Home

Selasa, 01 November 2011

Pendidikan Kewarganegaraan


Judul Makalah : Pemberantasan Mafia Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mencakup apa saja lahan praktik mafia hukum?
2.      Cara apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permaslahan mafia hukum?
3.      Apa peran Civil Society dan Mass Media?
4.      Bagaimana Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai :
1.      Lahan praktik mafia hukum.
2.      Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permaslahan mafia hukum.
3.      Peran Civil Society dan Mass Media.
4.      Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia

D.    Metode Penulisan
Dalam makalah ini penyusun menggunakan metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan dengan tema dari beberapa sumber baik buku maupun internet.
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Mafia Hukum
Definisi Mafia hukum menurut satgas pemberantasan mafia hukum adalah semua tindakan oleh perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada.
Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah.
B.     Lahan dan Praktik Mafia Hukum
Masyarakat tentu bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih gamblang memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya. Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya saja.
Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.
Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.

C.                Tersandera Lingkaran Setan
            Harus diakui bahwa pasca reformasi, pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap sistem yang dianggap telah korup.
            Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuk aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal.
            Bagaikan lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”.
            Sementara itu, mereka yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan.


D.    Menyelamatkan Generasi
            Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.
Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi!

            Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.
            Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicerodi tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.
           
Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.
            Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.
 E.     Peran Civil Society dan Mass Media.
            Perjalanan sejarah Indonesia selalu terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping negara (state) dan pasar (market).
            Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum. Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K. Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), dan transmisi nilai (value transmission).
            Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa peran civil society dan mass media membawa pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati Garut”. Tidak saja elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial, seperti facebooktwitter, dan kegiatan citizen journalism lainnya melalui Blog.
            Tren global seperti di Chile, Maladewa, Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO, aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan internet dan media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies), khususnya internet, telah menyebabkan dunia bagaikan lempeng yang datar.
            Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945.
F. Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia
            Presiden telah menyerukan kepada rakyat Indonesia yang menjadi korban mafia hukum untuk melaporkan diri melalui PO BOX 9949 Jakarta 1000. Seruan Presiden ini merupakan bagian dari kebijakan yang paling diprioritaskan oleh Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dalam masa 100 Hari, yakni pemberantasan mafia hukum. Ada 45 Program dalam Program 100 Hari KIB 2, dan pemberantasan mafia hukum berada di posisi pertama untuk dilaksanakan.
            Untuk mengawal pemberantasan mafia hukum, Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Satgas akan melakukan koordinasi, evaluasi, pemantauan, pengawasan dan koreksi dalam pemberantasan mafia hukum. Dengan terbentuknya Satgas ini diharapkan mampu membuka jalan dan berperan dalam pemberantasan mafia hukum.
            Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah.
Dampak korupsi kepada masyarakat luas tergantung pada besar kecilnya nilai yang dikorupsi. Semakin besar yang dikorupsi, dampaknya akan semakin luar biasa. Bayangkan saja kalau yang dikorupsi mencapai ratusan miilyar sampai triliunan. Berapa banyak hak orang lain yang direnggut untuk kepentingan perorangan atau segelintir orang.
            Berkaitan dengan luasnya dampak korupsi terhadap masyarakat luas, ada yang berpendapat bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM berat. Sementara itu di Indonesia, pelakunya bisa bebas bergentayangan melalui tangan-tangan “gurita” mafia hukum. Beda halnya dengan perlakuan negara China terhadap para koruptor yang dikenakan hukuman tembak mati. Itulah sebabnya negara tirai bambu tersebut kini perekonomiannya melejit menjadi negara adidaya baru. Oleh karena itu sungguh beralasan apabila Pemberantasan Mafia Hukum menjadi program yang paling diprioritaskan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini.
            Apalagi pada tahun 2009, Transparansi Internasional telah merilis angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK merupakan indeks gabungan dari 13 survei oleh 10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 180 negara di dunia. Dengan skala 0 (sangat korup) sampai 10 (sangat bersih), skor Indonesia naik dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada tahun 2009. Kenaikan skor tersebut juga disertai dengan kenaikan 15 peringkat dari tahun 2008. Meski skor dan peringkat Indonesia naik dari tahun sebelumnya, namun dengan skor yang masih di bawah 5 dan posisi di luar 100 besar, Indonesia masih dipandang memiliki masalah korupsi yang besar.
            Transparansi Internasional mengidentifikasi beberapa faktor yang dinilai mempengaruhi persepsi international mengenai permasalahan korupsi di Indonesia, yaitu: (1) perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum di Indonesia; (2) korupsi dan perusakan lingkungan; dan (3) keselamatan penumpang dalam bisnis penerbangan.
            Perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum merupakan faktor penting yang menentukan persepsi internasional mengenai permasalahan korupsi di Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak permasalahan hukum, seperti suap menyuap dalam perkara hukum, jual beli kasus, pemerasan dan kompromi-kompromi yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selama ini dikenal istilah-istilah seperti markus (makelar kasus) atau markum(makelar hukum) yang sering beroperasi dalam kasus-kasus hukum dan merugikan rasa keadilan serta mengganggu penegakan hukum.
            Kebijakan Presiden yang memprioritaskan pemberantasan mafia hukum dengan demikian menjadi sangat penting dan dibutuhkan tidak hanya untuk memperbaiki persepsi internasional mengenai permasalahan korupsi di Indonesia, namun juga yang lebih substantif untuk mewujudkan keadilan di masyarakat. Apalagi saat ini perhatian publik dan media sangat kuat terhadap permasalahan hukum, sehingga membuat pemberantasan mafia hukum mendesak untuk dilakukan. Perhatian publik dan media tersebut dapat dilihat sebagai keinginan besar masyarakat sekaligus legitimasi atau dukungan penuh kepada Presiden untuk segera melakukan pemberantasan mafia hukum.
            Baik masyarakat maupun pemerintah telah menyadari bahwa mafia hukum adalah masalah yang harus segera diselesaikan, jika ingin bangkit menjadi Negara yang adil dan makmur. Karena sebagai Negara hukum, hukum dianggap sebagai panglima, sehingga jangan sampai dibiarkan para mafia terus menerus menggunting dalam lipatan “sang Panglima”.
            Oleh karena itu, rasanya wajib bagi kita untuk mendukung kehadiran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang baru saja dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Satgas yang dikomandani Kuntoro Mangksubroto ini perlu diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk membuktikan program-program kerja yang akan diimplementasikan dalam upaya memberantas mafia hukum di Indonesia. Orang boleh saja mencibir Satgas yang akan bekerja selama dua tahun ini dianggap sebagai upaya membangun pencitraan pemerintah, namun rasanya sebagian besar rakyat Indonesia  sangat berharap bahwa Satgas ini dapat berjalan sesuai rencana, sehingga mampu memberantas mafia hukum pada dua tahun mendatang.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Memberantas mafia hukum bukanlah hal yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi factor penyebab utama atas bobroknya penegakan huku di Indonesia. Tak heran ada perumpamaan bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa.
Seperi halnya masalah kemiskinan, mafia hukum belum dapat dituntaskan sampai ke akarnya, namun optimesme dan usaha pemberantasannya tidak boleh berhenti sedetik pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing.
Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar