BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tahap – tahap perkembangan Kurikulum IPS
Sekolah Dasar mulai berkembang yaitu pada Tahun 1964, 1968, 1975, 1984, 1986,
1994, 2004 hingga Kurikulum 2006 (KTSP) yang digunakan sampai sekarang . Selintas
dengan sejarah yang melatarbelakangi perkembangan kurikulum di tanah air, maka perkembangan kurikulum secara nasional
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pendidikan dari dulu hingga sekarang.
Pada mata pelajaran IPS khususnya yaitu dengan adanya perubahan kurikulum IPS di
Sekolah Dasar diharapkan kurikulum ini dirancang untuk dapat mengarahkan
peserta didik untuk menjadi warga negara yang demokratis, dan memiliki rasa
tanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya, serta dapat mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial
masyarakat dalam memasuki kehidupan masyarakat yang dinamis. Maka dari itu guru
sebagai fasilitator pembelajaran hendaknya memahami dengan jelas kurikulum dan
dapat lebih mengembangkan isi kurikulum tersebut dalam setiap pengajarannya guna
membina generasi muda yang cinta terhadap bangsa dan negaranya.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana sejarah perkembangan kurikulum IPS di SD ?
2.
Bagaimana paradigma pendidikan IPS Indonesia?
3.
Bagaimana pentingnya pengajaran IPS di SD ?
4.
Bagaimana beberapa asumsi yang keliru terhadap IPS ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan IPS Di Sekolah Dasar.
Selain itu juga bertujuan agar dapat
memahami secara mendalam mengenai :
1.
Sejarah perkembangan kurikulum IPS di SD.
2.
Paradigma pendidikan IPS Indonesia.
3.
Pentingnya pengajaran IPS di SD.
4.
Beberapa asumsi yang keliru terhadap IPS.
D.
Metode Penulisan
Dalam makalah ini penyusun menggunakan
metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan dengan materi dari
beberapa sumber baik buku maupun internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Kurikulum IPS
Sejak tahun 1964 sampai dengan 2004
pengajaran IPS telah mengalami beberapa kali perubahan nama, kurikulum dan
ruang lingkup (scope) materi.
Pertama: Pada kurikulum 1964
pendidikan IPS di Sekolah Dasar bernama “Pendidikan Kemasyarakatan” dengan
materi yang terdiri dari Ilmu Bumi, Sejarah, Pengetahuan Kewarganegaraan.
Pendekatan kurikulum merupakan broad
field dari materi-materi pembelajaran tersebut. Namun, dalam penyampaiannya
di dalam kelas tampaknya berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan mata
pelajaran yang terpisah satu sama lain.
Kedua: Pada kurikulum 1968, dengan
nama dan ruang lingkup yang hampirsama dengan 1964 hanya saja pada kurikulum
1968 ini kata “pengetahuan” diganti dengan “pendidikan”. Jadi, nama pengajaran
IPS pada kurikulum ini tetap “Pendidikan Kemasyarakatan”. Baik pada kurikulum
1964 maupun 1968 pengajaran IPS diajarkan sejak dari kelas 1 sampai dengan
kelas 6 Sekolah Dasar.
Ketiga: Pada kurikulum tahun 1975
unsur materi pendidikan kewarganegaraan dipisahkan dari pengajaran IPS dan
dijadikan bidang pengajaran tersendiri dengan nama “Pendidikan Moral Pancasila
(PMP)”.
Pengajaran PMP diajarkan sejak kelas
1, sedangkan pengajaran IPS diajarkan sejak kelas 3 Sekolah Dasar. Hal ini
dimaksudkan agar siswa tidak terlalu sulit dalam mempelajari materi IPS karena
menuntut siswa untuk banyak membaca buku teks, sedangkan kemampuan membaca
siswa kelas 1 dan 2 SD masih terbatas. Berbeda dengan pengajaran PMP dalam
proses pembelajaran di dalam kelas guru lebih banyak bercerita dan memberi
contoh-contoh perilaku manusia yang bermoral Pancasila.
