Judul Makalah : Bimbingan Pada Siswa dengan Hambatan Berpikir dan Fisik Motorik
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berdasarkan
sejarah perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak - anak berkebutuhan
khusus (ABK) maka dapat dicatat bahwa kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus
dan keluarganya masih banyak yang terabaikan selama bertahun - tahun hingga
saat ini. Sejarah juga mencatat bagaimana tanggapan sebagian besar masyarakat
terhadap keberadaan anak-anak tersebut dan keluarganya. Sebagian besar
masyarakat masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan
yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular,
gila, dan lain-lain. Akibat dari itu maka ABK dan keluarga ada yang dikucilkan
oleh masyarakatnya. Ada diantara ABK sendiri yang menarik diri tidak mau
berbaur dengan masyarakat karena merasa cemas dan terancam.
Kondisi
tersebut tentunya membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh
kembang ABK, bahkan terhadap keluarganya (kedua orangtuanya). Thompson dkk.
(2004) menyatakan bahwa pandangan atau penilain negatif dari lingkungan terhadap
ABK dan keluarganya merupakan tantangan terbesar selain kecacatan yang
disandang oleh ABK itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh yang
bersangkutan beserta keluarganya. Bahkan cara pandang masyarakat yang negatif
menjadi stigma yang berkepanjangan (Rahardja, 2006). Dampak yang jelas sering
ditemui adalah terhadap konsep diri, prestasi belajar, perkembangan fisik, dan
perilaku menyimpang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Thompson ….(2004) bahwa
pandangan negatif dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra diri
yang negatif dari ABK.
Sehingga persoalan yang dihadapi oleh anak
berkebutuhan khusus menjadi semakin bertumpuk-tumpuk. ABK tidak hanya harus
mengatasi hambatan yang muncul dari dirinya sendiri, ia harus menghadapi pula
berbagai tantangan atau rintangan yang datangnya dari lingkungan. Di satu sisi,
ABK berupaya memenuhi kebutuhannya, sedangkan lingkungan sering tidak dapat
memberikan peluang bagi ABK untuk dapat tumbuh serta berkembang sesuai dengan
kondisinya itu. Maka tidak sedikit ABK tidak mencapai perkembangan yang
optimal.
Semakin bertambahnya permasalahan membuat ABK
menjadi kelompok yang rentan “terpinggirkan” dari kehidupan sosial, poolitik,
budaya, ekonomi, dan pendidikan. Seolah-olah mereka bukan bagian dari anggota
masnyarakat dan dianggap tidak membutuhkan hal tersebut. Sejatinya, ABK adalah
anggota masyarakat juga, sama-sama makhluk tuhan yang membutuhkan banyak hal
sebagaimana manusia lainnya agar mampu mengisi kehidupannya secara mandiri
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Berdasarkan keadaan sebagaimana dipaparkan di
atas maka ABK membutuhkan “alat” agar dirinya mampu mengatasi hambatan yang
dialaminya dan mampu hidup mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Alat itu diantaranya adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan diharapakan
ABK memperoleh bekal hidup dan mencapai perkembangan yang optimal. Namun,
dengan menumpukknya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh ABK, tidaklah
cukup melalui pendidikan dengan proses belajar mengajar di kelas. ABK juga
butuh layanan yang mendukung kepada keberhasilan belajar dan layanan yang
memandirikan untuk mencapai perkembangan yang optimal. Layanan itu adalah
bimbingan dan konseling.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
latar belakang dan konsep dasar anak dengan hambatan kecerdasan dan fisik
motorik?
2. Bagaimana
identifikasi dini hambatan penginderaan (sensori) dan motorik?
3. Bagaimana
bimbingan yang efektif pada anak tunagrahita?
4. Bagaimana
cara bimbingan sensorimotor pada anak tunagrahita?
5. Bagaimana
metode bimbingan pengembangan sensorimotor?
6. Bagaimana
layanan bimbingan belajar?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (BABK). Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami secara
mendalam mengenai:
1. Latar
belakang dan konsep dasar anak dengan hambatan kecerdasan dan fisik motorik.
2. Identifikasi
dini hambatan penginderaan (sensori) dan motorik.
3. Bimbingan
yang efektif pada anak tunagrahita.
4. Cara
bimbingan sensorimotor pada anak tunagrahita.
5. Metode
bimbingan pengembangan sensorimotor.
6. Layanan
bimbingan belajar.
D. Metode
Penulisan
Dalam makalah
ini penyusun menggunakan metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang
berkaitan dengan materi dari beberapa sumber baik buku maupun internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang dan Konsep Dasar Anak dengan Hambatan Kecerdasan dan Fisik Motorik
1. Latar
belakang
Anak
– anak dengan hambatan kecerdasan seperti tunagrahita mempunyai masalah
perilaku yang berhubungan dengan hambatan proses sensori (penginderaan). Masalah
sensori integrasi sering dijumpai pada anak – anak tunagrahita usia pra sekolah
dan sekolah. Guru dan orang tua dapat menandai anaknya yang hipersensitif
terhadap lampu, suara, rabaan, dan sentuhan benda. Beberapa anak dapat
menunjukkan penolakan terhadap sentuhan, dengan reaksi yang kuat tidak mau
tersentuh dengan benda lain termasuk dengan bajunya. Penglihatan yang mudah beralih
pada lingkungan yang ramai, terhadap peristiwa yang tidak diduga, dan menjaga
kontak mata adalah problem sensorimotor yang umum dijumpai pada anak – anak
tunagrahita. Setiap masalah tersebut dapat mempengaruhi perilakunya menjadi
hipersensitif dan kesulitan dalam mengatur rangsangan, sehingga dapat mengakibatkan
reaksi yang berlebihan terhadap situasi yang sangat menstimulasi, seperti
perubahan dalam keseharian, atau tuntutan berinteraksi.
Masalah
ketidakmampuan memusatkan perhatian adalah akibat lain dari proses sensorimotor
yang berlebihan. Tuntutan adanya kontak mata langsung selama berbicara
merupakan masalah yang banyak dijumpai pada anak tunagrahita, ketika interaksi
dengan guru atau orang tua mereka, beberapa anak tunagrahita tidak mampu
menatap langsung. Sensorimotor merupakan fase dasar perkembangan manusia yang
menunjang perkembangan selanjutnya. Melatih sensorimotor atau penginderaan itu
merupakan pekerjaan yang memiliki arti yang sangat penting dalam pendidikan.
Pada fase tersebut anak mulai bertanya dengan mengapa? apa? dan bagaimana?
Pertanyaan yang dimulai dengan kata – kata ini sering terdengar oleh kita
selama fase sensorimotor.
Melalui
perjalanan waktu, perlahan – lahan anak berhasil menggenggam benda – benda
konkrit menuju pada pengertian lingkungan yang abstrak. Dengan demikian, anak
tunagrahita ini membutuhkan latihan sensorimotor agar penginderaannya dapat
berkembang optimal. Latihan sensorimotor pada umumnya dimulai dari hal yang
kontras menuju kepada kesamaan dan perbedaan yang halus. Dengan latihan ini,
kemampuan motoris anak dapat dikembangkan secara optimal dan kemungkinan adanya
hambatan perkembangan dapat di diagnosis dengan lebih teliti dan akurat.
Disamping itu, melalui latihan ini, tidak hanya akan membangun dan menstimulasi
penginderaan anak tunagrahita, melainkan juga dapat menunjang pengembangan
bakat matematika, bahasa, dan kemampuan persepsi pada umumnya.
Adapun
tugas guru yang dapat mendukung tercapainya tujuan dari latihan sensorimotor
ini adalah sebagai berikut: a). Mempersiapkan lingkungan yang harmonis
(menyenangkan, menarik, dan teratur) serta memungkinkan anak bekerja dengan
senang dan penuh konsentrasi. b). Mampu mengobservasi anak dengan tepat
sehingga dapat ditemukan kesiapan belajar anak, dan tingkat kesulitan belajar
anak. c). Memanfaatkan benda atau material yang ada di lingkungan sekitar anak
untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Konsep
dasar siswa dengan hambatan kecerdasan dan fisik motorik
Istilah
hambatan perkembangan secara perlahan – lahan bergeser menggantikan istilah
yang selama ini digunakan untuk menunjukkan individu yang terbelakang mental
(ringan, sedang, dan berat). Beberapa peneliti masih menggunakan istilah
retardasi mental. Istilah terbelakangan mental ini kemudian di deskripsikan
sebagai keterbatasan yang substansial pada fungsi – fungsi yang dicirikan
dengan fungsi intelektual yang berada dibawah rata – rata, keterbatasan pada
dua atau lebih kemampuan penggunaan perilaku adaptif dalam berkomunikasi,
merawat diri, kesehatan dan keamanan, fungsi – fungsi akademik, dan bekerja.
Individu
dengan hambatan perkembangan motorik adalah mereka yang mengalami keterbatasan
dalam 10 wilayah spesifik dalam perilaku adaptifnya, seperti : a). berkomunikasi,
b). merawat diri, c). kehidupan dirumah, d). kemampuan sosial, e). bermasyarakat,
f). pengendalian diri, g). kesehatan dan rasa aman, h). fungsi akademik, i). menentukan
waktu istirahat dan menentukan waktu bekerja. Mereka ini sering lebih mudah
dikenali dibandingkan dengan individu yang mengalami hambatan – hambatan
lainnya.
B.
Identifikasi
Dini Hambatan Penginderaan (sensori) dan Motorik
Jika
kita mengamati anak – anak usia pra sekolah dan sekolah yang termasuk anak
tunagrahita dan anak dengan hambatan motorik seperti anak tunadaksa yang sedang
melakukan kegiatan sehari – hari, bermain atau belajar, maka dapat
diidentifikasi beberapa anak tersebut mengalami hambatan pada gerakan (motorik)
dan penginderaan (sensorik) atau persepsi, sehingga prestasi belajarnya
cenderung rendah dalam pelajaran pra- membaca, menulis dan berhitung yang
merupakan dasar untuk mempelajari pengetahuan lainnya. Adapun yang dimaksud
hambatan – hambatan tersebut meliputi :
1. Hambatan
pada fungsi penginderaan (sensori)
Penginderaan
(sensori) adalah suatu kemampuan untuk merasakan, mendengar, dan melihat.
Sedangkan apa yang telah dirasakan, didengar, atau dilihat melalui indera itu
masuk ke dalam otak (sensori input), terintegrasi dan diolah di dalam pusat
interpretasi menjadi persepsi. Jadi sensori
dan persepsi itu adalah dua istilah
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan dapat dikatakan persepsi
sama dengan sensori analysis, yaitu
suatu istilah yang digunakan pada proses pengenalan dan interpretasi
(pemaknaan) informasi melalui indera.
Apabila
kita amati di sekolah, maka ditemukan, pada umumnya anak tunagrahita itu
mengalami hambatan pada fungsi indera penglihatan (visual), meskipun anak ini
pada kenyataannya mampu melihat, sehingga berakibat mereka mengalami kesulitan
untuk membedakan satu obyek dari yang lainnya. Misalnya antara bentuk bulat dan
oval serta bentuk – bentuk geometri lainnya yang mirip, juga kesulitan dalam
mengenali abjad dari susunan huruf, suku kata, dan kata serta tidak mampu
mengingat isi bacaan yang tertulis atau memaknai kata / kalimat yang telah
dibacanya.
Disamping
itu, mereka juga ada yang mengalami kesulitan membaca atau dikte yang bukan
disebabkan karena mereka tidak mampu mendengar, melainkan disebabkan karena
mengalami hambatan fungsi persepsi pendengaran (auditory perception). Mereka
ini biasanya mengalami kesulitan untuk mengenal, membedakan atau memisahkan
bunyi pada kata – kata atau banyaknya bunyi dalam suatu kata, misalnya
membedakan bunyi – bunyi “b” dan “p”, dsb.
2. Hambatan
pada fungsi gerakan (Motorik)
Anak
– anak tunagrahita pada umumnya mengalami hambatan fungsi motorik, biasanya
mereka mengalami kesulitan untuk mengontrol gerakan dengan sempurna. Walaupun
anak tunagrahita ini dapat berjalan, berlari, meloncat dan mengerjakan
aktivitas motorik lainnya, tetapi gerakan – gerakannya kurang terampil
dibandingkan dengan anak lainnya yang seusia. Justru disinilah dapat dilihat
bila seorang anak tunagrahita mengalami hambatan pada gerakan motorik halus,
maka ia menjadi kurang terampil menggerakkan tangan dan jari – jarinya,
misalnya ketika mengancingkan baju, menalikan sepatu, menggunting, menggambar,
dan menulis. Demikian pula apabila seorang anak tunagrahita mengalami disfungsi
pada gerakan otot – otot di sekitar mulut dan wajah, maka anak ini akan
mengalami hambatan artikulasi yang dapat menghambat perkembangan bahasanya.
3. Hambatan
belajar pada anak tunagrahita
Seorang
anak tunagrahita didalam kelas biasanya pemalu, tidak suka berpartisipasi,
tidak pernah mengangkat tangan dikelas, tidak bisa konsentrasi dan duduk dengan
tenang dan juga tidak belajar dengan baik. Salah satu alasan untuk perilaku
anak tersebut mungkin karena dia rendah diri. Anak ini tidak percaya diri
dengan kemampuannya. Dia mungkin berpikir merasa tidak berharga sebagai anggota
kelas. Penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara bagaimana anak
memandang dirinya dan prestasi belajarnya. Penelitian tersebut menemukan bahwa
seorang anak yang rendah diri karena umpan balik negatif (kritikan) akhirnya
tidak pernah mau mencoba lagi. Selanjutnya daripada gagal, anak lebih baik
menghindar dari tugas tersebut.
C.
Bimbingan
yang Efektif pada Anak Tunagrahita
Pada
dasarnya tidak ada anak yang “tidak mampu belajar”. Dengan diberikan kondisi
yang tepat dan kondusif, semua anak, baik laki – laki ataupun perempuan dapat
mengikuti proses belajar secara efektif, terutama jika mereka melakukannya
dalam bentuk “ belajar sambil mempraktekkan” (learning by doing). Proses belajar yang terbaik untuk semua orang
adalah dengan “learning by doing”
yaitu belajar melalui kegiatan nyata untuk memperoleh pengalaman. Inilah
sebenarnya yang kita maksud dengan “belajar aktif” atau “pembelajaran
partisipatori” artinya, anak mempelajari pengetahuan / keterampilan baru
melalui berbagai kegiatan dan metode pembelajaran.
Kegiatan
ini sering dikaitkan dengan pengalaman praktis anak setiap harinya. Hubungan
ini membantu mereka memahami dan mengingat apa yang mereka pelajari dan
kemudian menggunakannya dalam kehidupan. Dengan mengetahui cara yang berbeda
ini akan membantu kita mengembangkan kegiatan belajar yang lebih bermakna untuk
semua anak dalam kelas.
1. Bimbingan
malalui pembelajaran sensorimotor : penglihatan (visual), pendengaran
(auditif), taktile (perabaan) dan gerak kinestetik (motorik – kinestetik)
Apa yang dilakukan anak
– anak ketika pertama masuk kelas pada pagi hari? Mudah – mudahan mereka
melihat kepada anda (proses visual), mendengarkan anda (suara, verbal, proses
auditori), dan memperhatikan apa yang anda dan orang lain lakukan (proses
gerak-kinestetik), dan merasakan apa yang dilakukan (proses taktile). Berarti
mereka belajar melalui optimalisasi fungsi sensori (indera). Semua sensori
(indera) tersebut sangat penting untuk membantu anak belajar. Bagi anak
tunagrahita (mentally retarded), mereka belajar dengan cara yang sama dengan
anak lain. Namun anak – anak ini, mengalami hambatan dalam pemaknaan terhadap
apa yang mereka dengar, lihat, rasakan, lakukan (persepsi sensoris), sehingga
mereka belajar pada kecepatan yang lebih lambat daripada teman lain sebayanya.
Selama bertahun –
tahun, kita tahu bahwa 30% anak belajar dengan sukses melalui mendengar 33%
dengan melihat, dan 37% melalui gerakan. Ada pepatah, : apabila saya mendengar,
maka saya lupa, saya melihat dan saya ingat, saya melakukan dan saya paham.
Pepatah tersebut mengandung makna jika kita mengajar anak, apalagi anak
tunagrahita hanya dengan ceramah klasikal dan anak mendengarkan, maka mereka
hanya belajar sepertiga tentang sesuatu. Situasi yang sama terjadi ketika kita
meminta mereka hanya menuliskan sesuatu di buku catatannya, maka anak tersebut
tidak memperoleh apa – apa.
Berdasarkan analisis
empiris tersebut dapat diartikan, bahwa ketika kita merencanakan pembelajaran,
kita perlu merencanakan penggunaan bahan ajar, penggunaan tugas yang melibatkan
diskusi (menyampaikan dan mendengarkan), dan memberikan kesempatan untuk
melakukan beberapa gerakan (misalnya drama, atau teori yang bisa dihubungkan
dengan berbagai budaya yang ada di kelas). Beberapa anak tunagrahita mungkin
mempunyai kesulitan mempersepsi apa yang dia lihat atau yang dia dengar dan
mengalami hambatan dalam menerima input sensori yang sama seperti anak lain.
2. Bimbingan
melalui tahapan sensorimotor
Untuk tercapainya
tujuan dari bimbingan sensorimotor dengan efektif dan efisien, maka dapat dilakukan
melalui tiga tahapan bimbingan seperti berikut ini :
Tahap
pertama : Nama benda (definisi)
Pada tahap ini guru
menempatkan hubungan antara benda dengan namanya, dengan cara guru
menghilangkan benda – benda secara perlahan – lahan, tetapi tetap jelas
menyebutkan nama benda tersebut. Sehingga semakin jelas hubungan antara benda,
pengertian dan namanya satu sama lain. Dengan demikian nama benda akan tetap
berhubungan dengan benda konkritnya. Jadi, selama guru memegang benda di
tangan, guru juga menyebutkan namanya dengan jelas. Misalnya: ini adalah
silinder, ini adalah sebuah kelereng, ini adalah yang besar, ini yang kecil,
ini yang berat, dsb.
Tahap
kedua: Asosiasi, reproduksi (tahap mencamkan konsep dalam ingatan)
Pada tahap kedua ini
merupakan tahap latihan, dimana anak pasif menggunakan kata – kata, tetapi
aktif bertindak atau melakukan sesuatu. Guru menyebut nama sebuah benda dan
anak menghubungkan dengan bendanya yang sesuai, lalu benda yang dimaksud
diberikan kepada guru lalu meletakkannya di tempat tertentu atau membawanya ke
tempat semula. Pada tahap ini anak harus dilatih dengan intensif melalui
beberapa dialog seperti dengan permintaan yang bervariasi. Misalnya: bawa benda
itu, letakkan kembali pada tempatnya, tunjukkan, carikan, dsb.
Tahap
ketiga: abstraksi (anak aktif menggunakan kata – kata)
Pada tahap ini, dimulai
oleh guru dengan menunjukkan suatu benda dan menanyakan pada anak nama benda
tersebut. Kemudian anak menjawab dengan menyebut nama bendanya. Dengan demikian
dapat dibuktikan, bahwa anak yang semula pasif dalam berbicara menjadi lebih
aktif berbicara.
Jadi pada tahap ketiga
anak harus mampu menyebutkan sendiri nama benda dan menunjukkan nama bendanya.
Apabila pada tahap ini anak tunagrahita masih mengalami kesulitan, maka dapat
dikembalikan pada tahap kedua atau kesatu.
3. Materi
Bimbingan Pembelajaran Sensorimotor
Materi pembelajaran
sensorimotor dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Bimbingan pembelajaran sensori
penglihatan
Materi pembelajaran ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan anak tunagrahita dalam mengenal ukuran
benda dua dimensi dan tiga dimensi (panjang,lebar, dan isi ayau volume). Di
samping itu juga meningkatkan pemahaman anak terhadap warna dasar, campuran,
dan urutan atau tingkatan warna.
b.
Bimbingan pembelajaran sensori perabaan
Dengan melatih perabaan
anak tunagrahita, maka keterampilan dan kepekaan anak dalam mengenal dan
membedakan permukaan benda yang kasar dan halus, tingkatan kualitas perabaan
serta bermacam-macam struktur permukaan benda akan meningkat.
c.
Bimbingan pembelajaran sensori
pendengaran
Latihan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan anak tunagrahita dalam membedakan bunyi dan nada
serta kualitas ukuran nada atau bunyi.
d.
Bimbingan pembelajaran sensori terhadap
berat
Melalui latihan ini
diharapkan keterampilan anak tunagrahita meningkat dalam membedakan berat benda
padat, cair, dan gas.
e.
Bimbingan pembelajaran sensori terhadap
panas
Dengan latihan ini,
maka maka keterampilan dan kepekaan anak tunagrahita akan meningkat, terutama
dalam membedakan temperature atau suhu suatu benda dalam lingkungan alam.
f.
Bimbingan pembelajaran sensori penciuman
Pembelajaran sensori
penciuman ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan anak terhadap perbedaan
baud an kualitas bau dari suatu benda.
g.
Bimbingan pembelajaran sensori rasa
Materi ini dimaksudkan
untuk meningkatkan keterampilan anak dalam membedakan jenis-jenis rasa dan
kualitas rasa dari suatu benda.
Semua materi pelajaran
tersebut dapat dipelajari oleh anak tunagrahita dengan menggunakan bahan atau
materi yang ada disekitar anak atau yang dibuat dan dirancang oleh guru
sendiri. Dengan memanfaatkan bahan yang ada di sekitar anak, maka akan dapat
meimbulkan kepedulian anak terhadap lingkungan.
D.
Berbagai
cara bimbingan sensorimotor pada anak tunagrahita
Kita tahu bahwa cara
belajar yang baik antara lain melalui membaca dan mencatat, visualisasi,
gerakan tubuh (tari, olah raga, atau bermain music). Sebagia anak senang
bekerja atau memecahkan soal secara individual, sedangkan anak lainnya,
berinteraksi dengan yang lain untuk menemukan jalan keluar. Jadi anak belajar
dengan berbagai cara.
Jika kita amati atau
temukan banyak cara dimana anak-anak di kelas kita bisa belajar, kita dapat
membantu semua anak belajar lebih baik dan akan mendapatkan kepuasan yang lebih
besar dari mengajar. Belajar aktif dan partisipatori bisa menggunakan banyak
cara untuk membantu anak belajar.
1. Bimbingan
belajar sensori motor anak tunagrahita
Adapun beberapa alur
cara anak belajar sensorimotor adalah sebagai berikut :
a.
Verbal atau linguistic (berbicara atau
berbahasa). Pada alur ini sebagian anak berfikir dan belajar melalui kata,
memori dan mengingat kembali secara lisan dan tulisan.
b.
Logika atau matematika. Pada alur ini
sebagian anak berfikir dan belajar melalui pemikiran dan perhitungan. Mereka
dengan mudah bisa menggunakan angka, mengenal pola abstrak, dan melakukan
pengukuran yang tepat.
c.
Visual atau spasial (penglihatan atau
orientasi ruang). Pada alur ini sebagian anak menyukai seni seperti :
menggambar, lukisan atau patung. Mereka bisa membaca peta, grafik dan diagram
dengan mudah.
d.
Tubuh dan kinestetik (gerakan
otot/tulang). Pada alur sebagian anak belajar melalui gerakan tubuh, permainan
dan drama.
e.
Music atau irama. Pada alur ini sebagian
anak belajar paling baik melalui bunyi, irama/ritme, dan pengulangan.
f.
Antar pribadi. Pada alur ini sebagian
anak lebih mudah belajar dalam kelompok melalui kerja kelompok. Mereka
menyenangi kegiatan kelompok, mudsh memahami situasi social, dan mereka bisa
menjalin hubungan dengan orang lain dengan mudah.
g.
Dalam diri. Pada alur ini sebagian anak
belajar paling baik melalui konsentrasi pribadi dan cerminan diri. Mereka
bekerja sendiri dengan mudah dan paham akan perasaan sendiri dan mengetahui
kelemahan dan kekuatan diri sendiri.
h.
Alami. Pada alur ini anak belajar
sendiri melalui lingkungan alam sekitar secara langsung. Ketika anak belajar,
mereka mungkin menggunakan beberapa alur ini agar mudah mengingat dan memahami.
Ini merupakan hal yang
penting bagi kita untuk menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dan
mencakup campuran alur belajar ini. Dengan demikian kita perlu mengembangkan
rencana pembelajaran yang aktif dan kreatif dalam mengelola kelas.
2. Bimbingan
untuk peningkatan pembelajaran sensorimotor
Beberapa contoh
kegiatan yang dapat meningkatkan pembelajaran sensorimotor adalah sebagai
berikut :
a.
Pilihlah satu pelajaran yang Anda
senangi untuk diajarkan, tetapi mungkin anak Anda tidak bekerja seperti harapan
Anda. Alternatifnya, pilih sebuah mata pelajaran yang ingin Anda ajarkan dan yang
Anda senangi.
b.
Apa saja poin utama (informasi) yang
Anda inginkan agar anak belajar?
c.
Apa saja metode yang Anda lakukan untuk
mengkomunikasikan informasi ini? Menurut Anda, mengapa metode tersebut tidak
berhasil? Misalnya, apakah anak hanya menggunakan satu alur pemeblajaran saja?
d.
Apa saja kegiatan yang dapat Anda
gunakan dalam pembelajaran sehingga anak bisa menggunakan indra mereka
(penglihatan, pendengaran, gerakan, perabaan) dalam belajar? Kegiatan ini
termasuk pada alur pembelajaran apa saja?
e.
Bagaimana Anda dapat menggabungkan
kegiatan ini ke dalam rencana pembelajaran Anda?
f.
Bagaimana Anda dapat memberikan
kontribusi pada perancangan pembelajaran, khusunya anak yang biasanya tidak
berpartisipasi di kelas atau anak-anak dengan beragam latar belakang dan
kemampuan?
g.
Uji cobakan pembelajaran tersebut, kalau
Anda merasa yakin, tanyakan pada anak, jika mereka menyenangi pemebalajaran
itu. Kegiatan mana yang paling disenangi? Dapatkah Anda mengguanakan kegiatan
ini untuk pelajaran yang lain?
E.
Metode
bimbingan pengembangan sensorimotor
Metode multisensory
atau disebut juga metode VAKT (Visual, Auditory, Kinesthetic, Tactile) yang
dikemukakan oleh Fernald merupakan metode yang telah digunakan oleh para guru
untuk mengajar anak-anak tunagrahita, baik di Sekolah Luar Biasa (SLB), di Sekolah
Dasar (SD) maupun di lembaga pelayanan/klinik yang menangani mereka.
Implementasi metode VAKT atau yang sering dikenal dengan metode Fernald ini
lebih memfokuskan pada pemfungsian semua indra/sensori (penglihatan, penciuman,
pendengaran, perabaan dan pengecapan) anak secara simultan dari setiap
informasi atau materi pembelajaran yang diajarkan pada anak tunagrahita, baik
pelajaran yang bersifat akademis maupun non akademis. (Fernald, 1998;72)
Jadi, melalui metode
ini dapat dideskripsikan anak tunagrahita dapat mengikuti proses belajar lebih
utuh, aktif, dinamis dan menyenangkan sehingga mereka dapat mencapai
peningkatan kemampuan perilaku adaptif dan kognitif sesuai dengan kondisi
obyektif mereka.
