Home

Tampilkan postingan dengan label Tugas smt 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tugas smt 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 November 2011

Tugas PBSI Tentang Cerita Anak

Mengapa Ulat Menjadi Kupu-Kupu 

Dahulu kala di sebuah taman yang kecil, hiduplah sekumpulan ulat dan juga beberapa Bunga Sepatu dan Bunga Mawar. Pada awalnya mereka semua  bersahabat. Sampai suatu hari, sekuntum bunga mawar bernama Okit dengan sombongnya berkata.

“Hei para ulat! Jangan terus memakani daun kami!”

“Ya benar! Lihat…daun-daun kami jadi rusak, pergi kalian dari taman ini!” sahut bunga mawar lainnya.

Ulat-ulat merasa sangat sedih. Mereka memang memakani daun-daun bunga di taman itu. Tetapi jika mereka tidak makan, tentu mereka akan mati kelaparan. Akhirnya dengan kerendahan hati mereka berniat pergi dari taman itu. Namun sekuntum bunga sepatu mencegahnya.

“Hei, kalian jangan pergi,” kata Rena si bunga sepatu kepada ulat, “kalian boleh memakan daun kami para bunga sepatu di taman ini.”

“Benar, kami rela membagi daun kami kepada kalian,” ucap bunga sepatu lainnya.

Ulat sangat berterimakasih atas kebaikan bunga sepatu dan berkata.

“Terimakasih, kalian telah menolong kami.”

Akhirnya di taman itu bunga mawarlah yang paling indah karena daun mereka utuh. Terkadang beberapa bunga mawar mengejek bunga sepatu yang daun-daunnya bolong akibat dimakani ulat.

Suatu ketika, seorang manusia mendatangi taman itu. Dia berkata.

“Aku akan mengambil beberapa bunga disini. Oh tidak…bunga-bunga sepatu ini daunnya dimakani ulat. Aku ambil lima bunga mawar ini saja, daunnya masih bagus.”

Lalu manusia itu mencabut lima bunga mawar dari taman itu dan pergi. Taman itu berduka, khususnya bunga mawar. Mereka kehilangan lima anggotanya. Sekuntum bunga sepatu tiba-tiba berbisik kepada ulat.

“Kami harus berterimakasih kepada kalian. Kalau daun kami tidak dimakani kalian, mungkin kami juga diambil oleh manusia seperti lima bunga mawar itu.”

Di taman itu kini hanya tersisa lima bunga mawar. Mereka berlima takut akan diambil juga oleh manusia. Akhirnya mereka menyadari kesombongannya dan berkata.

“Kalian para ulat, kami mohon maafkanlah kesombongan kami. Kalian sekarang boleh memakan daun kami. Kami takut akan dicabut dari tanah seperti kelima saudara kami.”

“Tapi mawar, daun itu memang milik kalian, hak kalian untuk memberikannya kepada kami atau tidak,” tukas Hili si ulat jantan.

“Tidak ulat, sungguh kami sangat menyesal,” ucap Okit, “sudah seharusnya kami memberikan daun-daun kami untuk kalian makan. Bukankah sesama makhluk hidup kita harus saling tolong-menolong?”

Rena si bunga sepatu menjawab.

“Itu benar Kit. Bisa-bisa beberapa waktu kedepan bunga-bunga di sini akan habis dicabuti oleh manusia.”

Mendengar perkataan kedua bunga itu ulat-ulat sangat terharu dan seekor ulat menjadi bersemangat untuk berkata.

“Terima kasih para bunga, kalian sangat baik kepada kami,” teriak Hili berkaca-kaca, “kelak kami akan membalas jasa kalian!”

Beberapa hari berlalu, setelah ulat memakan daun-daun bunga mawar dan bunga sepatu, mereka bersepuluh berubah menjadi kepompong. Dalam beberapa minggu kepompong itu menetas dan ulat-ulat itu berubah menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Para bunga takjub melihat perubahan itu, dan salah satu dari mereka berkata.

“Wah…kalian telah berubah wujud! Kalian kini bersayap dan indah sekali!”

“Terima kasih, “ kata Hili yang kini telah menjadi kupu-kupu, “Sekarang kami akan memenuhi janji kami. Kami akan membalas jasa kalian.”

Sepuluh kupu-kupu itu menolong bunga menyebarkan benihnya. Mereka menggunakan kemampuan terbangnya untuk menyebarkan benih-benih bunga mawar dan bunga sepatu secara merata di taman itu. Bunga-bunga sangat berterimakasih kepada kupu-kupu. Kini kupu-kupu tidak lagi mendapatkan daun dari bunga, tetapi madu yang sangat manis dan lebih enak daripada daun.

Berkat pertolongan sepuluh kupu-kupu, beberapa minggu kemudian jumlah bunga di taman itu bertambah. Kini di taman itu terdapat ratusan bunga mawar dan bunga sepatu. Kehidupan di taman itu menjadi penuh dengan kebahagiaan.

Namun di tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba seorang manusia kembali datang. Seluruh penghuni taman itu pasrah jika ada bunga yang akan dicabut lagi oleh manusia itu.

“Kenanglah taman ini meskipun kalian dicabut olehnya!” teriak Okit kepada seluruh bunga. Perkataan Okit itu menguatkan hati para bunga untuk tetap kuat. Ketika mereka sudah siap menerima keadaan, manusia itu justru berkata.

“Oh Tuhan, taman ini sekarang indah sekali! Bunga-bunganya jauh lebih banyak dan sekarang ada kupu-kupu yang mengitarinya. Aku akan menjaga bunga-bunga ini agar tetap tertanam dan menyiraminya setiap hari.”

Manusia itu kemudian pergi tanpa mencabut sekuntum bunga pun. Seluruh penghuni taman itu bersorak-sorai gembira karena tidak ada yang berpisah. Seluruh bunga mawar, bunga sepatu, dan kupu-kupu kini hidup bahagia. Sampai saat ini, itulah alasan mengapa kupu-kupu mau membantu menyebarkan benih bunga, yaitu untuk membalas jasa bunga yang telah memberi mereka daun.

Selasa, 01 November 2011

Pendidikan Kewarganegaraan


Judul Makalah : Pemberantasan Mafia Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mencakup apa saja lahan praktik mafia hukum?
2.      Cara apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permaslahan mafia hukum?
3.      Apa peran Civil Society dan Mass Media?
4.      Bagaimana Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai :
1.      Lahan praktik mafia hukum.
2.      Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permaslahan mafia hukum.
3.      Peran Civil Society dan Mass Media.
4.      Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia

D.    Metode Penulisan
Dalam makalah ini penyusun menggunakan metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan dengan tema dari beberapa sumber baik buku maupun internet.
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Mafia Hukum
Definisi Mafia hukum menurut satgas pemberantasan mafia hukum adalah semua tindakan oleh perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada.
Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah.
B.     Lahan dan Praktik Mafia Hukum
Masyarakat tentu bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih gamblang memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya. Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya saja.
Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.
Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.

C.                Tersandera Lingkaran Setan
            Harus diakui bahwa pasca reformasi, pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap sistem yang dianggap telah korup.
            Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuk aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal.
            Bagaikan lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”.
            Sementara itu, mereka yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan.


D.    Menyelamatkan Generasi
            Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.
Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi!

            Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.
            Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicerodi tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.
           
Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.
            Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.
 E.     Peran Civil Society dan Mass Media.
            Perjalanan sejarah Indonesia selalu terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping negara (state) dan pasar (market).
            Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum. Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K. Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), dan transmisi nilai (value transmission).
            Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa peran civil society dan mass media membawa pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati Garut”. Tidak saja elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial, seperti facebooktwitter, dan kegiatan citizen journalism lainnya melalui Blog.
            Tren global seperti di Chile, Maladewa, Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO, aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan internet dan media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies), khususnya internet, telah menyebabkan dunia bagaikan lempeng yang datar.
            Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945.
F. Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia
            Presiden telah menyerukan kepada rakyat Indonesia yang menjadi korban mafia hukum untuk melaporkan diri melalui PO BOX 9949 Jakarta 1000. Seruan Presiden ini merupakan bagian dari kebijakan yang paling diprioritaskan oleh Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dalam masa 100 Hari, yakni pemberantasan mafia hukum. Ada 45 Program dalam Program 100 Hari KIB 2, dan pemberantasan mafia hukum berada di posisi pertama untuk dilaksanakan.
            Untuk mengawal pemberantasan mafia hukum, Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Satgas akan melakukan koordinasi, evaluasi, pemantauan, pengawasan dan koreksi dalam pemberantasan mafia hukum. Dengan terbentuknya Satgas ini diharapkan mampu membuka jalan dan berperan dalam pemberantasan mafia hukum.
            Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah.
Dampak korupsi kepada masyarakat luas tergantung pada besar kecilnya nilai yang dikorupsi. Semakin besar yang dikorupsi, dampaknya akan semakin luar biasa. Bayangkan saja kalau yang dikorupsi mencapai ratusan miilyar sampai triliunan. Berapa banyak hak orang lain yang direnggut untuk kepentingan perorangan atau segelintir orang.
            Berkaitan dengan luasnya dampak korupsi terhadap masyarakat luas, ada yang berpendapat bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM berat. Sementara itu di Indonesia, pelakunya bisa bebas bergentayangan melalui tangan-tangan “gurita” mafia hukum. Beda halnya dengan perlakuan negara China terhadap para koruptor yang dikenakan hukuman tembak mati. Itulah sebabnya negara tirai bambu tersebut kini perekonomiannya melejit menjadi negara adidaya baru. Oleh karena itu sungguh beralasan apabila Pemberantasan Mafia Hukum menjadi program yang paling diprioritaskan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini.
            Apalagi pada tahun 2009, Transparansi Internasional telah merilis angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK merupakan indeks gabungan dari 13 survei oleh 10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 180 negara di dunia. Dengan skala 0 (sangat korup) sampai 10 (sangat bersih), skor Indonesia naik dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada tahun 2009. Kenaikan skor tersebut juga disertai dengan kenaikan 15 peringkat dari tahun 2008. Meski skor dan peringkat Indonesia naik dari tahun sebelumnya, namun dengan skor yang masih di bawah 5 dan posisi di luar 100 besar, Indonesia masih dipandang memiliki masalah korupsi yang besar.
            Transparansi Internasional mengidentifikasi beberapa faktor yang dinilai mempengaruhi persepsi international mengenai permasalahan korupsi di Indonesia, yaitu: (1) perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum di Indonesia; (2) korupsi dan perusakan lingkungan; dan (3) keselamatan penumpang dalam bisnis penerbangan.
            Perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum merupakan faktor penting yang menentukan persepsi internasional mengenai permasalahan korupsi di Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak permasalahan hukum, seperti suap menyuap dalam perkara hukum, jual beli kasus, pemerasan dan kompromi-kompromi yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selama ini dikenal istilah-istilah seperti markus (makelar kasus) atau markum(makelar hukum) yang sering beroperasi dalam kasus-kasus hukum dan merugikan rasa keadilan serta mengganggu penegakan hukum.
            Kebijakan Presiden yang memprioritaskan pemberantasan mafia hukum dengan demikian menjadi sangat penting dan dibutuhkan tidak hanya untuk memperbaiki persepsi internasional mengenai permasalahan korupsi di Indonesia, namun juga yang lebih substantif untuk mewujudkan keadilan di masyarakat. Apalagi saat ini perhatian publik dan media sangat kuat terhadap permasalahan hukum, sehingga membuat pemberantasan mafia hukum mendesak untuk dilakukan. Perhatian publik dan media tersebut dapat dilihat sebagai keinginan besar masyarakat sekaligus legitimasi atau dukungan penuh kepada Presiden untuk segera melakukan pemberantasan mafia hukum.
            Baik masyarakat maupun pemerintah telah menyadari bahwa mafia hukum adalah masalah yang harus segera diselesaikan, jika ingin bangkit menjadi Negara yang adil dan makmur. Karena sebagai Negara hukum, hukum dianggap sebagai panglima, sehingga jangan sampai dibiarkan para mafia terus menerus menggunting dalam lipatan “sang Panglima”.
            Oleh karena itu, rasanya wajib bagi kita untuk mendukung kehadiran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang baru saja dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Satgas yang dikomandani Kuntoro Mangksubroto ini perlu diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk membuktikan program-program kerja yang akan diimplementasikan dalam upaya memberantas mafia hukum di Indonesia. Orang boleh saja mencibir Satgas yang akan bekerja selama dua tahun ini dianggap sebagai upaya membangun pencitraan pemerintah, namun rasanya sebagian besar rakyat Indonesia  sangat berharap bahwa Satgas ini dapat berjalan sesuai rencana, sehingga mampu memberantas mafia hukum pada dua tahun mendatang.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memberantas mafia hukum bukanlah hal yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi factor penyebab utama atas bobroknya penegakan huku di Indonesia. Tak heran ada perumpamaan bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa.
Seperi halnya masalah kemiskinan, mafia hukum belum dapat dituntaskan sampai ke akarnya, namun optimesme dan usaha pemberantasannya tidak boleh berhenti sedetik pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing.
Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung.

