Home

Minggu, 03 Februari 2013

Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus


Judul Makalah : Bimbingan Pada Siswa dengan Hambatan Berpikir dan Fisik Motorik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berdasarkan sejarah perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak - anak berkebutuhan khusus (ABK) maka dapat dicatat bahwa kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dan keluarganya masih banyak yang terabaikan selama bertahun - tahun hingga saat ini. Sejarah juga mencatat bagaimana tanggapan sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan anak-anak tersebut dan keluarganya. Sebagian besar masyarakat masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain. Akibat dari itu maka ABK dan keluarga ada yang dikucilkan oleh masyarakatnya. Ada diantara ABK sendiri yang menarik diri tidak mau berbaur dengan masyarakat karena merasa cemas dan terancam.
Kondisi tersebut tentunya membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh kembang ABK, bahkan terhadap keluarganya (kedua orangtuanya). Thompson dkk. (2004) menyatakan bahwa pandangan atau penilain negatif dari lingkungan terhadap ABK dan keluarganya merupakan tantangan terbesar selain kecacatan yang disandang oleh ABK itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh yang bersangkutan beserta keluarganya. Bahkan cara pandang masyarakat yang negatif menjadi stigma yang berkepanjangan (Rahardja, 2006). Dampak yang jelas sering ditemui adalah terhadap konsep diri, prestasi belajar, perkembangan fisik, dan perilaku menyimpang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Thompson ….(2004) bahwa pandangan negatif dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra diri yang negatif dari ABK.
   Sehingga persoalan yang dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus menjadi semakin bertumpuk-tumpuk. ABK tidak hanya harus mengatasi hambatan yang muncul dari dirinya sendiri, ia harus menghadapi pula berbagai tantangan atau rintangan yang datangnya dari lingkungan. Di satu sisi, ABK berupaya memenuhi kebutuhannya, sedangkan lingkungan sering tidak dapat memberikan peluang bagi ABK untuk dapat tumbuh serta berkembang sesuai dengan kondisinya itu. Maka tidak sedikit ABK tidak mencapai perkembangan yang optimal.
   Semakin bertambahnya permasalahan membuat ABK menjadi kelompok yang rentan “terpinggirkan” dari kehidupan sosial, poolitik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Seolah-olah mereka bukan bagian dari anggota masnyarakat dan dianggap tidak membutuhkan hal tersebut. Sejatinya, ABK adalah anggota masyarakat juga, sama-sama makhluk tuhan yang membutuhkan banyak hal sebagaimana manusia lainnya agar mampu mengisi kehidupannya secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
   Berdasarkan keadaan sebagaimana dipaparkan di atas maka ABK membutuhkan “alat” agar dirinya mampu mengatasi hambatan yang dialaminya dan mampu hidup mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Alat itu diantaranya adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan diharapakan ABK memperoleh bekal hidup dan mencapai perkembangan yang optimal. Namun, dengan menumpukknya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh ABK, tidaklah cukup melalui pendidikan dengan proses belajar mengajar di kelas. ABK juga butuh layanan yang mendukung kepada keberhasilan belajar dan layanan yang memandirikan untuk mencapai perkembangan yang optimal. Layanan itu adalah bimbingan dan konseling.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana latar belakang dan konsep dasar anak dengan hambatan kecerdasan dan fisik motorik?
2.      Bagaimana identifikasi dini hambatan penginderaan (sensori) dan motorik?
3.      Bagaimana bimbingan yang efektif pada anak tunagrahita?
4.      Bagaimana cara bimbingan sensorimotor pada anak tunagrahita?
5.      Bagaimana metode bimbingan pengembangan sensorimotor?
6.      Bagaimana layanan bimbingan belajar?  
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (BABK). Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai:
1.      Latar belakang dan konsep dasar anak dengan hambatan kecerdasan dan fisik motorik.
2.      Identifikasi dini hambatan penginderaan (sensori) dan motorik.
3.      Bimbingan yang efektif pada anak tunagrahita.
4.      Cara bimbingan sensorimotor pada anak tunagrahita.
5.      Metode bimbingan pengembangan sensorimotor.
6.      Layanan bimbingan belajar.
D.    Metode Penulisan
Dalam makalah ini penyusun menggunakan metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan dengan materi dari beberapa sumber baik buku maupun internet.
   
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang dan Konsep Dasar Anak dengan Hambatan Kecerdasan dan Fisik Motorik
1.      Latar belakang
Anak – anak dengan hambatan kecerdasan seperti tunagrahita mempunyai masalah perilaku yang berhubungan dengan hambatan proses sensori (penginderaan). Masalah sensori integrasi sering dijumpai pada anak – anak tunagrahita usia pra sekolah dan sekolah. Guru dan orang tua dapat menandai anaknya yang hipersensitif terhadap lampu, suara, rabaan, dan sentuhan benda. Beberapa anak dapat menunjukkan penolakan terhadap sentuhan, dengan reaksi yang kuat tidak mau tersentuh dengan benda lain termasuk dengan bajunya. Penglihatan yang mudah beralih pada lingkungan yang ramai, terhadap peristiwa yang tidak diduga, dan menjaga kontak mata adalah problem sensorimotor yang umum dijumpai pada anak – anak tunagrahita. Setiap masalah tersebut dapat mempengaruhi perilakunya menjadi hipersensitif dan kesulitan dalam mengatur rangsangan, sehingga dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan terhadap situasi yang sangat menstimulasi, seperti perubahan dalam keseharian, atau tuntutan berinteraksi.
Masalah ketidakmampuan memusatkan perhatian adalah akibat lain dari proses sensorimotor yang berlebihan. Tuntutan adanya kontak mata langsung selama berbicara merupakan masalah yang banyak dijumpai pada anak tunagrahita, ketika interaksi dengan guru atau orang tua mereka, beberapa anak tunagrahita tidak mampu menatap langsung. Sensorimotor merupakan fase dasar perkembangan manusia yang menunjang perkembangan selanjutnya. Melatih sensorimotor atau penginderaan itu merupakan pekerjaan yang memiliki arti yang sangat penting dalam pendidikan. Pada fase tersebut anak mulai bertanya dengan mengapa? apa? dan bagaimana? Pertanyaan yang dimulai dengan kata – kata ini sering terdengar oleh kita selama fase sensorimotor.
Melalui perjalanan waktu, perlahan – lahan anak berhasil menggenggam benda – benda konkrit menuju pada pengertian lingkungan yang abstrak. Dengan demikian, anak tunagrahita ini membutuhkan latihan sensorimotor agar penginderaannya dapat berkembang optimal. Latihan sensorimotor pada umumnya dimulai dari hal yang kontras menuju kepada kesamaan dan perbedaan yang halus. Dengan latihan ini, kemampuan motoris anak dapat dikembangkan secara optimal dan kemungkinan adanya hambatan perkembangan dapat di diagnosis dengan lebih teliti dan akurat. Disamping itu, melalui latihan ini, tidak hanya akan membangun dan menstimulasi penginderaan anak tunagrahita, melainkan juga dapat menunjang pengembangan bakat matematika, bahasa, dan kemampuan persepsi pada umumnya.
Adapun tugas guru yang dapat mendukung tercapainya tujuan dari latihan sensorimotor ini adalah sebagai berikut: a). Mempersiapkan lingkungan yang harmonis (menyenangkan, menarik, dan teratur) serta memungkinkan anak bekerja dengan senang dan penuh konsentrasi. b). Mampu mengobservasi anak dengan tepat sehingga dapat ditemukan kesiapan belajar anak, dan tingkat kesulitan belajar anak. c). Memanfaatkan benda atau material yang ada di lingkungan sekitar anak untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2.      Konsep dasar siswa dengan hambatan kecerdasan dan fisik motorik
Istilah hambatan perkembangan secara perlahan – lahan bergeser menggantikan istilah yang selama ini digunakan untuk menunjukkan individu yang terbelakang mental (ringan, sedang, dan berat). Beberapa peneliti masih menggunakan istilah retardasi mental. Istilah terbelakangan mental ini kemudian di deskripsikan sebagai keterbatasan yang substansial pada fungsi – fungsi yang dicirikan dengan fungsi intelektual yang berada dibawah rata – rata, keterbatasan pada dua atau lebih kemampuan penggunaan perilaku adaptif dalam berkomunikasi, merawat diri, kesehatan dan keamanan, fungsi – fungsi akademik, dan bekerja.  
Individu dengan hambatan perkembangan motorik adalah mereka yang mengalami keterbatasan dalam 10 wilayah spesifik dalam perilaku adaptifnya, seperti : a). berkomunikasi, b). merawat diri, c). kehidupan dirumah, d). kemampuan sosial, e). bermasyarakat, f). pengendalian diri, g). kesehatan dan rasa aman, h). fungsi akademik, i). menentukan waktu istirahat dan menentukan waktu bekerja. Mereka ini sering lebih mudah dikenali dibandingkan dengan individu yang mengalami hambatan – hambatan lainnya.
B.     Identifikasi Dini Hambatan Penginderaan (sensori) dan Motorik
Jika kita mengamati anak – anak usia pra sekolah dan sekolah yang termasuk anak tunagrahita dan anak dengan hambatan motorik seperti anak tunadaksa yang sedang melakukan kegiatan sehari – hari, bermain atau belajar, maka dapat diidentifikasi beberapa anak tersebut mengalami hambatan pada gerakan (motorik) dan penginderaan (sensorik) atau persepsi, sehingga prestasi belajarnya cenderung rendah dalam pelajaran pra- membaca, menulis dan berhitung yang merupakan dasar untuk mempelajari pengetahuan lainnya. Adapun yang dimaksud hambatan – hambatan tersebut meliputi :
1.      Hambatan pada fungsi penginderaan (sensori)
Penginderaan (sensori) adalah suatu kemampuan untuk merasakan, mendengar, dan melihat. Sedangkan apa yang telah dirasakan, didengar, atau dilihat melalui indera itu masuk ke dalam otak (sensori input), terintegrasi dan diolah di dalam pusat interpretasi menjadi persepsi. Jadi sensori dan persepsi itu adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan dapat dikatakan persepsi sama dengan sensori analysis, yaitu suatu istilah yang digunakan pada proses pengenalan dan interpretasi (pemaknaan) informasi melalui indera.   
Apabila kita amati di sekolah, maka ditemukan, pada umumnya anak tunagrahita itu mengalami hambatan pada fungsi indera penglihatan (visual), meskipun anak ini pada kenyataannya mampu melihat, sehingga berakibat mereka mengalami kesulitan untuk membedakan satu obyek dari yang lainnya. Misalnya antara bentuk bulat dan oval serta bentuk – bentuk geometri lainnya yang mirip, juga kesulitan dalam mengenali abjad dari susunan huruf, suku kata, dan kata serta tidak mampu mengingat isi bacaan yang tertulis atau memaknai kata / kalimat yang telah dibacanya.
Disamping itu, mereka juga ada yang mengalami kesulitan membaca atau dikte yang bukan disebabkan karena mereka tidak mampu mendengar, melainkan disebabkan karena mengalami hambatan fungsi persepsi pendengaran (auditory perception). Mereka ini biasanya mengalami kesulitan untuk mengenal, membedakan atau memisahkan bunyi pada kata – kata atau banyaknya bunyi dalam suatu kata, misalnya membedakan bunyi – bunyi “b” dan “p”, dsb.
2.      Hambatan pada fungsi gerakan (Motorik)
Anak – anak tunagrahita pada umumnya mengalami hambatan fungsi motorik, biasanya mereka mengalami kesulitan untuk mengontrol gerakan dengan sempurna. Walaupun anak tunagrahita ini dapat berjalan, berlari, meloncat dan mengerjakan aktivitas motorik lainnya, tetapi gerakan – gerakannya kurang terampil dibandingkan dengan anak lainnya yang seusia. Justru disinilah dapat dilihat bila seorang anak tunagrahita mengalami hambatan pada gerakan motorik halus, maka ia menjadi kurang terampil menggerakkan tangan dan jari – jarinya, misalnya ketika mengancingkan baju, menalikan sepatu, menggunting, menggambar, dan menulis. Demikian pula apabila seorang anak tunagrahita mengalami disfungsi pada gerakan otot – otot di sekitar mulut dan wajah, maka anak ini akan mengalami hambatan artikulasi yang dapat menghambat perkembangan bahasanya.
3.      Hambatan belajar pada anak tunagrahita
Seorang anak tunagrahita didalam kelas biasanya pemalu, tidak suka berpartisipasi, tidak pernah mengangkat tangan dikelas, tidak bisa konsentrasi dan duduk dengan tenang dan juga tidak belajar dengan baik. Salah satu alasan untuk perilaku anak tersebut mungkin karena dia rendah diri. Anak ini tidak percaya diri dengan kemampuannya. Dia mungkin berpikir merasa tidak berharga sebagai anggota kelas. Penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara bagaimana anak memandang dirinya dan prestasi belajarnya. Penelitian tersebut menemukan bahwa seorang anak yang rendah diri karena umpan balik negatif (kritikan) akhirnya tidak pernah mau mencoba lagi. Selanjutnya daripada gagal, anak lebih baik menghindar dari tugas tersebut.