Pada awalnya metode Fenald
menekankan pada sensori penglihatan, pendengaran, dan kinestetik-taktile untuk
menelusuri dan mengenali huruf, bentuk dan informasi lainnya. Metode tersebut
dirancang dan digunakan untuk mengatasi masalah membaca anak-anak tunagrahita.
Menurut penelitian Gilingham (1988) dalam buku Lerner W. Janet (1998:180) yang
dimaksud membaca dalam konteks ini tidak hanya mengkait pada pemaknaan terhadap
informasi (data, fakta, objek, kejadian, perilaku, dsb) yang dilihat tetapi
juga mencakup pemahaman terhadap informasi yang didengar, dicium dan dirasakan.
Selanjutnya dipertegas oleh Fernald (1998:162) bahwa di dalam metode VAKT ini
stimulasi kinestetik (gerakan persendian dan otot) dan tactile diberikan secara
bersamaan dengan stimulasi auditori (pendengaran) dan visual (penglihatan). Hal
ini berarti anak tunagrahita bisa belajar membaca dengan efektif, apabila
menggunakan metode Fernald yang mengintegrasikan visual, auditif melalui suara
dan linguistic secara simultan.
Menurut Grainger, J. (1997:174) bahwa kemampuan
membaca tergantung pada kemampuan anak tunagrahita untuk memecahkan kode itu
dan secara jelas memahami hubungan antarara wicara, bunyi dan symbol yang
diminta. Anak tunagrahita yang kesulitan membaca memiliki hambatan yang cukup
besar dalam memahami hubungan antar huruf-suara dandengan kesamaan bunyi dan
konsep aliterasi (kesamaan bunyi-bunyi awal pada kata) yang membantu mereka
untuk mengenali dan membedakan bunyi wicara yang berbeda-beda yang muncul dalam
kata. Mengingat anak tunagrahita yang berkesulitan membaca itu juga mengalami
kesulitan dengan kesadaran fonemis atau
fonologis. Istilah kesadaran fonemis mengacu pada kemampuan untuk
mengidentifikasi bunyi dan urutannya dalam kata, serta kemampuan membandingkan
kata-kata.
Di samping itu,
Grainger, J. (1997:205) juga menyarankan pentingnya metode pembelajaran
sensorimotor bagi anak tunagrahita yang dibuat untuk mengembangkan dan
memperbaiki keterampilan kesadaran fonemis dan kesadaran ortografis (secara
akurat mengembangkan keterampilan dalam mempresentasikan bunyi-bunyi yang
berbeda dan meyusun kata-kata denga ejaan yang benar). Oleh karena itu, sangat
diperlukan membangun hubungan sebanyak-banyaknya antara menulis, mengeja, dan
aspek-aspek linguistic yaitu hubungan antara bahasa cetak dan bunyi dengan
menggunakan metode multisensoi atau metode Fernald.
Indicator guru yang
terampil dalam menggunakan metode Fernald tersebut antara lain :
1.
Memfokuskan pada pemfungsian semua
indra/sensori (penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan)
dari anak secara simultan dan terpadu.
2.
Stimulasi kinestetik (gerakan persendian
dan otot) serta taktilediberikan bersamaan dengan stimulasi auditori
(pendengaran) dan visual (penglihatan)
3.
Menggunakan langkah-langkah
operasionalnya sebagai berikut :
a) Melihat
informasi
b) Mendengar
guru menjelaskan informasi tersebut
c) Siswa
menjelaskan dengan kata-kata sendiri
d) Mendengar
sendiri apa yang dia katakana
e) Merasakan
informasi tersebut melalui gerakan-gerakan ototnya ketika mengerjakannya
f) Merasakan
informasi yang diperolehnya sebagai sesuatu yang bermakna
g) Mempehatikan
aktivitas tangannya ketika memahami informasi tersebut melalui perabaan
h) Mendengar
sendiri informasi yang telah dirasakan itu melalui penjelasannya.
F.
layanan
bimbingan belajar
Ada dua kemampuan dasar
yang diprlukan anak-anak sekolah untuk memgembangkan keterampilan menulis
permulaan, yaitu :
1.
Kemampuan keterampilan tangan, seperti
kemampuan menggerakan pergelangan tangan secara fleksibel, jari-jari menulis
harus dapat memegang pensil dengan bnar, grakan mencoret harus dapat membuat
suatu bentuk dalam satu bidang, sehingga dapat memperlancar gerakan menulis,
dan anak harus dapat menggambar sendiri suatu bentuk sampai kemampuan motorik
dan penginderaannya berkembang agar mereka mapu membedakan berbagai bentuk.