Media Pembelajaran


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Media memiliki banyak jenis dan klasifikasinya. Dilihat dari pengadaan media pembelajaran, dapat dikelompokan kedalam dua jenis, yaitu media yang sudah tersedia di lingkungan sekolah atau tersedia di pasaran, dalam hal ini media dirancang secara khusus oleh perusahaan terrtentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku, diproduksi secara massal, dan biasanya harganya relatif murah sehingga guru dengan mudah dapat memiliki dan menggunakannya karena media ini sudah siap pakai. Jenis media seperti ini disebut dengan media by utilization. Jenis media yang kedua disebut degan media by design. Jenis media yang kedua ini menuntut guru atau ahli media untuk merancang media sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran tertentu. Masing – masing jenis media tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasannya. Kelebihan dari media yang siap pakai adalah hemat dalam waktu, tenaga dan biaya untuk pengadaannya. Sebaliknya untuk mempersiapkan media yang dirancang secara khusus untuk kebutuhan tertentu memerlukan banyak waktu, tenaga maupun biaya, karena untuk menghasilkan media – media yang baik diperlukan pengujian kesahihan dan keandalannya melalui serangkaian kegiatan validasi prototipnya. Adapun kelebihan dari media ini adalah kecil kemungkinan untuk ketidak sesuaian antara media dengan kebutuhan dan tujuan yang diharapkan dibandingkan dengan media siap pakai yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan, tujuan dan karakteristik materi serta siswa     

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
                       1.          Bagaimana dasar pertimbangan pemilihan media ?
                       2.          Bagaimana kriteria pemilihan media ?
                       3.          Bagaimana prosedur pemilihan media pembelajaran ?

C.      Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Media Pembelajaran SD. Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai :
                       1.          Dasar pertimbangan pemilihan media.
                       2.          Kriteria pemilihan media.
                       3.          Prosedur pemilihan media pembelajaran.

D.      Metode Penulisan
Dalam makalah ini penyusun menggunakan metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan dengan tema dari beberapa sumber baik buku maupun internet.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Pertimbangan Pemilihan Media
1.    Alasan Teoritis Pemilihan Media
Alasan pokok pemilihan media dalam pembelajaran, karena didasari atas konsep pembelajaran sebagai sebuah sistem yang didalamnya terdapat suatu totalitas yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan. Jika kita lihat prosedur pengembangan desain instruksional pengembangan dari tujuan instruksional umum, kemudian dilanjutkan dengan menentukan materi pembelajaran yang menunjang ketercapaian tujuan pembelajaran serta menentukan strategi pembelajaran yang tepat. Upaya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran ditunjang oleh media yang sesuai dengan materi, strategi yang digunakan, dan karakteristik siswa. Untuk mengetahui hasil belajar, maka selanjutnya guru menentukan evaluasi yang tepat, sesuai tujuan dan materi. Apabila ternyata hasil belajar tidak sesuai dengan harapan dalam kata lain hasil belajar siswa rendah, maka perlu ditelusuri penyebabnya dengan menganalisis setiap komponen, sehingga kita dapat mengetahui faktor penyebabnya dengan lebih obyektif.
Analisis penyebab rendahnya hasil belajar dapat meninjau ketepatan seluruh komponen diantaranya : mungkin keberhasilan ini disebabkan karena rumusan tujuan tidak sesuai dengan row input dan kemampuan awal siswa “ entery behaviour level ” siswa, bisa jadi tujuan yang ditetapkan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan siswa dalam kata lain terlalu tinggi. Penyebab yang lain bisa dari materi kurang sesuai dengan  tujuan, terlalu kompleks, terlalu sulit sehingga tidak dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Apabila dua komponen telah dianalisis yaitu tujuan dan materi ternyata sudah sesuai selanjutnya perlu dikaji penerapan strategi dan penggunaan media pembelajaran. Strategi bisa jadi tidak tepat, membut siswa jadi tidak aktif, menjenuhkan, membosankan, tidak merangsang siswa untuk aktif sehingga berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Jika media dan strategi sudah tepat, maka perlu dikaji evaluasi yang digunakan apakah sudah tepat baik bentuknya, jenis, instrumen evaluasi dan prosdur evaluasinya.
Mekanisme tersebut jelas menunjukkan pendekatan sistem dalam pembelajaran dengan pengertian bahwa setiap komponen dalam pembelajaran saling berkaitan satu sama lain, saling berinteraksi, saling berhubungan, saling terobos dan saling ketergantungan. Uraian diatas juga menggambarkan dengan jelas bagaimana kedudukan media dalam pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem pembelajaran. Penggunaan media akan meningkatkan kebermaknaan hasil belajar. Dengan demikian pemilihan media menjadi penting artinya dan ini menjadi alasan teoritis mendasar dalam pemilihan media.
 