Keempat: Pada kurikulum 1984 materi
pengajaran IPS disusun secara terpadu (terintegrasi) yang terdiri dari beberapa
pokok dan sub pokok bahasan yang merupakan penyederhanaan (simplicated) dari
beberapa disiplin ilmu sosial yaitu geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi,
psikologi sosial, sejarah, hukum pemerintahan, lingkungan hidup dan
kependudukan.
Khusus bagi pengajaran sejarah
disampaikan secara tersendiri di dalam kelas, dalam pengertian tidak
disampaikan secara bersamaan dengan pengetahuan sosial. Dengan kata lain
pengajaran sejarah merupakan sub bidang pengajaran tersendiri sebagai bagian
dari pengajaran IPS.
Kelima: Pada kurikulum 1986, baik
materi maupun ruamg lingkupnya (scope)
hampir sama dengan kurikulum 1984, hanya saja pada kurikulum 1986 ini terdapat
beberapa penambahan (suplement) dan
pelengkap (komplement) materi yang
tertuang dalam kurikulum 1984, sehingga kurikulum 1986 ini merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1984. Oleh karena itu kurikulum 1986 ini dikenal
dengan kurikulum 1986 yang disempurnakan. Pendekatan pembelajaran lebih
menekankan pada pendekatan keterampilan proses dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
Keenam: Pada kurikulum 1994, nama dan
ruang lingkup materi hampir sama dengan kurikulum 1986. Hanya saja pada
kurikulum ini pendekatan pembelajaran lebih mengutamakan pendekatan inquiry yang melatih siswa memilih
keterampilan dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menggunakan
konsep-konsep dasar ilmu sosial. Pengajaran IPS berfingsi untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan dasar dalam melihat kegiatan-kegiatan sosial yang
dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Ketujuh: Pada kurikulum 2004, nama
IPS berubah menjadi “Pengetahuan Sosial (PS)” dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum ini lebih menekankan kemampuan-kemampuan
(kompetensi) yang harus dikuasai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran di
dalam kelas. KBK ini memberi kesempatan kepada guru untuk merancang
pembelajaran secara rinci dengan berpedoman pada rambu-rambu silabus yang
terdiri dari kompetensi dan pengalaman belajar. Materi dan rincian, kegiatan
pembelajaran dan asesmen atau penilaian yang mencakup kegiatan Tatap Muka (TM),
Tugas Terstruktur (TS) dan Kegiatan Mandiri (MD).
Kompetensi yang harus dimiliki siswa
setelah proses pembelajaran IPS ada dua macam, yakni: Kompetensi Umum dan Kompetensi
Dasar. Kompetensi umum dalam pengajaran IPS ada dua macam, yakni Kompetensi Ilmu Sosial dan Kompetensi Jenjang. Kompetensi ilmu
sosial adalah kompetensi yang harus dikuasai siswa setelah mempelajari IPS
selama mengikuti pendidikan di SD/MI. SLTP/MTs, dan SMU/MA.
Kompetensi jenjang adalah kompetensi
yang harus dimiliki siswa setelah melalui proses pembelajaran IPS di tingkat
SD/MI saja.
Kompetensi Dasar merupakan uraian
kemampuan (kompetensi) yang memadai harus dimiliki siswa atas pengetahuan,
keterampilan dan sikap mengenai materi-materi pokok dalam pengajaran IPS.
Kemampuan harus dimiliki siswa dan dikembangkan secara maju berkelanjutan (progres continus).
Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) ini pengajaran IPS/PS disatukan (diintegrasikan) dengan pengajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga berubah nama menjadi “Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial (PKPS)”.
Untuk lebih jelasnya tentang sejarah
perkembangan kurikulum IPS sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2004, dapat
dilihat pada matrik berikut ini:
Matrik Perubahan Kurikulum IPS-SD Sejak Tahun 1964-2004
No
|
Kurikulum
Tahun
|
Nama
Pelajaran
|
Scope
Materi
|
Keterangan
|
1
|
1964
|
Pendidikan Kemasyarakatan
|
Ilmu bumi, sejarah dan pengetahuan
kewarganegaraan
|
Merupakan Broad Filed dari materi tersebut dan diajarkan secara terpisah
|
2
|
1968
|
Sda
|
Ilmu bumi, sejarah, dan Pendidikan
Kemasyarakatan
|
Diajarkan sejak kelas 1 sampai dengan
kelas 6 SD
|
3
|
1975
|
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
|
Pengetahuan Sosial dan sejarah
(PMP terpisah dari IPS)
|
Diajarkan sejak kelas 3
Diajarkan sejak kelas 1
|
4
|
1984
|
Sda
|
Disusun secara terintegrasi dari beberapa
Ilmu Sosial
|
Sejarah diajarkan secara terpisan dari IPS
|
5
|
1986
|
Sda
|
Penyempurnaan dari kurikulum 1984
|
Kurikulum 1984 yang disempurnakan
|
6
|
1994
|
Sda
|
Sda
|
Pendekatan inkuiri
|
7
|
2004
|
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan
Sosial (PKPS)
|
IPS dan PKn diintegrasikan menjadi satu
bidang pengajaran di Sekolah Dasar
|
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
menekankan kepada penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap.
|
B.
Paradigma Pendidikan IPS Indonesia
Pemikiran mengenai konsep pendidikan
IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah
satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang
signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan
pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya
akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS) sejak pertemuan
organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai
sekarang.
Untuk menelusuri perkembangan
pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis
terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama
di Indonesia belum ada lembaga profesionalbidang pendidikan IPS setua dan
sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni
HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat muda
dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada
pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota secara insidental. Kedua perkembangan kurikulum dan
pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS samapi saat
ini sangat terganutng pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang
ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur).
Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS
tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggitanya yang
kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh
berbeda dengan peranan dan kontribusi Social
Studies Curriculum Tas Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, perkembangan
pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur
perkembangan kurikulum dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa
konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan
Sosial), untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di
Tawangmangu Solo. Menurut laporan seminar tersebut (Panitia Seminar Nasional
Civic Education, 1972:2, dalam Winataputra, 1978:42) ada istilah yang muncul
dan digunakan secara bertukar-pakai (interchangeable),
yakni “pengetahuan sosial, studi sosial, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang
diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah sosial yang dipilih dan
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar
masalah-masalah sosial itu dapat dipahami siswa. Dengan demmikian para siswa
akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosial sehari-hari. Pada saat itu
konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam
wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepkati dalam seminar
tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran
tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley
dalam pertemuan pertama NCSS tahun 1937 yang segera dapat respon akademis
secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunculan pengertian IPS dengan
mudah diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya
masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakni dalam
Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini
terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam
seminar Civic Education di
Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Somantri, Achmad Kosasih Djahir,
dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan kurikulum
PPSP FKIP Bandung beberapa sebagai anggota tim pengembang kurikukum tersebut.
Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan
Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Penggunaan garis
miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran sosial
yang walaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam kurikulum SD tahun
1968. Dalam kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara
yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics
yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam
kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan
Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oleh
pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah
manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif” yang
isinya diwarnai oleh pemikiran Leonard Kenworthy (1970) dengan bukunya
“Teaching Social Studies”
Sedangkan dalam kurikulum sekolah
menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni (1) studi sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan
sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran sosial yang terdiri atas
geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS;
(2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan;
dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS (PPSP
IKIP Bandung, 1973a, 1973b).
Kurikulum PPSP tersebut dapat
dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan
IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum
sekolah. Pada tahap ini konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk
yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan
Negara/Studi Sosial, (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya
digunakan sebagai konsep payung untuk mata pelajaran geografi, sejarah, dan
ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS
khusus, yang dalam konsep tradisi citizenship
transmission (Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Konsep pendidikan IPS tersebut
kemudian memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975, yang memang dalam banyak
hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui kurikulum PPSP. Di dalam kurikulum
1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral
Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk
pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi citizenship
transmission; (2) pendidikan IPS terpadu untuk sekolah dasar; (3)
pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep
payung yang manaungi mata pelajaran geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi;
dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah,
geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P
dan K, 1975a; 1975b; 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap
dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam
aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam
masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasial. Sedangkan
konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahab yang mendasar.
Di dalam kurikulum 1994 mata
pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti oleh
semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran
IPS diwujudkan dalam: pertama,
pendidikan IPS tepadu di SD kelas III s/d kelas IV; kedua: pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi
geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan ketiga: pendidikan IPS terpisan-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan
(1978). Di SMU ini pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran
Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di
kelas I dan II; sosioligi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program
Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, dan Antropologi di kelas III Program
IPS.
Bila disimak dalam perkembangan
pemikiran pendidikan IPS yang terwujud dalam kurikulum sampai dengan dasawarsa
1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS,
yakni: pertama, pendidikan IPS yang
diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan
dalam tradisi social science dalam
bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang
terintegrasi di SD.
Dalam pembahasannya tentang
“Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam
konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP,
menyinggung sedikit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227)
melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan;
proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi;
situasi kelas yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber
lain; ketidakmutakhiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang
sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengulit-bawang”; rendahnya rasa
percaya diri siswa sebagai akibat dari lunaknya isi pelajaran, kontradiksi
materi dengan kenyataan, dominannya latihan perpikir taraf rendah, guru yang
tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap
kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu,
Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup
peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan
sisiwa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber
belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu pula diperlukan upaya peningkatan
dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi
konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasan yang jelas
mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang
pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengorganisasian tema-tema
pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dilihat dari perkembangan pemikiran
yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua
arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia
persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial,
dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan
pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS
untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengirganisasian
secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan
disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS
merupakan salah satu konten dari PDIPS.
PIPS untuk dunia persekolahan
terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis, yakni: pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia;
dan kedua, PIPS dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata
pelajaran IPS terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS terkonfederasi untuk
SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat
oleh suatu visi pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan
dalam GBHN dab UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks perkembangan pendidikan
“social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan
praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau
“Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari
tujuan, konten dan proses social studies
atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi
merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau
“pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak
awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan
kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan
warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembanngan
konsep dan praksis demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan
program pendidikan yang dikenal dengan citizenship
education atau civic education,
atau untuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah-ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan
Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Menyimak perkembangan “social
studies” secara umum dan pendidikan IPS di Indonesia sampai saat ini maka perlu
adanya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut:
1.
Menegaskan
kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan
pada pengembangan individu siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil
keputusan yang bernalar dan sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki
komitmen, bertanggung jawab, dan partisipatif”.
2.
Menegaskan
kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode
ilmu-ilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor
sosial dan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
3.
Memantapkan
kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi
oleh mata pelajaran IPS terpadu dan mata pelajaran IPS terpisah.
4.
Menata
kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan
(Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan terciptanya
tujuan pendidikan IPS.
5.
Menata
kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat
dihasilkan calon guru dan guru pendidikan IPS yang profesional.
C. Pentingnya Pengajaran IPS di Sekolah Dasar
Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, yang
terdiri dari beribu-ribu pulau, baik kecil maupun besar dengan berbagai
kekayaan alam, seperti flora dan fauna dan barang tambang, yang ada di
Indonesia. Negara Indonesia diperoleh dan dibangun dengan pengorbanan dan
perjuangan yang luar biasa dari para pahlawannya sehingga menjadi negara
kesatuan seperti sekarang ini, Indonesia memiliki populasi yang sangat besar
dengan berbagai perbedaan strata sosial,
ras, suku, agama, dan kebudayaan. Semua itu perlu dipelajari, dipahami, dan
disadari melalui proses pembelajaran sehingga timbul rasa persatuan,
patriotisme, nasionalisme dan etos kerja pada diri siswa sehingga tunas-tunas bangsa
yang akan memajukan bangsa dan negara Indonesia sejajar dengan negara dan
bangsa lain.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata
pelajaran yang mengajarkan pada siswa SD?MI agar mereka kelak mengenal fenomena alam dan fenomena sosial mulai
dari lingkungan yang dekat sampai kepada lingkungan yang le bih jauh (dunia).
Pada kenyataaanya kehidupan manusia itu tidak dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap kegiatan manusia akan berdampak
terhadap manusia lainnya dan pada lingkungannya. Manusia tergantung satu sama lainnya dan memahami dan menyadari
hubungan yang kompleks ini.
Oleh karena itu, pembelajaran sejarah, geografi,
ekonomi, antropologi, sosiologi, politik, dan pemerintahan di SD /MI harus
dipadukan dalam topik-topik atau pokok-pokok bahasan mulai dari yang dekat
dengan lingkungan anak sampai kepada lingkungan yang lebih jauh.