C.    Bimbingan yang Efektif pada Anak Tunagrahita
Pada dasarnya tidak ada anak yang “tidak mampu belajar”. Dengan diberikan kondisi yang tepat dan kondusif, semua anak, baik laki – laki ataupun perempuan dapat mengikuti proses belajar secara efektif, terutama jika mereka melakukannya dalam bentuk “ belajar sambil mempraktekkan” (learning by doing). Proses belajar yang terbaik untuk semua orang adalah dengan “learning by doing” yaitu belajar melalui kegiatan nyata untuk memperoleh pengalaman. Inilah sebenarnya yang kita maksud dengan “belajar aktif” atau “pembelajaran partisipatori” artinya, anak mempelajari pengetahuan / keterampilan baru melalui berbagai kegiatan dan metode pembelajaran.
Kegiatan ini sering dikaitkan dengan pengalaman praktis anak setiap harinya. Hubungan ini membantu mereka memahami dan mengingat apa yang mereka pelajari dan kemudian menggunakannya dalam kehidupan. Dengan mengetahui cara yang berbeda ini akan membantu kita mengembangkan kegiatan belajar yang lebih bermakna untuk semua anak dalam kelas.
1.      Bimbingan malalui pembelajaran sensorimotor : penglihatan (visual), pendengaran (auditif), taktile (perabaan) dan gerak kinestetik (motorik – kinestetik)
Apa yang dilakukan anak – anak ketika pertama masuk kelas pada pagi hari? Mudah – mudahan mereka melihat kepada anda (proses visual), mendengarkan anda (suara, verbal, proses auditori), dan memperhatikan apa yang anda dan orang lain lakukan (proses gerak-kinestetik), dan merasakan apa yang dilakukan (proses taktile). Berarti mereka belajar melalui optimalisasi fungsi sensori (indera). Semua sensori (indera) tersebut sangat penting untuk membantu anak belajar. Bagi anak tunagrahita (mentally retarded), mereka belajar dengan cara yang sama dengan anak lain. Namun anak – anak ini, mengalami hambatan dalam pemaknaan terhadap apa yang mereka dengar, lihat, rasakan, lakukan (persepsi sensoris), sehingga mereka belajar pada kecepatan yang lebih lambat daripada teman lain sebayanya.
Selama bertahun – tahun, kita tahu bahwa 30% anak belajar dengan sukses melalui mendengar 33% dengan melihat, dan 37% melalui gerakan. Ada pepatah, : apabila saya mendengar, maka saya lupa, saya melihat dan saya ingat, saya melakukan dan saya paham. Pepatah tersebut mengandung makna jika kita mengajar anak, apalagi anak tunagrahita hanya dengan ceramah klasikal dan anak mendengarkan, maka mereka hanya belajar sepertiga tentang sesuatu. Situasi yang sama terjadi ketika kita meminta mereka hanya menuliskan sesuatu di buku catatannya, maka anak tersebut tidak memperoleh apa – apa.
Berdasarkan analisis empiris tersebut dapat diartikan, bahwa ketika kita merencanakan pembelajaran, kita perlu merencanakan penggunaan bahan ajar, penggunaan tugas yang melibatkan diskusi (menyampaikan dan mendengarkan), dan memberikan kesempatan untuk melakukan beberapa gerakan (misalnya drama, atau teori yang bisa dihubungkan dengan berbagai budaya yang ada di kelas). Beberapa anak tunagrahita mungkin mempunyai kesulitan mempersepsi apa yang dia lihat atau yang dia dengar dan mengalami hambatan dalam menerima input sensori yang sama seperti anak lain.
2.      Bimbingan melalui tahapan sensorimotor
Untuk tercapainya tujuan dari bimbingan sensorimotor dengan efektif dan efisien, maka dapat dilakukan melalui tiga tahapan bimbingan seperti berikut ini :
Tahap pertama : Nama benda (definisi)
Pada tahap ini guru menempatkan hubungan antara benda dengan namanya, dengan cara guru menghilangkan benda – benda secara perlahan – lahan, tetapi tetap jelas menyebutkan nama benda tersebut. Sehingga semakin jelas hubungan antara benda, pengertian dan namanya satu sama lain. Dengan demikian nama benda akan tetap berhubungan dengan benda konkritnya. Jadi, selama guru memegang benda di tangan, guru juga menyebutkan namanya dengan jelas. Misalnya: ini adalah silinder, ini adalah sebuah kelereng, ini adalah yang besar, ini yang kecil, ini yang berat, dsb.
