Judul : Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw Terhadap Hasil belajara Siswa Pada Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Mutu
pendidikan merupakan prioritas utama dalam melaksanakan pendidikan. Dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya misalnya melalui
penataran guru – guru, perbaikan kurikulum, pengadaan alat – alat laboraturium
dan sebagainya. Hal tersebut
dilakukan sebagai usaha penyesuaian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu pesat, oleh karena itu guru di tuntut untuk dapat mengikuti
perkembangan tersebut.
Salah satu komponen yang
berpengaruh dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah proses
belajar mengajar yang meliputi penggunaan model
dan metode mengajar oleh guru. Kemampuan
siswa menerima materi pembelajaran di kelas sangat tergantung dari usaha guru
dalam mengkondisikan kegiatan pembelajaran agar dapat menarik minat, perhatian
siswa dan memancing kinerja pengetahuan siswa lebih lanjut. Salah satu upaya
guru yaitu dengan menggunakan model pembelajaran. Dimana dalam sebuah model
pembelajaran tersebut,
terdapat metode mengajar yang bisa
digunakan secara bervariasi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran IPA
khususnya di Sekolah Dasar seyogyanya tidak hanya sebatas
mentransfer konsep - konsep dari buku oleh
guru kepada siswa. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitarnya serta pengembangan lebih lanjut dapat menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar memahami alam sekitar
secara ilmiah.
Menurut T. Sarkim
(1998:9), “Hakikat pendidikan IPA harus mencakup tiga dimensi yaitu dimensi
produk, keterampilan proses, dan sikap ilmiah”. Maka dari itu dalam
pembelajaran IPA dibutuhkan strategi belajar
mengajar yang dilengkapi dengan berbagai model
dan metode pembelajaran yang sesuai dengan dimensi pengembangan pembelajaran IPA di Sekolah
Dasar. Oleh karena itu, guru hendaknya
tidak terpaku pada satu model saja,
tetapi perlu memilih model
lain yang lebih tepat guna mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran yang
telah di rumuskan.
Di
dalam kegiatan pembelajaran IPA kenyataannya
guru kebanyakan menggunakan metode ceramah dan
memberi catatan dalam menyampaikan materi pelajarannya. Hal ini menyebabkan
siswa menjadi cepat jenuh dan kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Umumnya dalam proses
pembelajaran siswa bersikap
pasif, mereka baru aktif jika diberikan tugas atau disuruh oleh guru. Metode
yang digunakan hanya
ceramah, mencatat, pemberian
tugas ataupun kegiatan diskusi kelompok yang masih kurang
bervariatif sehingga proses pembelajaran yang disajikan guru monoton dan lebih bersifat satu
arah.
Jika
tidak dilakukan perubahan dalam proses pembelajaran, maka sikap siswa tetap
pasif, level berpikirnya pun hanya pada tahap mengingat, hafalan dan jika
diberi soal berpikir dan konseptual mereka tidak mampu menyelesaikannya.
Akhirnya hasil belajar yang
dicapai siswa rendah. Oleh sebab itu,
untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih efektif, meningkatkan interaksi dan prestasi belajar siswa,
maka perlu adanya
model pembelajaran yang tepat
diterapkan dalam proses
pembelajaran.
Salah
satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan dan interaksi antar siswa
adalah model Pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elliot Aronson di Universitas Texas,
bahwa model pembelajaran Coopertive Learning tipe jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan
prestasi belajar
siswa. Hasil belajar siswa yang
menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini lebih tinggi
dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Model pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw ini memanfaatkan
kecendrungan siswa untuk berintraksi dalam kelompok kecil, dimana keberhasilan individu siswa ditentukan oleh
keberhasilan kelompoknya.
Menurut
Slavin (1997:25), model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw merupakan
model pembelajaran kooperatif
dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri
dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan positif
dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus
dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.
“Model
pembelajaran Cooperative Learning
dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya
tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu prestasi belajar akademik, penerimaan
terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial” (Ibrahim,2000:7). Dengan demikian melalui
penggunaan model pembelajaran Cooperative
Learning diharapkan siswa aktif dapat memahami konsep-konsep IPA dan
memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan dan gagasan dalam memanfaatkan
alam sekitarnya.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe
Jigsaw Terhadap
Hasil
Belajar
Siswa Pada Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, rumusan
masalah penelitian ini menggunakan bentuk rumusan masalah Asosiatif. Rumusan
masalah Asosiatif ini bersifat
menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Dari rumusan masalah Asosiatif tersebut, peneliti
menetapkan hubungan kausal, yaitu
hubungan yang bersifat sebab akibat antara variabel independen (variabel
bebas atau variabel yang mempengaruhi) dengan variabel dependen
(variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi).
Rumusan masalah tersebut sebagai
berikut :
1.
Bagaimana proses penggunaan
model pembelajaran Cooperative Learning
tipe jigsaw pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar?
2. Bagaimana hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di
Sekolah Dasar dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw?