Prosedur pengembangan pembelajaran menurut  Gerlach dan Elly dengan menggunakan pendekatan sistem dapat dijelaskan bahwa perumusan tujuan instruksional merupakan langkah pertama dalam merencanakan pembelajaran sebagai rumusan tingkah laku yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti pembelajaran. Langkah kedua adalah merinci materi pembelajaran yang diharapkan dapat menunjang pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Perlu juga dilakukan tes “entering behaviour level” yaitu untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran sebagai dasar untuk menentukan darimana guru harus mengawali pembelajaran.
Tujuan, isi dan entery behaviour level menjadi dasar untuk menetapkan komponen pembelajaran yang lainnya, yaitu : menentukan strategi yang harus sesuai dengan karakteristik tujuan maupun materi yang diberikan juga termasuk mengatur dan mengelompokan siswa. Pengelompokan siswa diselaraskan dengan waktu yang tersedia, dan ruang belajar yang tersedia. Penentuan media yang akan digunakan merupakan langkah selanjutnya. Bagaimana siswa agar mampu menguasai materi sesuai tujuan, media apa yang cocok digunakan, apakah media cetak? Atau media elektronik? Apakah media tersebut digunakan sebagai alat bantu bagi guru seperti OHP, TV, Slide Projector, Multimedia Projector, atau digunakan sepenuhnya oleh siswa dengan bimbingan guru seperti pembelajaran berbasis komputer (CAI dan CBI). Menentukan media yang cocok digunakan dalam pembelajaran disesuaikan dengan tujuan, strategi, waktu yang tersedia, dan fasilitas pendukung lainnya. Seluruh kegiatan pembelajaran diakhiri dengan penilaian terhadap penampilan (performance) siswa disesuaikan dengan tujuan yang ditetapkan, dari penilaian ini guru dapat menentukan umpan balik untuk melakukan revisi rencana dan pelaksanaan pembelajaran.
Pengkajian sistem pembelajaran yang dikembangkan oleh Gerlach dan Elly tersebut merupakan komponen media sebagai bagian integral dalam keseluruhan sistem pembelajaran. Dengan demikian secara teoritis model tersebut menjadi dasar alasan mengapa kita perlu melakukan pemilihan terhadap media, agar memiliki keseriusan dengan tujuan, kesesuaian dengan isi, strategi pembelajaran, dan waktu yang tersedia.
2.      Alasan Praktis Pemilihan Media
Alasan praktis berkaitan dengan pertimbangan – pertimbangan dan alasan si pengguna seperti guru, dosen, instruktur mengapa menggunakan media dalam pembelajaran. Terdapat beberapa penyebab orang memilih media, antara lain dijelaskan oleh Arif Sadiman (1996:84)  sebagai berikut :
a.    Demonstration
Dalam hal ini media dapat digunakan sebagai alat untuk mendemonstrasikan sebuah konsep, alat, objek, kegunaan, cara mengoperasikan dan lain – lain. Media berfungsi sebagai alat peraga pembelajaran, misalnya seorang dosen sedang menerangkan teknik mengoperasikan Overhead Projector (OHP), pada saat menjelaskannya menggunakan alat peraga berupa OHP, dengan cara mendemonstrasikan dosen tersebut menjelaskan, menunjukkan dan memperlihatkan cara – cara mengoperasikan OHP. Contoh lain, seorang guru kimia akan menjelaskan proses perubahan – perubahan zat dengan menggunakan gelas ukur, sebelum dilakukan praktikum, terlebih dahulu guru tersebut memperagakan bagaimana cara menggunakan gelas ukur dengan baik. Untuk lebih jelas, kita lihat contoh ketiga, seorang guru biologi akan membelajarkan siswa tentang bentuk dan struktur sel dengan menggunakan mikroskop, maka sebelum praktikum dimulai, sebelum siswa meletakan  objek pada mikroskop untuk diamati maka guru tersebut menunjukkan cara kerja mikroskop sesuai dengan prosedur yang benar, cara ini akan memperlancar proses belajar dan menghindari resiko kerusakan pada alat praktikum yang digunakan. Beberapa alasan tersebut sering melandasi pengguna dalam menggunakan media yaitu bertujuan untuk mendemonstrasikan atau memperagakan sesuatu.
b.    Familliarity
Pengguna media pembelajaran memiliki alasan pribadi mengapa ia menggunakan media, yaitu karena sudah terbiasa menggunakan media tersebut, merasa sudah menguasai media tersebut, jika menggunakan media lain belum tentu bisa dan untuk mempelajarinya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya, sehingga secara terus menerus ia menggunakan media yang sama. Misalnya seorang dosen yang sudah terbiasa menggunakan media Over Head Projector (OHP) dan Over Head Transparancy (OHT), kebiasaan menggunakan media tersebut didasarkan atas alasan karena sudah akrab dan menguasai detil dari media tersebut, meski sebaiknya seorang guru lebih variatif dalam memilih media, dalam konsepnya tidak ada satu media yang sempurna, dalam arti kata tidak ada satu media yang sesuai dengan semua tujuan pembelajaran, sesuai dengan semua situasi dan sesuai dengan semua karakteristik siswa. Media yang baik adalah bersifat kontekstual sesuai dengan realitas kebutuhan belajar yang dihadapi siswa. Jika kita lihat pada contoh diatas, media OHP lebih tepat untuk mengajarkan konsep dan aspek – aspek kognitif, dapat digunakan dalam jumlah siswa maksimal 50 orang dengan ruangan yang tidak terlalu besar dan siswa cenderung pasif tidak dapat melibatkan secara optimal potensi mental, emosional dan motor skill, karena kontrol pembelajaran ada pada guru. Tentu saja OHP kurang tepat untuk mengajarkan keterampilan yang menuntut demonstrasi, praktek langsung yang lebih membuat siswa aktif secara fisik dan mental. Alasan familliarity tentu saja tidak selamanya tepat, jika tidak memperhatikan tujuannya. Meski demikian alasan ini cukup banyak terjadi dalam pembelajaran.
c.    Clarity
Alasan ketiga ini mengapa guru menggunakan media adalah untuk lebih memperjelas pesan pembelajaran dan memberikan penjelasan yang lebih konkrit. Pada praktek pembelajaran, masih banyak guru tidak menggunakan media atau tanpa media, metode yang digunakan dengan ceramah (ekspository), cara seperti ini memang tidak merepotkan guru untuk menyiapkan media, cukup dengan menguasai materi, maka pembelajaran dapat berlangsung, namun apakah pembelajaran seperti ini akan berhasil ? cara pembelajaran seperti ini cenderung akan mengakibatkan verbalistis, yaitu pesan yang disampaikan guru tidak sama dengan persepsi siswa, mengapa hal ini bisa terjadi ? karena informasi tidak bersifat konkrit, jika guru tidak mampu secara detail dan spesifik menjelaskan pesan pembelajaran, maka verbalistis akan terjadi. Misalnya seorang guru IPA di sekolah Dasar sedang menjelaskan ciri –ciri makhluk hidup, diantaranya bahwa makhluk hidup dapat bernafas dengan insang maka akan membayangkan bentuk – bentuk lain yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Disinilah banyak pengguna media, memiliki alasan bahwa menggunakan media adalah untuk membuat informasi lebih jelas dan konkrit sesuai kenyataannya. Alasan ini lebih tepat dipilih guru dibanding dengan alasan kedua diatas.
d.   Active Learning
Media dapat berbuat lebih dari yang bisa dilakukan oleh guru. Salah satu aspek yang harus diupayakan oleh guru dalam pembelajaran adalah siswa harus berperan secara aktif baik secara fisik, mental, dan emosional. Dalam prakteknya guru tidak selamanya mampu membuat siswa aktif hanya dengan cara ceramah, tanya jawab dan lain – lain namun diperlukan media untuk menarik minat atau gairah belajar siswa. Seperti pendapat Lesle J. Briggs (1979) menyatakan bahwa media pembelajaran sebagai “ the physical means of conveying instruction content book, films, videotapes, etc. Lebih jauh Briggs menyatakan media adalah “alat untuk memberi perangsang bagi peserta didik supaya terjadi proses belajar. Sedangkan mengenai efektifitas media, Brown (1970) menggaris bawahi bahwa media yang digunakan guru atau guru atau siswa dengan baik dapat mempengaruhi efektifitas program belajar mengajar. Sebagai contoh seorang guru memanfaatkan teknologi komputer berupa CD interaktif untuk mengajarkan materi fisika. Dengan CD interaktif seorang siswa dapat lebih aktif mempelajari materi dan menumbuhkan kemandirian belajar, guru hanya mengamati, dan mereview penguasaan materi oleh siswa. Cara seperti ini membuat siswa lebih termotivasi untuk belajar, terlebih kemasan rogram CD interaktif dengan multimedia menarik perhatian dan membuat pesan pembelajaran lebih lengkap dan jelas. Contoh lain dapat dilihat pada pelatihan Emotional Spiritual Question (ESQ), salah satu tujuan pelatihan ini adalah menumbuhkan seoptimal mungkin motivasi peserta untuk berbuat positif dengan spirit yang besar dan optimalisasi potensi individu, diantaranya dengan cara mengkaji proses dan kejadian serta fenomena alam (ayat qauniyyah), untuk mewujudkan tujuan ini digunakan banyak visualisasi (media video) untuk memperlihatkan tayangan – tayangan yang mampu meningkatkan motivasi peserta, dan hasilnya secara empirik terbukti mampu meningkatkan motivasi peserta.
Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa keberadaan media dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan yang sudah ada, baik media realita yaitu media alami yang tersedia di alam sekitar misalnya : gunung, sawah, air, berbagai jenis batuan, hewan, tumbuhan, dan lain – lain. Media juga dapat diperoleh dengan cara pembelian.

§  Pertanyaan pertama, mempermasalahkan tentang kesesuaian antara media dan tujuan, pertanyaan ini ditempatkan paling awal karena dasar pokok pemilihan media adalah kesesuaian dengan tujuan. Jika tujuannya “siswa diharapkan mampu memahami konsep terjadinya hujan” maka didalam media tersebut dinyatakan secara eksplisit tujuan tersebut, selain itu isi media menggambarkan bagaimana proses terjadinya hujan.
§  Pertanyaan kedua, mengingatkan bahwa media harus disertai dengan informasi petunjuk penggunaan media, yang disebut dengan manual book. Informasi ini penting karena pengguna tidak semuanya dapat langsung menggunakan media dengan benar. Beberapa media tertentu, misalnya media elektronik diperlukan juga informasi petunjuk pengoperasian dan cara pemeliharaan (maintenance). Sebagai contoh media OHP, LCD Projector dan kamera Foto / Video sering mengalami kerusakan, padahal belum lama dibeli, kerusakan sering terjadi pada lensa dan kerusakan mekanik, hal ini terjadi karena pengguna tidak mengetahui cara pemeliharaan media, misalnya : simpanlah media tersebut ditempat yang kering hindari kelembaban, gunakan silicon gel untuk menghindari jamur, dengan suhu tertentu dan alat – alat tersebut harus dinyalakan (dihangatkan) meskipun tidak dipakai minimal 5 menit dalam sehari. Petunjuk tersebut tertera dalam manual book ,jika dicermati dan dilaksanakan maka media akan bertahan lama, tidak cepat rusak.
§  Pertanyaan ketiga adalah apakah perlu dibentuk tim ahli dan pengguna media untuk mereview media tersebut. Hal ini dilakukan jika sekolah akan mengadakan media dalam jumlah banyak sehingga membutuhkan biaya besar, untuk menghindari ketidakcocokan media tersebut, maka sebaiknya sekolah membentuk tim yang terdiri dari ahli media (media specialist) dan guru sebagai pengguna yang juga menguasai materi pelajaran (content specialist). Secara teknis, sebelum pembelian maka pihak sekolah mengambil beberapa sampel media untuk dikaji oleh tim ahli, diujicobakan dalam lingkup terbatas oleh pengguna (user) baik guru maupun siswa, temuan dari tim ahli tersebut akan dijadikan sebagai dasar jadi atau tidak pembelian media tersebut.
§  Pertanyaan keempat adalah apakah terdapat media di pasaran yang telah divalidasi atau diujicoba ? sebaik – baik media adalah telah dilakukan validasi, sebab proses validasi dilakukan menggunakan prosedur ilmiah yang hasilnya tidak perlu diragukan lagi. Media yang dijual bebas dipasaran tidak semuanya hasil dari pengujian, akan lebih baik lagi kalau sudah dilakukan riset sebelumnya. Hal ini tentu saja untuk mengantisipasi point pertanyaan ketiga diatas. Jika ternyata media itu sudah dilakukan uji validitas yang dibuktikan dengan data, informasi kalau perlu sertifikasi uji validitas, maka hal itu lebih baik, karena akan lebih efisien waktu, tenaga, dan biaya, daripada kita membentuk tim ahli, namun demikian kita harus mencermati dengan teliti bagaimana melakukan uji validitas tersebut apakah sudah sesuai dengan prosedur atau tidak.
§  Pertanyaan kelima adalah apakah media tersebut boleh direview terlebih dahulu sebelum membeli ? hal ini kaitannya dengan pertanyaan ketiga ketika pihak sekolah akan membentuk tim, proses pembentukan tim ini dilakukan jika media yang akan dibeli diperbolehkan untuk direview. Jika ya, maka selanjutnya proses review dilakukan oleh tim atau hanya oleh guru sendiri.
§  Pertanyaan keenam adalah apakah terdapat format review yang sudah dibakukan ? pertanyaan tersebut menjadi penting, karena salah satu syarat uji validitas adalah menggunakan instrument yang juga sudah valid. Instrumen yang sudah valid dan sudah dibakukan dapat digunakan oleh siapa saja, tidak harus melibatkan tim ahli lagi. Jika review dilakukan oleh sekelompok guru atau guru secara personal yang memiliki pemahaman terbatas tentang media tersebut, maka hasilnya tidak representatif untuk mengukur kevalidan media, maka dengan kemampuan yang terbatas menjadi tidak masalah jika menggunakan instrumen yang telah dibakukan. Mengapa instrumen tersebut dapat mengukur kevalidan media ? karena instrumen dihasilkan dari serangkaian kegiatan riset, dikaji oleh beberapa ahli media, ahli materi, ahli bahasa dan ahli khusus sesuai dengan karakteristik media tersebut, misalnya media internet, perlu juga dikaji oleh ahli information tecnology (IT) yang hasilnya dapat berupa format instrumen penilaian media internet yang sudah valid, dapat mereview media lain asal masih berkaitan dengan intenet.
B.       Kriteria Pemilihan Media
1.      Kriteria Umum Pemilihan Media
Dasar pertimbangan dalam pemilihan media adalah dapat terpenuhinya kebutuhan dan tercapainya tujuan pembelajaran, jika tidak sesuai dengan kebutuhan  dan tujuan  maka media tersebut  tidak digunakan. Mc. M. Connel (1974) dengan tegas mengatakan if the medium fits use it” artinya jika media sesuai maka gunakanlah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian media :
a.         Tujuan pembelajaran
b.         Karakteristik siswa
c.         Modalitas belajar siswa (auditif, visual, dan kinestetik)
d.        Lingkungan
e.         Ketersediaan fasilitas pendukung
Ada beberapa kriteria umum yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media. Namun demikian secara teoritik bahwa setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan yang akan memberikan pengaruh  kepada efektifitas program pembelajaran. Sejalan dengan hal ini, pendekatan yang ditempuh adalah mengkaji media sebagai bagian integral dalam proses pendidikan yang kajiannya akan sangat dipengaruhi beberapa kriteria umum sebagai berikut:



            
§   Kriteria pertama, kesesuaian dengan tujuan (instructional goals). Perlu dikaji tujuan pembelajaran apa   yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran. Dari kajian tujuan instruksional umum (TIU) atau tujuan instruksional khusus (TIK) ini bisa dianalisis media apa yang cocok guna mencapai tujuan tersebut. Selain itu analisis dapat diarahkan pada taksonomi Bloom, apakah tujuan itu bersifat  kognitif, afektif dan psikomotor. Pada Kurikulum Berbasis kompetensi 2006, kriteria pemilihan media didasarkan atas kesesuaiannya dengan standar kompetensi dan indikator. Sebagai contoh lihatlah penggalan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berikut ini yang diambil dari kurikulum 2006.
Mata Pelajaran                 :  Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Kelas                                :  X
Semester                           : 1
Standar Kompetensi         : Menggunakan Ssistem Operasi (operating System) untuk    manajemen file dan periferal
Kompetensi Dasar
Materi Pokok
Pengalaman belajar
Indikator Pencapaian
Media yang dipilih
Melakukan operasi dasar komputer
Menggunakan OS
Peran OS dalam komputer
§  Mencermati prosedur menghidupkan serta mematikan komputer
§  Mengikuti penjelasan peran OS pada program komputer
§  Mengamati secara teliti perintah-perintah OS yang ada
§  Mendemonstrasikan prosedur baku menghidupkan dan mematikan komputer
§  Menunjukan posisi OS dan program aplikasi yang terpasang
§  Mendeskripsikan perintah OS yang terpasang
§  Mengelola program aplikasi yang sedang berjalan
Komputer dan software sistem operasi


Secara eksplisit tujuan pembelajaran akan ditemukan dalam rencana pembelajaran seperti di atas. Dari kolom diatas, dapat kita cermati jika sebuah pembelajaran TIK akan dilaksanakan dengan indikator seperti tampak di atas, maka indikator media yang sesuai adalah apa yang dibutuhkan dalam indikator, jika indikatornya adalah mencermati prosedur menghidupkan serta mematikan komputer, mengikuti penjelasan peran OS pada program komputer , mengamati secara teliti perintah – perintah OS yang ada. Maka media yang tepat adalah seperangkat hardware komputer dan satu CD software operating system.  
§  Kriteria kedua, kesesuaian dengan materi pembelajaran (instructional content), yaitu bahan atau kajian apa yang akan diajarkan pada program tersebut. Pertimbangan lainnya, dari bahan atau pokok bahasan tersebut sampai sejauh mana kedalamanan  yang harus dicapai, dengan demikian kita bisa memprtimbangkan media apa yang sesuai untuk pemyampaian bahan tersebut. Contohnya dapat dilihat pada kolom kriteria dua di atas. Disana tertera dengan jelas materi pembelajaran, misalnya “Peran OS dalam komputer” dengan demikian media yang dianggap tepat adalah sesuai dengan materi yang diajarkan, jika pokok materinya itu maka komputer merupakan media yang dianggap paling tepat.      
§  Kriteria ketiga, kesesuaian dengan karakteristik pebelajar atau siswa. Dalam hal ini media harus familiar dengan karakteristik siswa atau guru. Yaitu mengkaji sifat-sifat dan ciri media yang kan digunakan. Terdapat media yang cocok untuk sekelompok siswa, namun tidak cocok untuk siswa  yang lain. Dengan demikian pemilihan media harus melihat kondisi siswa secara fisik terutama keberfungsian alat indra yang dimiliki. Selain itu perlu juga diperhatikan kemampuan awal siswa, budaya maupun  kebiasaan siswa. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari respon negatif siswa, serta kesenjangan pemahaman antara pemahaman yang dimiliki peserta didik sebagai hasil belajarnya dengan isi materi yang terdapat pada media tersebut.


§  Kriteria keempat, kesesuaian dengan teori. Pemilihan media harus didasarkan atas kesesuaian dengan teori. Media yang dipilih bukan karena fanatisme guru terhadap media yang dianggap paling bagus, namun didasarkan atas teori yang diangkat dari penelitian dan riset sehingga telah teruji validitasnya. Media harus merupakanbagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran yang fungsinya untukmeningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran.
§  Kriteria kelima, kesesuaian dengan gaya belajar siswa. Kriteria ini didasarkan atas kondisi psikologis siswa, bahwa siswa belajar dipengaruhi pula oleh gaya belajar siswa. Bobby DePorter (1999: 117) dalam buku Quantum Learning mengemukakan terdapat tiga gaya belajar siswa, yaitu : tipe visual audotorial dan kinestetik. Siswa yang memiliki tipe visual akan mudah memahami materi  jika media yang digunakan adalah media visual seperti  televisi, video,  grafis dan lain-lain. Siswa dengan tipe auditif, lebih menyukai cara  belajar dengn mendengarkan dibanding menulis dan melihat tayangan. Untuk mengidentifikasi tipe auditorial ini dapat dilihat dari kebiasaan belajarnya, misalnya : berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, mudah terganggu oleh keributan, senang membaca keras dan mendengarkannya, merasa kesulitan dalam menulis namun memiliki kecerdasan dalam berbicara, belajar dengan cara mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan. Tipe kinestetik lebih suka melakukan dibandingkan  membaca dan mendengarkan. Ciri – ciri tipe ini diantaranya : berbicara dengan perlahan, menanggapi perhatian fisik, menyentuh orang untuk memperoleh perhatian dari orang lain, belajar melalui manipulasi dan praktek, belajar dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari telunjuk ketika membaca dan lain – lain.
§  Kriteria keenam, kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu yang tersedia. Dalam pengadaan sebuah media akan lebih bagus apabila didukung oleh waktu dan fasilitas yang tersedia, maka proses pembelajaran pun akan efektif.  Media terkait juga dengan penggunaan, dalam hal ini guru, jika guru tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan media tersebut dengan baik maka akan sia-sia, begitu halnya dengsn fasilitas lainnya. Misalnya sekolah di sebuah desa terpencil membeli perangkat komputer untuk mata pelajaran TIK, namun hal itu menjadi tidak berfungsi dengan baik, karena ternyata di sekolah tersebut belum terpasang aliran listrik.   
2.       Kriteria khusus pemilihan media
Erickson (1993) memberi saran dalam mengembangkan kriteria pemilihan media dalam bentuk check list sebagai berikut :
No
PERTANYAAN
KET
1.
Apakah materinya penting dan berguna bagi siswa?  
2.
Apakah dapat menarik minat siswa untuk belajar ?
3.
Apakah ada kaitannya dan mengenai secara langsung dengan tujuan pembelajaran
4.
Bagaimana format penyajiannya diatur ? Apakah memenuhi tata urutan yang teratur ?
5.
Bagaimana dengan materinya mutakhir dan authentik ?
6.
Apakah konsep dan kecermatannya terjamin secara jelas ?
7.
Apakah isi dan presentasinya memenuhi standar ?
8.
Apakah penyajiannya objektif ?
9.
Apakah bahannya memenuhi standar kualitas teknis ?
10.
Apakah bahan tersebut sudah melalui pemantapan uji coba atau validasi ?

Tabel di atas menunjukkan cara dalam memilih media dengan memperhatikan aspek – aspek yang dipertanyakan di atas, dalam kata lain medianya sudah tersedia dan kita tinggal melakukan pemilihan dengan cermat.
Sejumlah kriteria khusus dalam memilih media pembelajaran yang tepat dapat kita rumuskan dalam satu kata ACTION yaitu akronim dari: access, cost, technology, interactivity, organization and novelty.


ACCESS
Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam memilih media. Apakah media yang kita perlukan tersedia, mudah, dan dapat dimanfaatkan oleh murid?
komputer yang terhubung ke internet jangan hanya digunakan untuk kepala sekolah, tapi juga guru, dan yang lebih penting untuk murid. Dalam hal ini media harus merupakan bagian dalam interaksi dan aktivitas siswa.
COST
Dalam pengadaan media biaya juga harus dipertimbangkan. Banyak media yang menjadi pilihan, namun pada umumnya media canggih cenderung mahal. Media yang efektif tidak selalu mahal jika guru kreatif dan menguasai betul materi pelajaran maka akan memanfaatkan objek-objek untuk dijadikan sebagai  media dengan biaya yang murah namun efektif.
TECHNOLOGY
Mungkin saja kita tertarik pada suatu media tertentu,  namun yang perlu dperhatikan adalah ketersediaannya teknologi dan mudah untuk menggunakannya.
INTERACTIVITY
Media yang baik adalah media yang dapat  memunculkan komunikasi dua arah atau interaktivitas. Setiap kegiatan pembelajaran yang dikembangkan memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
ORGANIZATION
Pertimbangan yang juga penting dalam hal pengadaan media adalah dukungan organisasi, misalnya pimpinan sekolah atau yayasan sekolah mendukung dan berpartisipasi dalm pengadaan media.
NOVELTY
Media yang lebih baru akan lebih baik dan lebih menarik bagi siswa. diantara media yang relatif baru adalah media yang memanfaatkan ICT atau teknologi informasi dan komunikasi khususnya  penggunaan internet
               
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Media memiliki banyak jenis dan klasifikasinya. Dilihat dari pengadaan media pembelajaran, dapat dikelompokan kedalam dua jenis, yaitu media yang sudah tersedia di lingkungan sekolah atau tersedia di pasaran, dalam hal ini media dirancang secara khusus oleh perusahaan terrtentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku, diproduksi secara massal, dan biasanya harganya relatif murah sehingga guru dengan mudah dapat memiliki dan menggunakannya karena media ini sudah siap pakai. Jenis media seperti ini disebut dengan media by utilization. Jenis media yang kedua disebut degan media by design. Jenis media yang kedua ini menuntut guru atau ahli media untuk merancang media sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran tertentu. Masing – masing jenis media tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasannya. Kelebihan dari media yang siap pakai adalah hemat dalam waktu, tenaga dan biaya untuk pengadaannya. Sebaliknya untuk mempersiapkan media yang dirancang secara khusus untuk kebutuhan tertentu memerlukan banyak waktu, tenaga maupun biaya, karena untuk menghasilkan media – media yang baik diperlukan pengujian kesahihan dan keandalannya melalui serangkaian kegiatan validasi prototipnya.
B.       Saran
Dalam penusunan makalah ini, Kami selaku Penyusun tentunya mengalami banyak kekeliruan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar – besarnya, di karenakan kami masih dalam tarap pembelajaran.
Seperti ada pepatah mengatakan : “ Tak ada gading yang tak retak “. Maka dari itu kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah berikutnya sehingga makalah berikutnya lebih sempurna dari pada makalah sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Riyana, Cepi. 2007. Media Pembelajaran. UPI PRESS : Bandung.