Tahap kedua: Asosiasi, reproduksi (tahap mencamkan konsep dalam ingatan)
Pada tahap kedua ini merupakan tahap latihan, dimana anak pasif menggunakan kata – kata, tetapi aktif bertindak atau melakukan sesuatu. Guru menyebut nama sebuah benda dan anak menghubungkan dengan bendanya yang sesuai, lalu benda yang dimaksud diberikan kepada guru lalu meletakkannya di tempat tertentu atau membawanya ke tempat semula. Pada tahap ini anak harus dilatih dengan intensif melalui beberapa dialog seperti dengan permintaan yang bervariasi. Misalnya: bawa benda itu, letakkan kembali pada tempatnya, tunjukkan, carikan, dsb.
Tahap ketiga: abstraksi (anak aktif menggunakan kata – kata)
Pada tahap ini, dimulai oleh guru dengan menunjukkan suatu benda dan menanyakan pada anak nama benda tersebut. Kemudian anak menjawab dengan menyebut nama bendanya. Dengan demikian dapat dibuktikan, bahwa anak yang semula pasif dalam berbicara menjadi lebih aktif berbicara.
Jadi pada tahap ketiga anak harus mampu menyebutkan sendiri nama benda dan menunjukkan nama bendanya. Apabila pada tahap ini anak tunagrahita masih mengalami kesulitan, maka dapat dikembalikan pada tahap kedua atau kesatu.  
3.      Materi Bimbingan Pembelajaran Sensorimotor
Materi pembelajaran sensorimotor dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.         Bimbingan pembelajaran sensori penglihatan
Materi pembelajaran ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan anak tunagrahita dalam mengenal ukuran benda dua dimensi dan tiga dimensi (panjang,lebar, dan isi ayau volume). Di samping itu juga meningkatkan pemahaman anak terhadap warna dasar, campuran, dan urutan atau tingkatan warna.
b.        Bimbingan pembelajaran sensori perabaan
Dengan melatih perabaan anak tunagrahita, maka keterampilan dan kepekaan anak dalam mengenal dan membedakan permukaan benda yang kasar dan halus, tingkatan kualitas perabaan serta bermacam-macam struktur permukaan benda akan meningkat.
c.         Bimbingan pembelajaran sensori pendengaran
Latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan anak tunagrahita dalam membedakan bunyi dan nada serta kualitas ukuran nada atau bunyi.
d.        Bimbingan pembelajaran sensori terhadap berat
Melalui latihan ini diharapkan keterampilan anak tunagrahita meningkat dalam membedakan berat benda padat, cair, dan gas.
e.         Bimbingan pembelajaran sensori terhadap panas
Dengan latihan ini, maka maka keterampilan dan kepekaan anak tunagrahita akan meningkat, terutama dalam membedakan temperature atau suhu suatu benda dalam lingkungan alam.
f.         Bimbingan pembelajaran sensori penciuman
Pembelajaran sensori penciuman ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan anak terhadap perbedaan baud an kualitas bau dari suatu benda.
g.        Bimbingan pembelajaran sensori rasa
Materi ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan anak dalam membedakan jenis-jenis rasa dan kualitas rasa dari suatu benda.
Semua materi pelajaran tersebut dapat dipelajari oleh anak tunagrahita dengan menggunakan bahan atau materi yang ada disekitar anak atau yang dibuat dan dirancang oleh guru sendiri. Dengan memanfaatkan bahan yang ada di sekitar anak, maka akan dapat meimbulkan kepedulian anak terhadap lingkungan.
D.    Berbagai cara bimbingan sensorimotor pada anak tunagrahita
Kita tahu bahwa cara belajar yang baik antara lain melalui membaca dan mencatat, visualisasi, gerakan tubuh (tari, olah raga, atau bermain music). Sebagia anak senang bekerja atau memecahkan soal secara individual, sedangkan anak lainnya, berinteraksi dengan yang lain untuk menemukan jalan keluar. Jadi anak belajar dengan berbagai cara.
Jika kita amati atau temukan banyak cara dimana anak-anak di kelas kita bisa belajar, kita dapat membantu semua anak belajar lebih baik dan akan mendapatkan kepuasan yang lebih besar dari mengajar. Belajar aktif dan partisipatori bisa menggunakan banyak cara untuk membantu anak belajar.