3.
Seberapa besar
pengaruh penggunaan model pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di
Sekolah Dasar?
C.
Rencana Metode Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian
Adapun rencana pendekatan penelitian yang akan digunakan
yaitu pendekatan kuantitatif. Sebuah pendekatan yang
berlandaskan pada suatu teori. Pendekatan
kuantitatif merupakan penelitian ilmiah yang berawal atau berangkat dari suatu masalah,
merujuk teori, mengemukakan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data,
dan membuat kesimpulan.
Penelitian
kuantitatif dapat diartikan sebagai pendekatan penelitian yang berlandaskan
pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel
tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan. (Sugiyono, 2009:14).
Fokus penelitian kuantitatif diidentifikasikan sebagai
proses kerja yang berlangsung secara ringkas, terbatas dan memilah-milah
permasalahan menjadi bagian yang dapat diukur atau dinyatakan dalam
angka-angka. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjelaskan, menguji hubungan
antar variabel, menentukan kausalitas dari variabel, menguji teori dan mencari
generalisasi yang mempunyai nilai prediktif (untuk meramalkan suatu gejala).
Penelitian kuantitatif
menggunakan instrumen (alat pengumpul data) yang menghasilkan data numerikal
(angka). Analisis data dilakukan menggunakan teknik statistik untuk mereduksi
dan mengelompokan data, menentukan hubungan serta mengidentifikasikan perbedaan
antar kelompok data. Kontrol, instrumen, dan analisis statistik digunakan untuk
menghasilkan temuan-temuan penelitian secara akurat. Dengan demikian kesimpulan
hasil uji hipotesis yang diperoleh melalui penelitian kuantitatif dapat
diberlakukan secara umum.
Berdasarkan
definisi mengenai pendekatan kuantitatif yang dikemukakan di atas, maka pendekatan kuantitatif dapat
disimpulkan sebagai suatu
proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat
menganalisis keterangan mengenai apa yang kita ketahui.. Jadi tujuan dari
penelitian kuantiatif yaitu untuk
mengukur suatu teori yang telah ada.
Berikut
karakteristik dari pendekatan kuantitatif, dilihat dari berbagai aspek:
a.
Perspektif : menggunakan
pendekatan etik yaitu penelitian dilakukan berdasarkan kepentingan dari
peneliti itu sendiri berdasarkan suatu teori yang ada.
b.
Konsep atau teori :
bertolak dari konsep variabel dalam teori kemudian
dicari datanya melalui quesioner
untuk pengukuran variabel - variabelnya.
c.
Hipotesis : merumuskan
hipotesis sejak awal, yang berasal dari teori yang relevan yang telah dipilih.
d.
Teknik pengumpulan data
: mengutamakan penggunaan quesioner atau angket.
e.
Permasalahan atau
tujuan : menanyakan atau ingin mengetahui tingkat
pengaruh keeratan kolerasi, atau asosiasi antar variabel atau kadar satu
variabel dengan cara pengukuran.
f.
Alur pikir penarikan kesimpulan : berproses secara
deduktif yaitu berawal dari teori kemudian dibuktikan
melalui fakta dilapangan.
g.
Segi bentuk sajian data : berupa angka atau tabel
h.
Definisi
operasional : menggunakan istilah “definisi
operasional” yang merupakan petunjuk bagaimana sebuah variabel diukur, atau
menggunakan prespektif etik.
i.
Analisis Data : dilakukan
di akhir
pengumpulan data dengan menggunakan perhitungan statistik.
j.
Instrumen : instrumennya
berupa angket dan quesioner.
k.
Kesimpulan : Penarikan
kesimpulan dilakukan sepenuhnya oleh peneliti berdasakan hasil perhitungan atau
analisis statistik.
l.
Desain:
1)
Spesifik, jelas, dan rinci
2)
Ditentukan secara
mantap sejak awal
3)
Menjadi pegangan
langkah demi langkah
m. Sampel:
1)
Dalam jumlah besar
2)
Bersifat representatif
3)
Sedapat mungkin diambil secara random
4)
Ditentukan sejak awal
n. Usulan
Desain
1)
Luas dan rinci
2)
Literaturnya
berhubungan dengan masalah dan variabel yang diteliti
3)
Prosedur yang spesifik
dan langkah-langkahnya rinci
4)
Masalah dirumuskan
dengan spesifik dan jelas
5)
Hipotesis dirumuskan
dengan jelas
6)
Desainnya ditulis
secara rinci dan jelas sebelum terjun ke lapangan
o. Penelitian
dapat dianggap selesai ketika semua kegiatan yang direncanakan dapat
diselesaikan.
p.
Kepercayaan terhadap
hasil penelitian dilihat pada pengujian validitas dan reliabilitas instrumen.
2.
Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis penelitian kuantitatif pengaruh (Asosiatif) yaitu mencari
pengaruh antara variabel independen atau (variabel
bebas atau variabel yang mempengaruhi) dengan variabel dependen
(variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi). Jadi dari variabel
tersebut dicari seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen.
3.
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen. Metode penelitian
eksperimen merupakan metode penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu
terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.
Menurut Sugiono (2009:107), “Metode
eksperimen adalah metode penelitian yang
digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam
kondisi yang terkendalikan”.
Menurut Moch. Ali (1993:134),
“Penelitian eksperimen merupakan modifikasi
kondisi yang dilakukan secara sengaja dan terkontrol dalam menentukan peristiwa
atau kejadian, serta pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada peristiwa
itu sendiri”.
Menurut Sugiyono (2008:73), terdapat empat bentuk desain eksperimen yang dapat
digunakan dalam penelitian yaitu Pre-Experimental
Design, True Experimental Designs, Factorial Design, dan Quasi Experimental
Design.
Peneliti
dalam hal ini memiliki rencana akan menggunakan bentuk desain eksperimen yaitu
bentuk Pre-Experimental Designs. Pre-Experimental Designs yaitu belum
merupakan eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel luar yang
ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen. Jadi hasil eksperimen
yang merupakan variabel dependen itu bukan semata – mata dipengaruhi oleh
variabel independen. Dalam Pre-Experimental
Designs terdapat beberapa bentuk yaitu One-Shot
Case Study, One-Group Pretest-Posttest Design dan Intact-Group Comparison. Dalam hal ini peneliti memiih One-Group Pretest-Posttest Design.
O1 X O2
|
O1= nilai pretest
(sebelum diberi perlakuan)
O2 = nilai posttest (setelah diberi perlakuan)
Pengaruh perlakuan terhadap prestasi = (O2- O1)
Gambar 1.1 : Desain
Metode Eksperimen
Bentuk One-Group Pretest-Posttest Design
Karakteristik dari metode eksperimen
jenis Pre-Eksperimental Designs
bentuk One-Group Pretest-Posttest Design yaitu:
a.
Metode eksperimen jenis
Pre-Eksperimental Designs ini bukan merupakan
eksperimen sesungguhnya karena masih terdapat variabel luar yang mempengaruhi
terhadap terbentuknya variabel dependen.
b.
Terdapat pretest dan posttest
c.
Dapat mengetahui hasil
perlakuan (treatment) secara akurat,
karena hasil setelah perlakuan dapat dibandingkan sebelum diberi perlakuan (treatment).
d.
Tidak ada kelas
pembanding
Jadi peneliti dalam hal ini akan melakukan eksperimen di
Sekolah Dasar pada pembelajaran IPA dengan mengambil sampel dalam suatu kelas
tertentu yaitu dengan menerapkan model pembelajaran Coopertive Learnig tipe jigsaw, namun sebelumnya siswa diberikan pretest terlebih dahulu kemudian
diketahuilah hasil belajar siswa sebelum diberikan suatu perlakuan yaitu
diterapkannya model pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw tersebut. Setelah itu baru diterapkanlah model
pembelajaran Cooperative Learning
tipe jigsaw tersebut, kemudian di akhir pembelajaran diberikan lagi suatu posttest kepada siswa, maka akhirnya diketahuilah
hasil belajar siswa setelah mendapat perlakuan berupa penerapan model
pembelajaran Cooperative Learning
tipe jigsaw. Kemudian hasilnya kita bandingkan antara hasil pretest sebelum diberikan suatu
perlakuan dan hasil posttest setelah
diberikan perlakuan. Apabila hasil posttest
ternyata lebih besar atau lebih baik dari hasil pretest, maka model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw tersebut berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar, tetapi sebaliknya apabila
setelah dibandingkan antara pretest
dan posttest ternyata hasilnya
relatif sama atau berkurang, maka model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini dapat dikatakan kurang begitu berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.
4.
Teknik dan Instrumen
Pengumpulan Data
Adapun rencana teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
adalah melalui teknik instrumen test berupa soal–soal tes yang terdiri dari
butir–butir soal yang dibuat peneliti. Tes merupakan serangkaian pertanyaan
atau latihan-latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan,
intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
Peneliti dalam hal ini akan membuat instrumen test
sebanyak 2 test yaitu berupa soal–soal yang dibuat untuk diujikan ketika postest sebelum diterapkannya model
pembelajaran Cooperative Learning
tipe jigsaw dan test berupa soal – soal untuk posttest yaitu diujikan setelah selesai proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Model Pembelajaran Cooperative
Learning
1.
Pengertian Model Pembelajaran Cooperative Learning
Dalam
pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya
dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk
belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative
Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang berdasarkan faham
konstuktivisme. Pembelajaran Cooperative
Learning merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota
kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerjasama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran Cooperative Learning, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran.
Menurut Thompson, et al (1995:32), pembelajaran Cooperative Learning turut menambah unsur – unsur interaksi sosial
pada pembelajaran IPA. Di dalam pembelajaran Cooperative Learning siswa
belajar bersama dalam kelompok – kelompok kecil yang saling membantu satu sama
lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa,
dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari
campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku.
Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan
dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Pada pembelajaran Cooperative Learning diajarkan
keterampilan–keterampilan khusus agar dapat bekerjasama dengan baik didalam
kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan
yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. “Selama
kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan”.(Slavin,
1995)
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model
pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar
belajar kelompok, tetapi ada unsur - unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian
kelompok yang dilakukan asal - asalan.
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa
tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative
Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong
royong yaitu :
a.
Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan
suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan
kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa
sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang
lain dapat mencapai tujuan mereka.
b.
Tanggung jawab perseorangan.
Jika
tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan
merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif
dalam model pembelajaran Cooperative
Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga
masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri
agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
c.
Tatap muka.
Dalam
pembelajaran Cooperative Learning setiap
kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi
yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai
perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
d.
Komunikasi antar anggota.
Unsur
ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan
berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada
kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga
merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat
bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan
perkembangan mental dan emosional para siswa.
e.
Evaluasi proses kelompok.
Guru perlu menjadwalkan
waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil
kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Menurut Kagan terdapat
empat prinsip dasar model cooperative
learning yakni :
a.
Interaksi
yang simultan.
b.
Saling
ketergantungan antara anggota.
c.
Tiap individu
memiliki tanggung jawab terhadap kelompok.
d.
Peran serta
anggota yang seimbang.
Sedangkan menurut Slavin,
model Cooperative Learning meliputi
tiga konsep utama yaitu :
a.
Pengakuan
kelompok (team recognition)
b.
Tanggung
jawab individu.
c.
Keseimbangan
peluang untuk meraih sukses bersama.
Menurut Slavin (dalam Sanjaya) menyatakan bahwa “pembelajaran Cooperative Learning
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, karena dua alas an: Pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran Cooperative Learning dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus
meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima
kekurangan diri dan orang lain, serta meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran Cooperative
Learning dapat merealisasikan kebutuhan
siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan
pengetahuan dengan keterampilan.
Berdasarkan
ungkapan Slavin di atas bahwa
melalui model pembelajaran Cooperative Learning inilah setiap potensi siswa dapat diarahkan, baik
dalam meningkatkan prestasi belajar dan kaitannya dengan hubungan sosial
serta merealisasikan
kebutuhan siswa dalam proses belajar berpikir, memecahkan masalah dan
mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.
2. Ciri-Ciri
Model Pembelajaran Cooperative Learning
Menurut Arends (1997:111), pembelajaran yang
menggunakan model Cooperative Learning memiliki
ciri – ciri sebagai berikut:
a.
Siswa bekerja
dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.
b.
Kelompok
dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.
Jika mungkin,
anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda –
beda.
d.
Peghargaan
lebih berorientasi pada kelompok dari individu.
Menurut Carin (1993) mengemukakan juga ciri-ciri
dari pembelajaran Cooperative Learning
yaitu:
a.
Setiap siswa
memiliki peran.
b.
Terjadi
hubungan interaksi langsung diantara siswa.
c.
Setiap
anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman– teman
sekelompoknya.
d.
Guru membantu
mengembangkan keterampilan – keterampilan interpersonal kelompok.
e.
Guru hanya
berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
3. Tujuan Model Pembelajaran Cooperative Learning
"Tujuan model pembelajaran Cooperative Learning berbeda dengan kelompok tradisional
yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan
individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari
pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan
individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya”.(Slavin, 1994).
Model pembelajaran Cooperative
Learning dikembangkan untuk mencapai
setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim,
et al. (2000), yaitu:
a.
Hasil belajar akademik
Dalam
belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki
prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli
berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep
sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur
penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping
mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif
dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas
yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b.
Penerimaan terhadap perbedaan
individu
Tujuan
lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar
saling menghargai satu sama lain.
c.
Pengembangan keterampilan
sosial
Tujuan
penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa
keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial,
penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam
keterampilan sosial.
Menurut Lungdren (1994), mengemukakan bahwa dalam
pembelajaran Cooperative Learning siswa
tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus
mempelajari keterampilan – keterampilan khusus yang disebut keterampilan
kooperatif. Keterampilan – keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain
keterampilan tingkat awal, menengah, dan mahir.
a.
Keterampilan kooperatif
tingkat awal
1)
Menggunakan
kesepakatan yaitu menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan
kerja dalam kelompok.
2)
Menghargai
kontribusi yaitu memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau
dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan anggota
lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak
individu.
3)
Mengambil
giliran dan berbagi tugas yaitu bahwa setiap anggota kelompok bersedia
menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab tertentu dalam
kelompok.
4)
Berada dalam
kelompok yaitu setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan
berlangsung.
5)
Berada dalam
tugas yaitu meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, agar kegiatan dapat
diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.
6)
Mendorong
partisipasi yaitu mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi
terhadap tugas kelompok.
7)
Mengundang
orang lain yaitu meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap
tugas.
8)
Menyelesaikan
tugas dalam waktunya.
9)
Menghormati
perbedaan individu yaitu bersikap menghormati terhadap perbedaan budaya, suku,
ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
b.
Keterampilan
kooperatif tingkat menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan
penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat
diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan,
mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
c.
Keterampilan
kooperatif tingkat mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi,
memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan
berkompromi.
4. Tahap-tahap
Model Pembelajaran Cooperative Learning
Prosedur
pembelajaran Cooperative Learning pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu penjelasan materi, belajar dalam kelompok,
penilaian dan pengakuan
tim.
a. Penjelasan
materi
Tahap ini merupakan tahapan penyampaian
pokok-pokok materi
pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama tahapan ini
adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran.
b.
Belajar kelompok
Tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi,
siswa bekerja dalam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.
c. Penilaian
Penilaian dalam
pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis, yang dilakukan
secara individu atau kelompok. Tes individu akan memberikan penilaian kemampuan
individu sedangkan kelompok akan memberikan penilaian pada kemampuan
kelompoknya.
d. Pengakuan tim
Penetapan tim yang
dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan
penghargaan atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi tim untuk terus
berprestasi.
Menurut Arends
(1997), urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran Cooperative Learning adalah sebagai
berikut:
Fase
|
Kegiatan
Guru
|
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase 2
Menyajikan informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa baik dengan peragaan (demontsrasi) atau teks
bacaan.
|
Fase 3
Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok - kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa begaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan secara efisien.
|
Fase 4
Membantu kerja kelompok dalam belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas.
|
Fase 5
Mengetes materi (Evaluasi)
|
Guru mengetes atau mengevaluasi materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok mempersentasikan hasil pekerjaan mereka.
|
Tabel 2.1: Langkah–langkah pembelajaran Cooperative
Learning
(Lanjutan)
Fase
|
Kegiatan Guru
|
Fase 6
Memberikan
penghargaan
|
Guru memberikan cara - cara untuk
menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
|
Terdapat enam fase utama
dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 1997). Pembelajaran dalam kooperatif
dimulai dengan guru menginformasikan tujuan – tujuan dari pembelajaran dan
memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi,
sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah – langkah
dimana siswa dibawah bimbingan guru bekerja bersama – sama untuk mnyelesaikan
tugas – tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran
kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang
telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha – usaha individu.
B.
Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw
Istilah Jigsaw diartikan sebagai gergaji atau puzzle yaitu
sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini mengambil pola cara
bekerja sebuah gergaji, yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan
cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan
diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman - teman di Universitas
Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman - teman di Universitas John
Hopkins (Arends, 2001). Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran
kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan
materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
“Model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa
belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan
bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas
ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan
materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain”. (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan
juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang
diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi
tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling
tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk
mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim
yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling
membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa
itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok
yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim
ahli.
Pada model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal
yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan
latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari
beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota
kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami
topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya
untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok
asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 2001).
Gambar
2.2: Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli
Para anggota dari
kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli
untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing - masing anggota
kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut.
Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada
kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka
dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut saling
ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya.
Selanjutnya di akhir pembelajaran, siswa diberi kuis secara individu yang
mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah
interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi
yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis dengan baik.
Untuk pelaksanaan
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai
berikut;
1. Pembagian tugas
2. Pemberian lembar ahli
3. Mengadakan diskusi
4. Mengadakan kuis.
Adapun rencana
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diatur secara instruksional sebagai
berikut (Slavin, 1995):
1. Membaca: siswa
memperoleh topik-topik ahli dan membaca materi tersebut untuk mendapatkan
informasi.
2. Diskusi kelompok ahli:
siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu untuk mendiskusikan topik
tersebut.
3. Diskusi kelompok asal: ahli kembali ke
kelompok asalnya untuk menjelaskan topik pada kelompoknya.
4. Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencakup semua topik.
5. Penghargaan kelompok:
penghitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.
Selanjutnya Stephen, Sikes and Snapp (1978), mengemukakan juga
langkah-langkah pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw yaitu:
1.
Siswa dikelompokan kedalam 1-5
anggota tim
2.
Tiap orang dalam tim diberi
bagian materi yang berbeda
3.
Tiap orang dalam tim diberi
bagian materi yang ditugaskan
4.
Anggota dari tim yang
berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertremu dalam
kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka.
5.
Setelah selesai diskusi sebagai
tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman
satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan
dengan sungguh-sungguh.
6.
Tiap tim ahli mempresentasikan
hasil diskusi
7.
Guru memberikan evalauasi
Lei (1994) menyatakan bahwa jigsaw merupakan
salah satu tipe pembelajaran kooperatif dan fleksibel. Banyak riset telah
dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar jigsaw. Riset tersebut secara
konsisten menunjukan bahwa siswa yang terlibat di dalam pembelajaran model
kooperatif tipe jigsaw ini
memperoleh prestasi lebih baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih
positif terhadap pembelajaran.
Jhonson and Jhonson (dalam Teti Sobari 2006:31) melakukan penelitian yang
hasilnya menunjukan bahwa interaksi kooperatif memiliki berbagai pengaruh
positif terhadap perkembangan anak. Pengaruh positif tersebut adalah :
1.
Meningkatkan hasil belajar
2.
Meningkatkan daya ingat
3.
Dapat digunakan untuk mencapai
tarap penalaran tingkat tinggi
4.
Mendorong tumbuhnya motivasi
intrinsik
5.
Meningkatkan hubungan antar
manusia yang heterogen
6.
Meningkatkan sikap anak yang
positif terhadap sekolah
7.
Meningkatkan sikap positif
terhadap guru
8.
Meningkatkan harga diri anak
9.
Meningkatkan prilaku penyesuaian
sosial yang positif
10. Meningkatkan keterampilan hidup bergotong royong.
Sebagai salah satu model pembelajaran,
model Cooperative
Learning tipe jigsaw mempunyai
kelebihan dan kelemahan dalam penerapannya di dalam kelas, menurut Ibrahim, dkk
(2000:18) mengemukakan sebagai berikut :
1. Kelebihan
a. Dapat
mengembangkan hubungan antara pribadi positif diantara siswa yang memiliki
kemampuan belajar berbeda.
b. Menerangkan
bimbingan sesama teman.
c. Rasa
harga diri siswa yang lebih tinggi.
d. Memperbaiki
kehadiran.
e. Penerimaan
terhadap perbedaan individu lebih besar.
f. Sikap
apatis berkurang.
g. Pemahaman
materi lebih mendalam.
h. Meningkatkan
motivasi belajar.
2. Kelemahan
a. Jika guru tidak
mengingatkan agar siswa selalu menggunakan keterampilan-ketrampilan kooperatif
dalam kelompok masing-masing maka dikhawatirkan kelompok akan mengalami
kesulitan.
b. Jika jumlah
anggota kurang akan menimbulkan masalah, misal jika ada anggota yang hanya
membonceng dalam menyelesaikan tugas-tugas yang pasif dalam diskusi.
c. Membutuhkan
waktu yang lebih lama apalagi bila penataan ruang belum terkondisi dengan baik.
Dari
pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam model Cooperative
Learning tipe jigsaw terdapat
kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dari Cooperative Learning tipe jigsaw ini menekankan siswa
dapat lebih mengembangkan hubungan antara siswa secara positif, khususnya dalam
hal kemampuan belajar yang berbeda. Selain itu kelebihan jigsaw juga
dapat memperbaiki proses belajar siswa, mulai dari pemahaman, sikap, perbedaan
antar individu dan juga motivasi siswa. Sedangkan kekurangannya adalah siswa
terkadang lupa untuk belajar secara kooperatif, dan banyak masalah yang timbul
jika ada anggota yang hanya pasif dalam kelompoknya, selain itu perlu waktu
yang benar-benar harus di rancang sebaik mungkin agar pembelajaran tidak
menyita waktu.
C.
Hasil Belajar
Belajar dan mengajar
merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus
dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk
pada apa yang seharusnya dilakukan seorang guru sebagai pengajar. Dua
konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu
kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang
dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil
bisa juga melalui kreativitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai
pengajar. Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan
dari pengajar (guru).
“Hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya”
(Sudjana, 2004 : 22). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa
setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat
mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut
Dimyati dan Mudjiono (2006: 47), “hasil belajar merupakan hal yang dapat
dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa,
hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar”.
Tingkat perkembangan mental
tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan
pelajaran.
Menurut Oemar Hamalik
(2006: 30), “hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi
perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu
menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti”. Dalam rumusan tujuan
pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan intruksional, menggunakan
klasifikasi hasil belajar Taxonomi Bloom (Sudjana, 2002) secara garis besar menjadi tiga ranah
yaitu :
1.
Ranah Kognitif.
Berkenaan
dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
2.
Ranah Afektif
Berkenaan
dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu
menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan
suatu nilai atau kompleks nilai.
3.
Ranah Psikomotorik.
Meliputi
keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular
(menghubungkan, mengamati).
Tipe
hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena
lebih unggul, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi
bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.
“Hasil belajar yang dicapai
siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor
dari luar diri siswa” (Sudjana, 2002 : 39). Yang dimaksud faktor dari dalam
diri siswa yaitu, perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan
oleh Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa “hasil belajar siswa di sekolah 70 %
dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30 % dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian
juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa
kualitas pembelajaran”. Dengan demikian faktor yang lebih berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa adalah kemampuan siswa dalam belajar, sedangkan lingkungan
sebagai penunjang bagi perubahan hasil belajar siswa.
Perubahan perilaku dalam
proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya
berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila
terjadi perubahan dalam diri individu. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh
kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud
adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik
di bidang intelektual (kognitif), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku
(psikomotorik). Adapun faktor yang datang dari luar diri anak, yaitu dari
sekolah tempat anak belajar seperti guru, waktu, sarana dan prasarana belajar,
kurikulum, materi, dan suasana belajar.
Dengan demikian hasil
belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha
atau pikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan,
pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan
sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap,
pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan
sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif.
D.
Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar
1.
Pembelajaran IPA
Ilmu
Pengetahuan Alam atau Sains yaitu suatu ilmu yang berhubungan dengan alam
secara sistematis dan dengan cara di cari tahu. Sehingga IPA bukan hanya
pemahaman pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip saja tetapi merupakan suatu proses observasi sehingga
kebenarannya dapat diuji secara rasional.
Dengan
pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wadah bagi peserta didik untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, sehingga dikemudian hari dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya
menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan
untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Menurut
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SD/MI, IPA diperlukan dalam
kehidupan sehari – hari untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penerapan IPA perlu
dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Di
tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar
untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan
kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Berdasarkan
beberapa penjelasan tersebut diatas secara umum dapat dijelaskan bahwa IPA
adalah pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh melalui kegiatan ilmiah.
Artinya IPA selain sebagai produk yaitu pengetahuan manusia juga sebagai proses
yaitu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu guru
sebagai ujung tombak dalam meningkatkan kualitas manusia dimasa yang akan
datang maka guru dituntut untuk memiliki kemampuan dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran IPA dengan baik.
Untuk
mewujudkan keinginan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar yang tertuang didalam
kurikulum, guru harus mampu menjadi fasilitator dan mampu menciptakan
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didiknya. Dalam
pembelajarannya guru sebanyak harus melibatkan peserta didik secara aktif agar
peserta didik mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali
berbagai potensi.
Pembelajaran IPA menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung. Dalam pembelajaran tersebut siswa
difasilitasi untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses (keterampilan
atau kerja ilmiah) dan sikap ilmiah dalam memperoleh pengetahuan ilmiah tentang
dirinya dan alam sekitar. Keterampilan proses ini meliputi: keterampilan
mengamati dengan seluruh indera; keterampilan menggunakan alat dan bahan secara
benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja; mengajukan pertanyaan;
menggolongkan data; menafsirkan data; mengomunikasikan hasil temuan secara
beragam, serta menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan
masalah sehari - hari. Pada prinsipnya, pembelajaran IPA harus
dirancang dan dilaksanakan sebagai cara ‘mencari tahu’ dan cara
‘mengerjakan/melakukan’ yang dapat membantu siswa memahami fenomena alam secara
mendalam (Depdiknas, 2004:3)
2.
Ruang
Lingkup Mata
Pelajaran IPA
Ruang lingkup
mata pelajaran IPA di SD menurut Kurikulum 2006 meliputi dua dimensi. Paparan
kedua dimensi tersebut adalah sebagai berikut .
a. Kerja
ilmiah yang mencakup :
1). Penyelidikan/Penelitian
Siswa
menggali pengetahuan yang berkaitan dengan alam dan produk teknologi melalui refleksi
dan analisis untuk merencanakan, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data,
mengomunikasikan kesimpulan, serta menilai rencana prosedur dan hasilnya.
2). Berkomunikasi
Ilmiah
Siswa
mengomunikasikan pengetahuan ilmiah hasil temuan dan kajiannya kepda berbagai
kelompok sasaran untuk berbagtai tujuan.
3). Pengembangan
Kreativitas dan Pemecahan
Masalah
Siswa
mampu berkreativitas
dan memecahkan masalah serta membuat keputusan dengan menggunakan metode
ilmiah.
4). Sikap dan Nilai Ilmiah
Siswa
mengembangkan sikap ingin tahu, tidak percaya tahayul, jujur dalam menyajikan
data fakual, terbuka pada
pikiran dan gagasan barum kretif dalam menghasilkan karya ilmiah, peduli
terhadap makhluk hidup dan lingkungan, tekun dan teliti.
b. Pemahaman
Konsep dan Penerapannya, yang mencakup :
1). Makhluk hidup dan proses kehidupan,
yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan;
2). Benda/materi,
sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat, dan gas;
3). Energi dan perubahannyameliputi:
gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana;
4). Bumi dan alam semesta meliputi:
tanah, bumi, tata surya,dan benda-benda langit lainnya;
5). Sains, lingkungan, Teknologi, dan
Masyarakat (salingtemas) merupakan penerapan konsep IPA dan saling berkaitan
dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya
teknologi sederhana termasuk merancang dan membuat.
3.
Kompetensi
Pembelajaran IPA
Kompetensi yang
merupakan penjabaran dari tujuan Pendidikan
Nasional dalam KTSP
diartikan oleh Pusat Balitbang Depdiknas sebagai ‘pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak’. Pembelajaran IPA dirancang, dioperasionalkan, dan dievaluasi dengan
berorientasi pada pencapaian kompetensi tertentu oleh siswa. Kompetensi
tersebut antara lain kompetensi rumpun mata palajaran (standar kompetensi
kajian) dan standar kompetensi mata pelajaran.
Kompetensi
Rumpun Mata Pelajaran IPA berkaitan dengan pencapaian kompetensi yang meliputi
kerja ilmiah dan penguasaan konsep yakni pemahaman dan penerapannya. Sedangkan
Standar Kompetensi mata pelajaran IPA di SD/MI adalah :
a. Mampu
bersikap ilmiah dengan penekanan pada sikap ingin tahu, bertanya, bekerjasama,
dan peka terhadap makhluk hidup danlingkungan.
b. Mampu
menterjemahkan perilaku alam tentang diri dan lingkungan di sekitar rumah dan
sekolah.
c. Mampu
memahami proses pembentukan ilmu dan melakukan inkuiri ilmiah melalui
pengamatan dan sekali-kali melakukan penelitian sederhana dalam lingkup
pangalamannya.
d.
Mampu memanfaatkan IPA
dan merancang atau membuat produk teknologi sederhana dengan menerapkan prinsip
IPA dan mampu mengelola lingkungan di sekitar rumah dan sekolah serta memiliki
saran atau usul untuk mengatasi dampak negative teknologi di sekitar rumah dan
sekolah.
4.
Pembelajaran IPA yang Efektif
Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang
Efektif (Depdiknas, 2003:5-6) pembelajaran yang efektif secara umum diartikan
sebagai kegiatan belajar mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta
didik) serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual masing – masing
peserta didik.
Menurut Depdiknas (2003:7-11) terdapat
tujuh ciri utama pembelajaran yang efektif yaitu:
a. Berpijak pada prinsip konstruktivisme.
Pembelajaran beranjak dari
paradigma guru yang memandang bahwa belajar bukanlah proses siswa menyerap
pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru, melainkan sebagai siswa membangun
makna/pemahaman terhadap informasi atau pengalaman. Proses tersebut dapat
dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain.
b. Berpusat pada siswa
Siswa memiliki perbedaan satu
sama lain. Siswa berbeda dalam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan
cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar-baca, siswa lain
lebih mudah dengan melihat (visual),
atau dengan cara kinestetika (gerak).
Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran,
waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai
karakteristik siswa.
c.
Belajar
dengan mengalami
Pembelajaran perlu
menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari – hari dan atau dunia kerja
yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari.
Karena itu, semua siswa diharapkan memperoleh pengalaman langsung melalui
pengalaman inderawi yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dari melihat,
mendengar, meraba, mencicipi, dan mencium.
d.
Mengembangkan
keterampilan sosial, kognitif, dan emosional.
Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila
dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau guru. Dengan kata
lain, membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan
sosialnya.
e.
Mengembangkan
keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan.
Siswa dilahirkan dengan memiliki rasa ingin tahu,
imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan.
f.
Belajar
sepanjang hayat
Siswa memerlukan kemampuan belajar sepanjang hayat
untuk bisa bertahan dan berhasil dalam menghadapi setiap masalah sambil
menjalani proses kehidupan sehari – hari. Karena itu siswa memerlukan fisik dan
mental yang kokoh.
g. Perpaduan kemandirian dan kerjasama. Siswa perlu
berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Pembelajaran perlu
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat berkompetisi
sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidaritas.
E.
Penelitian yang Dilakukan Orang Lain
Berdasarkan penelitian
Skripsi yang dilakukan oleh Diki Kuswandi tahun 2008 yang berjudul “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Tentang
Bangun Ruang Melalui Penggunaan Model Cooverative
Learning Tipe Jigsaw. (PTK pada Siswa
Kelas IV SD Negeri Karang dan Kecamatan Padakembang Kabupaten Tasikmalaya),
telah terbukti berdasarkan penelitian tersebut, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada bangun ruang di kelas IV Sekolah Dasar.
Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Mia Purnamasari UPI dengan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Keliling dan Luas Daerah Persegi, Persegi
Panjang. Setelah dilakukan penelitian
ternyata terbukti bahwa model pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi
keliling dan luas daerah persegi, persegi panjang di Sekolah Dasar.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan
yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan
siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar
mengajar atau proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan
pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan
rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa
tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini,
diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik
dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun
sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa
dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada
gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa.
Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan
fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Salah
satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan dan interaksi antar
siswa adalah model Pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elliot Aronson di Universitas Texas,
bahwa model pembelajaran Coopertive Learning tipe jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan
prestasi belajar
siswa. Hasil belajar siswa yang
menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning tipe jigsaw ini lebih tinggi
dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Model pembelajaran Cooperative
Learning tipe jigsaw ini memanfaatkan
kecendrungan siswa untuk berintraksi dalam kelompok kecil, dimana keberhasilan individu siswa ditentukan oleh
keberhasilan kelompoknya.