Hai ini diharapkan dapat membuat pelajaran tersebut
menjadi lebih bermakna dan menarik bagi siswa dari pada mengacu pada disiplin
ilmu sosial tersebut.
Ilmu Sosial merupaka suatu pendekatan hal-hal yang
berkenaan dengan manusia dan masyarakat serta lingkungannya. Ilmu sosial
mempelajari aspek-aspek sosial, spiritual, emosional san intelektual, rasional
dan global dengan memadukan konsep serta bahan kajian tradisional dengan bahan
kajian yang baru.
Agar dapat melaksanakan pembelajaran Ilmu Sosial yang
efektif sangat penting untuk mengetahui perjalanan proses belajar siswa usia
muda dalam hal ini siswa sekolah Dasar. Siswa usia muda ini memiliki rasa ingin
tahu yang cukup tinggi terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial mereka. Mereka juga berinteraksi dan
merupakan bagian dari berbagai kelompok termasuk keluarga, teman, masyarakat
yang membawa berbagai pengalaman dan pengetahuan ke sekolah.
Pengembangan kurikulum Ilmu Sosial juga mempertimbangkan
permasalahan yang dialami pada kurikulum sebelumnya. Mata pelajaran IPS
SD pada kurikulum 1994 menyebutkan bahwa IPS yang diajarkan di Sekolah
Dasar, terdiri dari kajian pokok “ Pengetahuan Sosial “ dan “ Sejarah “. Jadi
kurikulum IPS-SD tahun 1994 merupakan kesimpulan dari dua bahan tersebut.
Permasalahannya adalah kurikulum 1994 masih mengandung
terlalu banyak materi dan bahan kajian. Oleh karena itu perbaikan kurikulum
yang dilakukan saat ini adalah melakukan integrasi bahan-bahan kajian dari
ilmu-ilmu sosial itu.
Lahirnya kurikulum IPS tahun 2004 dengan sebutan
Berbasis Kompetensi (KBK), dengan nama
mata pelajaran Pengetahuan Sosial (PS) yang didalamnya terdapat bahan
kajian pendidikan kewarganegaraan, membahas kedua bahan kajian tersebut secara
padat dan terpadu, sehingga bahan kajiannya tidak terlalu luas dan akan
memudahkan bagi siswa dalam proses pembelajaran.
Melalui mata pelajaran Pengetahuan Sosial yang merupakan
salah satu mata pelajaran dalam kurikulum SD 2004, siswa diarahkan, dibimbing,
dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif .
Menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif merupakan tantangan
yang berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat.
Untuk itulah pengetahuan sosial dirancang untuk membangun dan merefleksikan
kemampuan siswa dalam kehidupan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang
secara terus menerus.
Pada hakekatnya Pengetahuan Sosial sebagai suatu mata
pelajaran yang menjadi wahana dan alat untuk menjawab pertanyaan yang antara
lain: Siapa diri saya? Pada masyarakat mana saya berada?
Persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan diri saya untuk menjadi angota
suatu kelompok masyarakat bangsa dan dunia? Bagaimana kehidupan manusia dan
masyarakat yang selalu merubah dari waktu ke waktu.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas perlu dijawab oleh setiap
siswa dan jawabannya telah dirancang dalam mata pelajaran Pengetahuan Sosial
secara sistematis dan komprehensif. Dengan demikian tidak dapat disangkal lagi
betapa pentingnya pelajaran Pengetahuan Sosial di SD bagi keberhasilan dalam
kehidupan masyarakat dan proses menuju kedewasaan diri mereka.
D. Beberapa Asumsi yang Keliru Terhadap IPS
IPS merupakan salah satu mata
pelajaran yang diajarkan di Sekolah Dasar sejak kurikulum 1964 sampai dengan
2004. Namun pelajaran ini selalu kurang mendapat perhatian, baik dari kalangan
siswa maupun dari kalangan masyarakat.
Kurangnya perhatian tersebut
disebabkan adanya beberapa asumsi yang keliru terhadap IPS selama ini, antara
lain adalah sebagai berikut :
1.
Pelajaran
IPS adalah pelajaran hapalan belaka yang disampaikan oleh guru secara ceramah
dan bercerita di muka kelas. Dengan demikian siswa akan jenuh dan bosan belajar
IPS.
2.
Dalam
pembelajaran IPS tidak dapat menggunakan alat – alat konkrit yang dapat
dimanipulasi ( diotak – atik ) siswa, sehingga mereka pasif dalam belajar.
3.
Dengan
pelajaran IPS tidak dapat dijadikan tolak ukur kecerdasan siswa, berbeda dengan
pelajaran eksak seperti IPA dan matematika.
4.
Pelajaran
IPS tidak menjamin masa depan siswa kecuali pelajaran yang bersifat eksak.
Dari keempat asumsi tersebut akan makin mengurangi minat
siswa belajar IPS, sehingga hasil belajar yang dinyatakan dengan nilai EBTANAS
atau UAN relatif rendah. Padahal yang sebenarnya tidak demikian eksistensi IPS
dalam membentuk kepribadian dan mengasah kecerdasan siswa.
Apabila seorang guru SD yang kreatif di saat mengajar
pelajaran IPS keempat asumsi tersebut di atas tidak akan terbukti. Tidak
selamanya materi IPS dapat diceritakan dan dihafalkan melainkan harus
menggunakan nalar dan intelegensi yang tinggi seperti belajar tentang geologi,
geomorfologi, kosmografi. Tanpa cara berpikir yang rasional dan nalar yang
tinggi sangat sulit mengerti tentang bahan kajian tersebut.
Selama bahan kajian IPS dapat menggunakan alat – alat
yang bersifat konkrit manipulatif seperti alat “ mozaik peta “ dapat
dipergunakan untuk mengajarkan sebuah peta kepada siswa kelas III, IV, V,VI
dengan jalan menyusun potongan – potongan karton menjadi sebuah peta yang utuh.
Tidak ada alasan bahwa pelajaran IPS tidak dapat menggunakan alat yang konkret
manipulatif, agar siswa memiliki aktivitas belajar yang tinggi.
Tidak hanya pelajaran eksak yang menjadi tolak ukur
kecerdasan siswa, pelajaran IPS pun dapat dijadikan tolak ukur, karena siswa
yang cerdaslah yang dapat menelaah, menganalisa dan mengambil suatu kesimpulan
terhadap suatu peristiwa sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam penelitian
sosial pun sering menggunakan angka – angka eksak untuk mengambil suatu
kesimpulan.
Seorang advokat, konsultan, kedubes untuk negara lain
tidak sedikit berlatar belakang ilmu sosial. Dengan demikian tidak terbukti
bahwa seorang berlatar belakang ilmu sosial tidak menjamin masa depan. Apalagi
orang tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi di masyarakat dan negaranya.
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka asumsi tersebut di atas merupakan
asumsi yang keliru terhadap pelajaran IPS.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
Perkembangan Kurikulum IPS yaitu dimulai sejak tahun 1964 sampai dengan
2004.
pengajaran IPS telah mengalami beberapa kali perubahan nama, kurikulum dan ruang
lingkup (scope) materi. Pertama, pada kurikulum 1964
pendidikan IPS di Sekolah Dasar bernama “Pendidikan Kemasyarakatan” dengan
materi yang terdiri dari Ilmu Bumi, Sejarah, Pengetahuan Kewarganegaraan. Kedua, pada kurikulum 1968, dengan nama Pendidikan Kemasyarakatan Ketiga, Pada
kurikulum tahun 1975 dengan nama “Pendidikan Moral Pancasila (PMP) Keempat:
Pada kurikulum 1984 sampai kurikulum 1994 dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan kurikulum
tahun 2004 dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial (PKPS).
Achmad Sanusi (1998: 222-227) melihat
pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan;
proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi;
situasi kelas yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber
lain; ketidakmutakhiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang
sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengulit-bawang”; rendahnya rasa
percaya diri siswa.
B.
Saran
Dalam penusunan makalah ini, Kami selaku Penyusun tentunya mengalami
banyak kekeliruan. Untuk itu kami mohon maap yang sebesar – besarnya, di karenakan masih dalam tarap
pembelajaran.
kak ini daftar pustakanya mana ya?
BalasHapus