1.      Bimbingan belajar sensori motor anak tunagrahita
Adapun beberapa alur cara anak belajar sensorimotor adalah sebagai berikut :
a.         Verbal atau linguistic (berbicara atau berbahasa). Pada alur ini sebagian anak berfikir dan belajar melalui kata, memori dan mengingat kembali secara lisan dan tulisan.
b.        Logika atau matematika. Pada alur ini sebagian anak berfikir dan belajar melalui pemikiran dan perhitungan. Mereka dengan mudah bisa menggunakan angka, mengenal pola abstrak, dan melakukan pengukuran yang tepat.
c.         Visual atau spasial (penglihatan atau orientasi ruang). Pada alur ini sebagian anak menyukai seni seperti : menggambar, lukisan atau patung. Mereka bisa membaca peta, grafik dan diagram dengan mudah.
d.        Tubuh dan kinestetik (gerakan otot/tulang). Pada alur sebagian anak belajar melalui gerakan tubuh, permainan dan drama.
e.         Music atau irama. Pada alur ini sebagian anak belajar paling baik melalui bunyi, irama/ritme, dan pengulangan.
f.         Antar pribadi. Pada alur ini sebagian anak lebih mudah belajar dalam kelompok melalui kerja kelompok. Mereka menyenangi kegiatan kelompok, mudsh memahami situasi social, dan mereka bisa menjalin hubungan dengan orang lain dengan mudah.
g.        Dalam diri. Pada alur ini sebagian anak belajar paling baik melalui konsentrasi pribadi dan cerminan diri. Mereka bekerja sendiri dengan mudah dan paham akan perasaan sendiri dan mengetahui kelemahan dan kekuatan diri sendiri.
h.        Alami. Pada alur ini anak belajar sendiri melalui lingkungan alam sekitar secara langsung. Ketika anak belajar, mereka mungkin menggunakan beberapa alur ini agar mudah mengingat dan memahami.
Ini merupakan hal yang penting bagi kita untuk menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dan mencakup campuran alur belajar ini. Dengan demikian kita perlu mengembangkan rencana pembelajaran yang aktif dan kreatif dalam mengelola kelas.
2.      Bimbingan untuk peningkatan pembelajaran sensorimotor
Beberapa contoh kegiatan yang dapat meningkatkan pembelajaran sensorimotor adalah sebagai berikut :
a.         Pilihlah satu pelajaran yang Anda senangi untuk diajarkan, tetapi mungkin anak Anda tidak bekerja seperti harapan Anda. Alternatifnya, pilih sebuah mata pelajaran yang ingin Anda ajarkan dan yang Anda senangi.
b.        Apa saja poin utama (informasi) yang Anda inginkan agar anak belajar?
c.         Apa saja metode yang Anda lakukan untuk mengkomunikasikan informasi ini? Menurut Anda, mengapa metode tersebut tidak berhasil? Misalnya, apakah anak hanya menggunakan satu alur pemeblajaran saja?
d.        Apa saja kegiatan yang dapat Anda gunakan dalam pembelajaran sehingga anak bisa menggunakan indra mereka (penglihatan, pendengaran, gerakan, perabaan) dalam belajar? Kegiatan ini termasuk pada alur pembelajaran apa saja?
e.         Bagaimana Anda dapat menggabungkan kegiatan ini ke dalam rencana pembelajaran Anda?
f.         Bagaimana Anda dapat memberikan kontribusi pada perancangan pembelajaran, khusunya anak yang biasanya tidak berpartisipasi di kelas atau anak-anak dengan beragam latar belakang dan kemampuan?
g.        Uji cobakan pembelajaran tersebut, kalau Anda merasa yakin, tanyakan pada anak, jika mereka menyenangi pemebalajaran itu. Kegiatan mana yang paling disenangi? Dapatkah Anda mengguanakan kegiatan ini untuk pelajaran yang lain?
E.     Metode bimbingan pengembangan sensorimotor
Metode multisensory atau disebut juga metode VAKT (Visual, Auditory, Kinesthetic, Tactile) yang dikemukakan oleh Fernald merupakan metode yang telah digunakan oleh para guru untuk mengajar anak-anak tunagrahita, baik di Sekolah Luar Biasa (SLB), di Sekolah Dasar (SD) maupun di lembaga pelayanan/klinik yang menangani mereka. Implementasi metode VAKT atau yang sering dikenal dengan metode Fernald ini lebih memfokuskan pada pemfungsian semua indra/sensori (penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan pengecapan) anak secara simultan dari setiap informasi atau materi pembelajaran yang diajarkan pada anak tunagrahita, baik pelajaran yang bersifat akademis maupun non akademis. (Fernald, 1998;72)
Jadi, melalui metode ini dapat dideskripsikan anak tunagrahita dapat mengikuti proses belajar lebih utuh, aktif, dinamis dan menyenangkan sehingga mereka dapat mencapai peningkatan kemampuan perilaku adaptif dan kognitif sesuai dengan kondisi obyektif mereka.