2.
Kemampuan intelektual, meliputi :
berpikir logis misalnya ketepatanartikulasi dalam berbicara, pembendaharaan
kata cukup dan dapat ditangkap dalam pikirannya, mengenal symbol-simbol huruf
dan lafalnya yang sesuai denan kemampuan menganalisa lafal huruf dalam kata, menyatukan
kembali dengan benar lafal-lafal huruf tadi menjadi kata (sintesa).
Selain itu, kegiatan yang perlu
diajarkan meliputi :
1.
Kegiatan sehari-hari yang menuntut
keterampilan motorik seperti ; koordinasi motorik dan kontrol gerakan otot yang
teratur dan terarah, serta menggerakkan pergelangan tangan dengan lentur dan
lancar serta melatih kepekaan ujung-ujung jari menulis.
2.
Kegiatan tingkat lanjut seperti ;
menelusuri bentuk-bentuk geometri dengan menggunakan pensil dan mengarsir
bentuk yang sudah tergambar, mengucapkan lafal-lafal huruf, menelusuri
huruf-huruf dari kertas ampelas, menyusun potongan-potongan huruf menjadi kata,
dan menuliskan kata yang dibentuknya serta membacakannya untuk prang lain.
Kemampuan dasar lain
yang diperlukan untuk pengembangan kemampuan dasar akademik pada siswa
tunagrahita adalah kemampuan sensorimotor (penginderaan). Pada tahap awal yang
perlu diajarkan adalah : kemampuan membedakan macam-macam bunyi dan irama,
kepekaan terhadap bunyi-bunyi pada gerakan benda atau manusia, ketajaman
pengamatan dalam membedakan berbagai ukuran, kemampuan membedakan ukuran pada
bentuk berdimensi tiga, kemampuan membedakan macam-macam bentuk geometri bidang
datar, dan kemampuan membedakan bentuk-bentuk dan lafal-lafal huruf dari
ampelas.
Jika kemampuan dasar
tersebut telah dikuasai, maka bisa dilanjutkan pada pengembangan kemampuan
membaca kata yang tidak mengandung sisipan dan akhiran, membaca nama-nama benda
yang telah dikenal dengan menyajikan bendanya dalam ukuran kecil (miniatur), dan
membaca nama-nama benda yang ada di sekitarnya dari kata yang telah ditulis
pada sepotong kertas, serta menulis huruf besar yang disambung dengan huruf
kecil juga bisa mulai diperkenalan.
Setelah anak dapat
menguasai kemampuan-kemampuan tersebut, maka bisa dilanjutkan dengan membaca
kata atau kalimat yang mengandung sisipan dan akhiran, yang meliputi : membaca
klasifikasi dari kartu bergambar, membaca kalimat tugas yang ditulis pada
sepotong kertas, dan membaca buku bacaan kecil yang memuat gambar dan kalimat-kalimat
pendek yang sesuai.
Dengan melalui
penguasaan kemampuan dasar membaca permulaan itu, maka kemampuan anak-anak
tunagrahita bisa ditingkatkan kepada kemampuan membaca definisi suatu benda
dengan menggunakan kartu bergambar dan kartu kata serta menganalisis kalimat
untuk mencapai pengertian membaca lanjut (total). Meskipun sangat sulit bagi
anak tunagrahita untuk mencapai kemampuan membaca lanjut (total) secara
optimal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bimbingan adalah suatu proses, sebagai
suatu proses, bimbingan merupakan kegiatan yang berkelanjutan, bimbingan adalah
bantuan. Makna bantuan dalam bimbingan adalah mengembangkan lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan siswa dan bantuan itu diberikan kepada individu yang
sedang berkembang, tujuan bimbingan adalah perkembangan yang optimal.
Pada dasarnya semua anak
berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan permasalahan yang realtif sama,
yaitu mengalami hambatan perkembangan intelektualnya, kesulitan dalam
sosialisasi, emosinya tidak stabil, dan hambatan dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya.
Bimbingan terhadap anak berkebutuhan
khusus hendaknya dilaksanakan secara terus menerus dan sistemik agar mereka
kelak akan sanggup berdiri sendiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakatnya.
Jenis layanan bimbingan yang
hendaknya diberikan meliputi bimbingan perkembangan fisik, bimbingan dalam
mengatasi kesulitan belajar, bimbingan dalam mengatasi kesulitan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bimbingan vokasional atau bimbingan
pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat, Drs. (2006). Bimbingan Anak
Berkebutuhan Khusus. Bandung : UPI PRESS.
Setiawati&Ima Ni’mah. 2006. Bimbingan dan
Konseling. Bandung: UPI PRESS.
wah sangat membantu..
BalasHapusterima kasih...