretest-Posttest Design.

O1   X   O2
One- Group Pretest-Posttest Design yaitu pada desain ini diberikan pretest terlebih dahulu sebelum diberikan suatu perlakuan. Dengan demikian hasil dari perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberikan suatu perlakuan. Desain ini dapat digambarkan pada gambar 1.1.
O1= nilai pretest (sebelum diberi perlakuan)
O2 = nilai posttest (setelah diberi perlakuan)
Pengaruh perlakuan terhadap prestasi = (O2- O1)

Gambar 1.1 : Desain Metode Eksperimen
Bentuk One-Group Pretest-Posttest Design
  
 Karakteristik dari metode eksperimen jenis Pre-Eksperimental Designs bentuk One-Group Pretest-Posttest Design yaitu:
a.       Metode eksperimen jenis Pre-Eksperimental Designs ini bukan merupakan eksperimen sesungguhnya karena masih terdapat variabel luar yang mempengaruhi terhadap terbentuknya variabel dependen.
b.      Terdapat pretest dan posttest
c.       Dapat mengetahui hasil perlakuan (treatment) secara akurat, karena hasil setelah perlakuan dapat dibandingkan sebelum diberi perlakuan (treatment).
d.      Tidak ada kelas pembanding
Jadi peneliti dalam hal ini akan melakukan eksperimen di Sekolah Dasar pada pembelajaran IPA dengan mengambil sampel dalam suatu kelas tertentu yaitu dengan menerapkan model pembelajaran Coopertive Learnig tipe jigsaw, namun sebelumnya siswa diberikan pretest terlebih dahulu kemudian diketahuilah hasil belajar siswa sebelum diberikan suatu perlakuan yaitu diterapkannya model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw tersebut. Setelah itu baru diterapkanlah model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw tersebut, kemudian di akhir pembelajaran diberikan lagi suatu posttest kepada siswa, maka akhirnya diketahuilah hasil belajar siswa setelah mendapat perlakuan berupa penerapan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw. Kemudian hasilnya kita bandingkan antara hasil pretest sebelum diberikan suatu perlakuan dan hasil posttest setelah diberikan perlakuan. Apabila hasil posttest ternyata lebih besar atau lebih baik dari hasil pretest, maka model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw tersebut berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar, tetapi sebaliknya apabila setelah dibandingkan antara pretest dan posttest ternyata hasilnya relatif sama atau berkurang, maka model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini dapat dikatakan kurang begitu berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.  

4.      Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Adapun rencana teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah melalui teknik instrumen test berupa soal–soal tes yang terdiri dari butir–butir soal yang dibuat peneliti. Tes merupakan serangkaian pertanyaan atau latihan-latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
Peneliti dalam hal ini akan membuat instrumen test sebanyak 2 test yaitu berupa soal–soal yang dibuat untuk diujikan ketika postest sebelum diterapkannya model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw dan test berupa soal – soal untuk posttest yaitu diujikan setelah selesai proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw.
  
BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Model Pembelajaran Cooperative Learning
1.      Pengertian Model Pembelajaran Cooperative Learning
Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang berdasarkan faham konstuktivisme. Pembelajaran Cooperative Learning merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerjasama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran Cooperative Learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Thompson, et al (1995:32), pembelajaran Cooperative Learning turut menambah unsur – unsur interaksi sosial pada pembelajaran IPA. Di dalam pembelajaran Cooperative Learning siswa belajar bersama dalam kelompok – kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku.

Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran Cooperative Learning diajarkan keterampilan–keterampilan khusus agar dapat bekerjasama dengan baik didalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. “Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan”.(Slavin, 1995)
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur - unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal - asalan.
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :
a.       Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
b.      Tanggung jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
c.       Tatap muka.
Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
d.      Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
e.       Evaluasi proses kelompok.
Guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Menurut Kagan terdapat empat prinsip dasar model cooperative learning yakni :
a.       Interaksi yang simultan.
b.      Saling ketergantungan antara anggota.
c.       Tiap individu memiliki tanggung jawab terhadap kelompok.
d.      Peran serta anggota yang seimbang.
Sedangkan menurut Slavin, model Cooperative Learning meliputi tiga konsep utama yaitu :
a.       Pengakuan kelompok (team recognition)
b.      Tanggung jawab individu.
c.       Keseimbangan peluang untuk meraih sukses bersama.
Menurut Slavin (dalam Sanjaya) menyatakan bahwapembelajaran Cooperative Learning dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, karena dua alas an: Pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran Cooperative Learning dapat meningkatkan  prestasi belajar siswa  sekaligus  meningkatkan kemampuan hubungan  sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta  meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran Cooperative Learning dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.

Berdasarkan ungkapan Slavin di atas bahwa melalui model pembelajaran Cooperative Learning inilah setiap potensi siswa dapat diarahkan, baik dalam meningkatkan prestasi belajar dan kaitannya dengan hubungan sosial serta merealisasikan kebutuhan siswa  dalam proses belajar berpikir, memecahkan masalah dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.

2.      Ciri-Ciri Model Pembelajaran Cooperative Learning
Menurut Arends (1997:111), pembelajaran yang menggunakan model Cooperative Learning memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
a.       Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.
b.      Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.       Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda – beda.
d.      Peghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari individu.

Menurut Carin (1993) mengemukakan juga ciri-ciri dari pembelajaran Cooperative Learning yaitu:
a.       Setiap siswa memiliki peran.
b.      Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa.
c.       Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman– teman sekelompoknya.
d.      Guru membantu mengembangkan keterampilan – keterampilan interpersonal kelompok.
e.       Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.

3.      Tujuan Model Pembelajaran Cooperative Learning
"Tujuan model pembelajaran Cooperative Learning berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya”.(Slavin, 1994).

Model pembelajaran Cooperative Learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
a.       Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b.      Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
c.       Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
Menurut Lungdren (1994), mengemukakan bahwa dalam pembelajaran Cooperative Learning siswa tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan – keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan – keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain keterampilan tingkat awal, menengah, dan mahir.

a.       Keterampilan kooperatif tingkat awal
1)      Menggunakan kesepakatan yaitu menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok.
2)      Menghargai kontribusi yaitu memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak individu.
3)      Mengambil giliran dan berbagi tugas yaitu bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab tertentu dalam kelompok.
4)      Berada dalam kelompok yaitu setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung.
5)      Berada dalam tugas yaitu meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.
6)      Mendorong partisipasi yaitu mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
7)      Mengundang orang lain yaitu meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas.
8)      Menyelesaikan tugas dalam waktunya.
9)      Menghormati perbedaan individu yaitu bersikap menghormati terhadap perbedaan budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
b.      Keterampilan kooperatif tingkat menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
c.       Keterampilan kooperatif tingkat mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
4.      Tahap-tahap Model Pembelajaran Cooperative Learning
Prosedur pembelajaran Cooperative Learning pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian dan pengakuan tim.
a.       Penjelasan materi
Tahap ini merupakan tahapan penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama tahapan ini adalah  pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran.
b.      Belajar kelompok 
Tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi, siswa bekerja dalam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.
c.       Penilaian
Penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis, yang dilakukan secara individu atau kelompok. Tes individu akan memberikan penilaian kemampuan individu sedangkan kelompok akan memberikan penilaian pada kemampuan kelompoknya.
d.      Pengakuan tim
Penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi  tim untuk terus berprestasi.
Menurut Arends (1997), urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran Cooperative Learning adalah sebagai berikut:
Fase
Kegiatan Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa baik  dengan peragaan (demontsrasi) atau teks bacaan.
Fase 3
Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok - kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa begaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan secara efisien.
Fase 4
Membantu kerja kelompok dalam belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
Fase 5
Mengetes materi (Evaluasi)
Guru mengetes atau mengevaluasi materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempersentasikan hasil pekerjaan mereka.
Tabel 2.1: Langkah–langkah pembelajaran Cooperative Learning
(Lanjutan)
Fase
Kegiatan Guru
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru memberikan cara - cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Terdapat enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 1997). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan – tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah – langkah dimana siswa dibawah bimbingan guru bekerja bersama – sama untuk mnyelesaikan tugas – tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha – usaha individu.   

B.     Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw
Istilah Jigsaw diartikan sebagai  gergaji atau puzzle yaitu sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji, yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman - teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman - teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001). Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain”. (Arends, 1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 2001).
Gambar 2.2: Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli

Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing - masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Selanjutnya di akhir pembelajaran, siswa diberi kuis secara individu yang mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis dengan baik.
Untuk pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai berikut;
1. Pembagian tugas
2. Pemberian lembar ahli
3. Mengadakan diskusi
4. Mengadakan kuis.
Adapun rencana pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diatur secara instruksional sebagai berikut (Slavin, 1995):
1. Membaca: siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca materi tersebut untuk mendapatkan informasi.
2. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu untuk mendiskusikan topik tersebut.
3. Diskusi kelompok asal: ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan topik pada kelompoknya.
4.  Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencakup semua topik.
5. Penghargaan kelompok: penghitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.
Selanjutnya Stephen, Sikes and Snapp (1978),   mengemukakan juga langkah-langkah pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw yaitu:
1.      Siswa dikelompokan kedalam 1-5 anggota tim
2.      Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
3.      Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
4.      Anggota dari tim  yang berbeda yang telah  mempelajari bagian/sub bab yang sama bertremu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka.
5.      Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
6.      Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
7.      Guru memberikan evalauasi
Lei (1994) menyatakan bahwa jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif dan fleksibel. Banyak riset telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar jigsaw. Riset tersebut secara konsisten menunjukan bahwa siswa yang terlibat di dalam pembelajaran model kooperatif tipe jigsaw ini memperoleh prestasi lebih baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap pembelajaran.
Jhonson and Jhonson (dalam Teti Sobari 2006:31) melakukan penelitian yang hasilnya menunjukan bahwa interaksi kooperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Pengaruh positif tersebut adalah :
1.      Meningkatkan hasil belajar
2.      Meningkatkan daya ingat
3.      Dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi
4.      Mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik
5.      Meningkatkan hubungan antar manusia yang heterogen
6.      Meningkatkan sikap anak yang positif terhadap sekolah
7.      Meningkatkan sikap positif terhadap guru
8.      Meningkatkan harga diri anak
9.      Meningkatkan prilaku penyesuaian sosial yang positif
10.  Meningkatkan keterampilan hidup bergotong royong.
Sebagai salah satu model pembelajaran, model Cooperative Learning tipe jigsaw mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam penerapannya di dalam kelas, menurut Ibrahim, dkk (2000:18) mengemukakan sebagai berikut :
1.      Kelebihan
a.       Dapat mengembangkan hubungan antara pribadi positif diantara siswa yang memiliki kemampuan belajar berbeda.
b.      Menerangkan bimbingan sesama teman.
c.       Rasa harga diri siswa yang lebih tinggi.
d.      Memperbaiki kehadiran.
e.       Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar.
f.       Sikap apatis berkurang.
g.      Pemahaman materi lebih mendalam.
h.      Meningkatkan motivasi belajar.
2.   Kelemahan
a. Jika guru tidak mengingatkan agar siswa selalu menggunakan keterampilan-ketrampilan kooperatif dalam kelompok masing-masing maka dikhawatirkan kelompok akan mengalami kesulitan.
b. Jika jumlah anggota kurang akan menimbulkan masalah, misal jika ada anggota yang hanya membonceng dalam menyelesaikan tugas-tugas yang pasif dalam diskusi.
c. Membutuhkan waktu yang lebih lama apalagi bila penataan ruang belum terkondisi dengan baik.
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam model Cooperative Learning tipe jigsaw terdapat kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dari Cooperative Learning tipe jigsaw ini menekankan siswa dapat lebih mengembangkan hubungan antara siswa secara positif, khususnya dalam hal kemampuan belajar yang berbeda. Selain itu kelebihan jigsaw juga dapat memperbaiki proses belajar siswa, mulai dari pemahaman, sikap, perbedaan antar individu dan juga motivasi siswa. Sedangkan kekurangannya adalah siswa terkadang lupa untuk belajar secara kooperatif, dan banyak masalah yang timbul jika ada anggota yang hanya pasif dalam kelompoknya, selain itu perlu waktu yang benar-benar harus di rancang sebaik mungkin agar pembelajaran tidak menyita waktu.

C.    Hasil Belajar
Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreativitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari pengajar (guru).
“Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya” (Sudjana, 2004 : 22). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 47), “hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar”.
Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Menurut Oemar Hamalik (2006: 30), “hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti”. Dalam rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar Taxonomi Bloom (Sudjana, 2002) secara garis besar menjadi tiga ranah yaitu :
1.      Ranah Kognitif.
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
2.      Ranah Afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3.      Ranah Psikomotorik.
Meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati).

Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih unggul, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.
“Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa” (Sudjana, 2002 : 39). Yang dimaksud faktor dari dalam diri siswa yaitu, perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa “hasil belajar siswa di sekolah 70 % dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30 % dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran”. Dengan demikian faktor yang lebih berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah kemampuan siswa dalam belajar, sedangkan lingkungan sebagai penunjang bagi perubahan hasil belajar siswa.
Perubahan perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik di bidang intelektual (kognitif), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik). Adapun faktor yang datang dari luar diri anak, yaitu dari sekolah tempat anak belajar seperti guru, waktu, sarana dan prasarana belajar, kurikulum, materi, dan suasana belajar.
Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau pikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif.

D.    Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar
1.      Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains yaitu suatu ilmu yang berhubungan dengan alam secara sistematis dan dengan cara di cari tahu. Sehingga IPA bukan hanya pemahaman pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi merupakan suatu proses observasi sehingga kebenarannya dapat diuji secara rasional.
Dengan pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wadah bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, sehingga dikemudian hari dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD/MI, IPA diperlukan dalam kehidupan sehari – hari untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut diatas secara umum dapat dijelaskan bahwa IPA adalah pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh melalui kegiatan ilmiah. Artinya IPA selain sebagai produk yaitu pengetahuan manusia juga sebagai proses yaitu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu guru sebagai ujung tombak dalam meningkatkan kualitas manusia dimasa yang akan datang maka guru dituntut untuk memiliki kemampuan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran IPA dengan baik.
Untuk mewujudkan keinginan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar yang tertuang didalam kurikulum, guru harus mampu menjadi fasilitator dan mampu menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didiknya. Dalam pembelajarannya guru sebanyak harus melibatkan peserta didik secara aktif agar peserta didik mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi.   
Pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung. Dalam pembelajaran tersebut siswa difasilitasi untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses (keterampilan atau kerja ilmiah) dan sikap ilmiah dalam memperoleh pengetahuan ilmiah tentang dirinya dan alam sekitar. Keterampilan proses ini meliputi: keterampilan mengamati dengan seluruh indera; keterampilan menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja; mengajukan pertanyaan; menggolongkan data; menafsirkan data; mengomunikasikan hasil temuan secara beragam, serta menggali dan memilah informasi faktual yang relevan  untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari - hari. Pada prinsipnya, pembelajaran IPA harus dirancang dan dilaksanakan sebagai cara ‘mencari tahu’ dan cara ‘mengerjakan/melakukan’ yang dapat membantu siswa memahami fenomena alam secara mendalam (Depdiknas, 2004:3)
2.      Ruang Lingkup Mata Pelajaran IPA
Ruang lingkup mata pelajaran IPA di SD menurut Kurikulum 2006 meliputi dua dimensi. Paparan kedua dimensi tersebut adalah sebagai berikut .
a.       Kerja ilmiah yang mencakup :
1).  Penyelidikan/Penelitian
Siswa menggali pengetahuan yang berkaitan dengan alam dan produk teknologi melalui refleksi dan analisis untuk merencanakan, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, mengomunikasikan kesimpulan, serta menilai rencana prosedur dan hasilnya.
2).  Berkomunikasi Ilmiah
Siswa mengomunikasikan pengetahuan ilmiah hasil temuan dan kajiannya kepda berbagai kelompok sasaran untuk berbagtai tujuan.
3).  Pengembangan Kreativitas dan Pemecahan Masalah
Siswa mampu berkreativitas dan memecahkan masalah serta membuat keputusan dengan menggunakan metode ilmiah.
4).  Sikap dan Nilai Ilmiah
Siswa mengembangkan sikap ingin tahu, tidak percaya tahayul, jujur dalam menyajikan data fakual, terbuka pada pikiran dan gagasan barum kretif dalam menghasilkan karya ilmiah, peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan, tekun dan teliti.

b.      Pemahaman Konsep dan Penerapannya, yang mencakup :
1). Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan;
2).  Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat, dan gas;
3). Energi dan perubahannyameliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana;
4). Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya,dan benda-benda langit lainnya;
5). Sains, lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat (salingtemas) merupakan penerapan konsep IPA dan saling berkaitan dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya teknologi sederhana termasuk merancang dan membuat.
3.      Kompetensi Pembelajaran IPA
Kompetensi yang merupakan penjabaran dari tujuan Pendidikan Nasional dalam KTSP diartikan oleh Pusat Balitbang Depdiknas sebagai ‘pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak’. Pembelajaran IPA dirancang, dioperasionalkan, dan dievaluasi dengan berorientasi pada pencapaian kompetensi tertentu oleh siswa. Kompetensi tersebut antara lain kompetensi rumpun mata palajaran (standar kompetensi kajian) dan standar kompetensi mata pelajaran.
Kompetensi Rumpun Mata Pelajaran IPA berkaitan dengan pencapaian kompetensi yang meliputi kerja ilmiah dan penguasaan konsep yakni pemahaman dan penerapannya. Sedangkan Standar Kompetensi mata pelajaran IPA di SD/MI adalah :
a.       Mampu bersikap ilmiah dengan penekanan pada sikap ingin tahu, bertanya, bekerjasama, dan peka terhadap makhluk hidup danlingkungan.
b.      Mampu menterjemahkan perilaku alam tentang diri dan lingkungan di sekitar rumah dan sekolah.
c.       Mampu memahami proses pembentukan ilmu dan melakukan inkuiri ilmiah melalui pengamatan dan sekali-kali melakukan penelitian sederhana dalam lingkup pangalamannya.
d.      Mampu memanfaatkan IPA dan merancang atau membuat produk teknologi sederhana dengan menerapkan prinsip IPA dan mampu mengelola lingkungan di sekitar rumah dan sekolah serta memiliki saran atau usul untuk mengatasi dampak negative teknologi di sekitar rumah dan sekolah.
4.      Pembelajaran IPA yang Efektif
       Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:5-6) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai kegiatan belajar mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta didik) serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual masing – masing peserta didik.
       Menurut Depdiknas (2003:7-11) terdapat tujuh ciri utama pembelajaran yang efektif yaitu:
a.       Berpijak pada prinsip konstruktivisme.
Pembelajaran beranjak dari paradigma guru yang memandang bahwa belajar bukanlah proses siswa menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru, melainkan sebagai siswa membangun makna/pemahaman terhadap informasi atau pengalaman. Proses tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain.
b.      Berpusat pada siswa
Siswa memiliki perbedaan satu sama lain. Siswa berbeda dalam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar-baca, siswa lain lebih mudah dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak). Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai karakteristik siswa.
c.         Belajar dengan mengalami
Pembelajaran perlu menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari – hari dan atau dunia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari. Karena itu, semua siswa diharapkan memperoleh pengalaman langsung melalui pengalaman inderawi yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dari melihat, mendengar, meraba, mencicipi, dan mencium.
d.        Mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan emosional.
Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau guru. Dengan kata lain, membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya.
e.         Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan.
Siswa dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan.
f.         Belajar sepanjang hayat
Siswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bisa bertahan dan berhasil dalam menghadapi setiap masalah sambil menjalani proses kehidupan sehari – hari. Karena itu siswa memerlukan fisik dan mental yang kokoh.
g.      Perpaduan kemandirian dan kerjasama. Siswa perlu berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidaritas.

E.     Penelitian yang Dilakukan Orang Lain
Berdasarkan penelitian Skripsi yang dilakukan oleh Diki Kuswandi tahun 2008 yang berjudul “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Tentang Bangun Ruang Melalui Penggunaan Model Cooverative Learning Tipe Jigsaw. (PTK pada Siswa Kelas IV SD Negeri Karang dan Kecamatan Padakembang Kabupaten Tasikmalaya), telah terbukti berdasarkan penelitian tersebut, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada bangun ruang di kelas  IV Sekolah Dasar.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mia Purnamasari UPI dengan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Keliling dan Luas Daerah Persegi, Persegi Panjang. Setelah dilakukan penelitian ternyata terbukti bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi keliling dan luas daerah persegi, persegi panjang di Sekolah Dasar.
    
BAB III
PENUTUP

Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan dan interaksi antar siswa adalah model Pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elliot Aronson di Universitas Texas, bahwa model pembelajaran Coopertive Learning tipe jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini memanfaatkan kecendrungan siswa untuk berintraksi dalam kelompok kecil, dimana keberhasilan individu siswa ditentukan oleh keberhasilan kelompoknya.