Pada awalnya metode Fenald menekankan pada sensori penglihatan, pendengaran, dan kinestetik-taktile untuk menelusuri dan mengenali huruf, bentuk dan informasi lainnya. Metode tersebut dirancang dan digunakan untuk mengatasi masalah membaca anak-anak tunagrahita. Menurut penelitian Gilingham (1988) dalam buku Lerner W. Janet (1998:180) yang dimaksud membaca dalam konteks ini tidak hanya mengkait pada pemaknaan terhadap informasi (data, fakta, objek, kejadian, perilaku, dsb) yang dilihat tetapi juga mencakup pemahaman terhadap informasi yang didengar, dicium dan dirasakan. Selanjutnya dipertegas oleh Fernald (1998:162) bahwa di dalam metode VAKT ini stimulasi kinestetik (gerakan persendian dan otot) dan tactile diberikan secara bersamaan dengan stimulasi auditori (pendengaran) dan visual (penglihatan). Hal ini berarti anak tunagrahita bisa belajar membaca dengan efektif, apabila menggunakan metode Fernald yang mengintegrasikan visual, auditif melalui suara dan linguistic secara simultan.
Menurut  Grainger, J. (1997:174) bahwa kemampuan membaca tergantung pada kemampuan anak tunagrahita untuk memecahkan kode itu dan secara jelas memahami hubungan antarara wicara, bunyi dan symbol yang diminta. Anak tunagrahita yang kesulitan membaca memiliki hambatan yang cukup besar dalam memahami hubungan antar huruf-suara dandengan kesamaan bunyi dan konsep aliterasi (kesamaan bunyi-bunyi awal pada kata) yang membantu mereka untuk mengenali dan membedakan bunyi wicara yang berbeda-beda yang muncul dalam kata. Mengingat anak tunagrahita yang berkesulitan membaca itu juga mengalami kesulitan  dengan kesadaran fonemis atau fonologis. Istilah kesadaran fonemis mengacu pada kemampuan untuk mengidentifikasi bunyi dan urutannya dalam kata, serta kemampuan membandingkan kata-kata.
Di samping itu, Grainger, J. (1997:205) juga menyarankan pentingnya metode pembelajaran sensorimotor bagi anak tunagrahita yang dibuat untuk mengembangkan dan memperbaiki keterampilan kesadaran fonemis dan kesadaran ortografis (secara akurat mengembangkan keterampilan dalam mempresentasikan bunyi-bunyi yang berbeda dan meyusun kata-kata denga ejaan yang benar). Oleh karena itu, sangat diperlukan membangun hubungan sebanyak-banyaknya antara menulis, mengeja, dan aspek-aspek linguistic yaitu hubungan antara bahasa cetak dan bunyi dengan menggunakan metode multisensoi atau metode Fernald.
Indicator guru yang terampil dalam menggunakan metode Fernald tersebut antara lain :
1.        Memfokuskan pada pemfungsian semua indra/sensori (penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan) dari anak secara simultan dan terpadu.
2.        Stimulasi kinestetik (gerakan persendian dan otot) serta taktilediberikan bersamaan dengan stimulasi auditori (pendengaran) dan visual (penglihatan)
3.        Menggunakan langkah-langkah operasionalnya sebagai berikut :
a)    Melihat informasi
b)    Mendengar guru menjelaskan informasi tersebut
c)    Siswa menjelaskan dengan kata-kata sendiri
d)   Mendengar sendiri apa yang dia katakana
e)    Merasakan informasi tersebut melalui gerakan-gerakan ototnya ketika mengerjakannya
f)    Merasakan informasi yang diperolehnya sebagai sesuatu yang bermakna
g)   Mempehatikan aktivitas tangannya ketika memahami informasi tersebut melalui perabaan
h)   Mendengar sendiri informasi yang telah dirasakan itu melalui penjelasannya.
F.     layanan bimbingan belajar
Ada dua kemampuan dasar yang diprlukan anak-anak sekolah untuk memgembangkan keterampilan menulis permulaan, yaitu :
1.        Kemampuan keterampilan tangan, seperti kemampuan menggerakan pergelangan tangan secara fleksibel, jari-jari menulis harus dapat memegang pensil dengan bnar, grakan mencoret harus dapat membuat suatu bentuk dalam satu bidang, sehingga dapat memperlancar gerakan menulis, dan anak harus dapat menggambar sendiri suatu bentuk sampai kemampuan motorik dan penginderaannya berkembang agar mereka mapu membedakan berbagai bentuk.
2.        Kemampuan intelektual, meliputi : berpikir logis misalnya ketepatanartikulasi dalam berbicara, pembendaharaan kata cukup dan dapat ditangkap dalam pikirannya, mengenal symbol-simbol huruf dan lafalnya yang sesuai denan kemampuan menganalisa lafal huruf dalam kata, menyatukan kembali dengan benar lafal-lafal huruf tadi menjadi kata (sintesa).
Selain itu, kegiatan yang perlu diajarkan meliputi :
1.        Kegiatan sehari-hari yang menuntut keterampilan motorik seperti ; koordinasi motorik dan kontrol gerakan otot yang teratur dan terarah, serta menggerakkan pergelangan tangan dengan lentur dan lancar serta melatih kepekaan ujung-ujung jari menulis.
2.        Kegiatan tingkat lanjut seperti ; menelusuri bentuk-bentuk geometri dengan menggunakan pensil dan mengarsir bentuk yang sudah tergambar, mengucapkan lafal-lafal huruf, menelusuri huruf-huruf dari kertas ampelas, menyusun potongan-potongan huruf menjadi kata, dan menuliskan kata yang dibentuknya serta membacakannya untuk prang lain.
Kemampuan dasar lain yang diperlukan untuk pengembangan kemampuan dasar akademik pada siswa tunagrahita adalah kemampuan sensorimotor (penginderaan). Pada tahap awal yang perlu diajarkan adalah : kemampuan membedakan macam-macam bunyi dan irama, kepekaan terhadap bunyi-bunyi pada gerakan benda atau manusia, ketajaman pengamatan dalam membedakan berbagai ukuran, kemampuan membedakan ukuran pada bentuk berdimensi tiga, kemampuan membedakan macam-macam bentuk geometri bidang datar, dan kemampuan membedakan bentuk-bentuk dan lafal-lafal huruf dari ampelas.
Jika kemampuan dasar tersebut telah dikuasai, maka bisa dilanjutkan pada pengembangan kemampuan membaca kata yang tidak mengandung sisipan dan akhiran, membaca nama-nama benda yang telah dikenal dengan menyajikan bendanya dalam ukuran kecil (miniatur), dan membaca nama-nama benda yang ada di sekitarnya dari kata yang telah ditulis pada sepotong kertas, serta menulis huruf besar yang disambung dengan huruf kecil juga bisa mulai diperkenalan.
Setelah anak dapat menguasai kemampuan-kemampuan tersebut, maka bisa dilanjutkan dengan membaca kata atau kalimat yang mengandung sisipan dan akhiran, yang meliputi : membaca klasifikasi dari kartu bergambar, membaca kalimat tugas yang ditulis pada sepotong kertas, dan membaca buku bacaan kecil yang memuat gambar dan kalimat-kalimat pendek yang sesuai.
Dengan melalui penguasaan kemampuan dasar membaca permulaan itu, maka kemampuan anak-anak tunagrahita bisa ditingkatkan kepada kemampuan membaca definisi suatu benda dengan menggunakan kartu bergambar dan kartu kata serta menganalisis kalimat untuk mencapai pengertian membaca lanjut (total). Meskipun sangat sulit bagi anak tunagrahita untuk mencapai kemampuan membaca lanjut (total) secara optimal. 
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bimbingan adalah suatu proses, sebagai suatu proses, bimbingan merupakan kegiatan yang berkelanjutan, bimbingan adalah bantuan. Makna bantuan dalam bimbingan adalah mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan siswa dan bantuan itu diberikan kepada individu yang sedang berkembang, tujuan bimbingan adalah perkembangan yang optimal.
Pada dasarnya semua anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan permasalahan yang realtif sama, yaitu mengalami hambatan perkembangan intelektualnya, kesulitan dalam sosialisasi, emosinya tidak stabil, dan hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya.
Bimbingan terhadap anak berkebutuhan khusus hendaknya dilaksanakan secara terus menerus dan sistemik agar mereka kelak akan sanggup berdiri sendiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya.
Jenis layanan bimbingan yang hendaknya diberikan meliputi bimbingan perkembangan fisik, bimbingan dalam mengatasi kesulitan belajar, bimbingan dalam mengatasi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bimbingan vokasional atau bimbingan pekerjaan.
  
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Drs. (2006). Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : UPI PRESS.
Setiawati&Ima Ni’mah. 2006. Bimbingan dan Konseling. Bandung: UPI PRESS.

1 komentar: