Judul Makalah : Pemberantasan Mafia Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan
korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai
kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap,
pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang
tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan
kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi
pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa
berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan
juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mencakup
apa saja lahan praktik mafia hukum?
2. Cara
apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permaslahan mafia hukum?
3. Apa
peran Civil Society dan
Mass Media?
4.
Bagaimana Pemberantasan Mafia
Hukum di Indonesia ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Selain itu juga
bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai
:
1. Lahan
praktik mafia hukum.
2. Upaya
yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permaslahan mafia hukum.
3. Peran
Civil Society dan
Mass Media.
4.
Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia
D.
Metode
Penulisan
Dalam makalah ini
penyusun menggunakan metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan
dengan tema dari beberapa sumber baik buku maupun internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mafia Hukum
Definisi
Mafia hukum menurut satgas pemberantasan mafia hukum adalah semua tindakan oleh
perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang
mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan
hukum yang ada.
Selama ini mafia hukum
sering dikaitkan dengan korupsi. Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka
yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya makelar
kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, atau
pungutan-pungutan yang tidak semestinya. Kegiatan seperti ini telah merusak
rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia tersebut dapat berada di lembaga
peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat dan swasta.
Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk korupsi, termasuk korupsi pajak,
bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis di daerah.
B.
Lahan dan Praktik Mafia Hukum
Masyarakat tentu
bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya
praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih
gamblang memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah
suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan
mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk
melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak
saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur
hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya. Setelah hampir
empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse
of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya,
proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga
putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau
Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat
”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya.
Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke
lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya
saja.
Praktik-praktik
tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya
Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia
menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada
2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global
Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai
salah satu lembaga terkorup di Indonesia.
Ketua Komisi
Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang
menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang
ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak
hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang
dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor
politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam
birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak
ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme
dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang
berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan
proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum
sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya
kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia
peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.
C.
Tersandera Lingkaran Setan
Harus diakui bahwa pasca reformasi,
pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya
korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan.
Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya
lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap
sistem yang dianggap telah korup.
Namun demikian,
sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal
perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks
pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah
menyentuk aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang
berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga
penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung
koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal.
Bagaikan lingkaran
setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling
menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama
tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini.
Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan
selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum
lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal
telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan
berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja
atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin
membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”.
Sementara itu, mereka
yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik
internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini
merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan
segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam
kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan.
D.
Menyelamatkan Generasi
Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan
betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya
diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut,
beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah
seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi
yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil
dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk
menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.
Namun
demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia
hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu
menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya,
selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi
negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara
solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih
menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius,
yaitu amputasi satu generasi!
Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.
Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.
Langkah ini memang terbilang cukup drastis
karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan.
Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicerodi
tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk
mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan
adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.
Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.
Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.
Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem
untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus
dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui
pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia
hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama
serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di
tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja
hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.
E.
Peran Civil Society dan Mass Media.
Perjalanan sejarah Indonesia selalu
terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan
era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki
masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil
society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan
civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang
dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil
society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping negara (state)
dan pasar (market).
Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial
lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil
society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan
dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum.
Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the
fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K.
Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang
ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa
mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance),
interpretasi (interpretation), dan transmisi nilai (value
transmission).
Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa
peran civil society dan mass media membawa
pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum
dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati
Garut”. Tidak saja elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah
payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu
menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial,
seperti facebook, twitter, dan kegiatan citizen
journalism lainnya melalui Blog.
Tren global seperti di Chile, Maladewa,
Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media
sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan
transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and
crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of
organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO,
aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam
menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan
internet dan media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan
bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies),
khususnya internet, telah menyebabkan dunia bagaikan lempeng yang datar.
Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan
serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan
dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah
tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi
kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass
media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945.
F.
Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia
Presiden
telah menyerukan kepada rakyat Indonesia yang menjadi korban mafia hukum untuk
melaporkan diri melalui PO BOX 9949 Jakarta 1000. Seruan Presiden ini merupakan
bagian dari kebijakan yang paling diprioritaskan oleh Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) II dalam masa 100 Hari, yakni pemberantasan mafia hukum. Ada 45 Program
dalam Program 100 Hari KIB 2, dan pemberantasan mafia hukum berada di posisi
pertama untuk dilaksanakan.
Untuk mengawal pemberantasan mafia hukum, Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Satgas akan melakukan koordinasi, evaluasi, pemantauan, pengawasan dan koreksi dalam pemberantasan mafia hukum. Dengan terbentuknya Satgas ini diharapkan mampu membuka jalan dan berperan dalam pemberantasan mafia hukum.
Untuk mengawal pemberantasan mafia hukum, Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Satgas akan melakukan koordinasi, evaluasi, pemantauan, pengawasan dan koreksi dalam pemberantasan mafia hukum. Dengan terbentuknya Satgas ini diharapkan mampu membuka jalan dan berperan dalam pemberantasan mafia hukum.
Selama ini mafia hukum sering dikaitkan dengan korupsi.
Mafia sendiri dalam arti luas adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang
merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual
beli perkara, mengancam saksi, atau pungutan-pungutan yang tidak semestinya.
Kegiatan seperti ini telah merusak rasa keadilan dan kepastian hukum. Mafia
tersebut dapat berada di lembaga peradilan, instansi pemerintah, maupun lembaga
swadaya masyarakat dan swasta. Mafia juga bisa berkaitan dengan segala bentuk
korupsi, termasuk korupsi pajak, bea cukai, dan juga kegiatan-kegiatan sejenis
di daerah.
Dampak korupsi kepada masyarakat luas tergantung pada besar kecilnya nilai yang dikorupsi. Semakin besar yang dikorupsi, dampaknya akan semakin luar biasa. Bayangkan saja kalau yang dikorupsi mencapai ratusan miilyar sampai triliunan. Berapa banyak hak orang lain yang direnggut untuk kepentingan perorangan atau segelintir orang.
Dampak korupsi kepada masyarakat luas tergantung pada besar kecilnya nilai yang dikorupsi. Semakin besar yang dikorupsi, dampaknya akan semakin luar biasa. Bayangkan saja kalau yang dikorupsi mencapai ratusan miilyar sampai triliunan. Berapa banyak hak orang lain yang direnggut untuk kepentingan perorangan atau segelintir orang.
Berkaitan dengan luasnya dampak korupsi terhadap
masyarakat luas, ada yang berpendapat bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM
berat. Sementara itu di Indonesia, pelakunya bisa bebas bergentayangan melalui
tangan-tangan “gurita” mafia hukum. Beda halnya dengan perlakuan negara China
terhadap para koruptor yang dikenakan hukuman tembak mati. Itulah sebabnya
negara tirai bambu tersebut kini perekonomiannya melejit menjadi negara adidaya
baru. Oleh karena itu sungguh beralasan apabila Pemberantasan Mafia Hukum
menjadi program yang paling diprioritaskan dalam Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II ini.
Apalagi pada tahun 2009, Transparansi Internasional telah merilis angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK merupakan indeks gabungan dari 13 survei oleh 10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 180 negara di dunia. Dengan skala 0 (sangat korup) sampai 10 (sangat bersih), skor Indonesia naik dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada tahun 2009. Kenaikan skor tersebut juga disertai dengan kenaikan 15 peringkat dari tahun 2008. Meski skor dan peringkat Indonesia naik dari tahun sebelumnya, namun dengan skor yang masih di bawah 5 dan posisi di luar 100 besar, Indonesia masih dipandang memiliki masalah korupsi yang besar.
Apalagi pada tahun 2009, Transparansi Internasional telah merilis angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari 180 negara. IPK merupakan indeks gabungan dari 13 survei oleh 10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 180 negara di dunia. Dengan skala 0 (sangat korup) sampai 10 (sangat bersih), skor Indonesia naik dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada tahun 2009. Kenaikan skor tersebut juga disertai dengan kenaikan 15 peringkat dari tahun 2008. Meski skor dan peringkat Indonesia naik dari tahun sebelumnya, namun dengan skor yang masih di bawah 5 dan posisi di luar 100 besar, Indonesia masih dipandang memiliki masalah korupsi yang besar.
Transparansi Internasional mengidentifikasi beberapa
faktor yang dinilai mempengaruhi persepsi international mengenai permasalahan
korupsi di Indonesia, yaitu: (1) perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum di
Indonesia; (2) korupsi dan perusakan lingkungan; dan (3) keselamatan penumpang
dalam bisnis penerbangan.
Perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum merupakan
faktor penting yang menentukan persepsi internasional mengenai permasalahan
korupsi di Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak
permasalahan hukum, seperti suap menyuap dalam perkara hukum, jual beli kasus,
pemerasan dan kompromi-kompromi yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selama ini
dikenal istilah-istilah seperti markus (makelar
kasus) atau markum(makelar hukum) yang sering beroperasi dalam kasus-kasus
hukum dan merugikan rasa keadilan serta mengganggu penegakan hukum.
Kebijakan Presiden yang memprioritaskan pemberantasan
mafia hukum dengan demikian menjadi sangat penting dan dibutuhkan tidak hanya
untuk memperbaiki persepsi internasional mengenai permasalahan korupsi di
Indonesia, namun juga yang lebih substantif untuk mewujudkan keadilan di
masyarakat. Apalagi saat ini perhatian publik dan media sangat kuat terhadap
permasalahan hukum, sehingga membuat pemberantasan mafia hukum mendesak untuk
dilakukan. Perhatian publik dan media tersebut dapat dilihat sebagai keinginan
besar masyarakat sekaligus legitimasi atau dukungan penuh kepada Presiden untuk
segera melakukan pemberantasan mafia hukum.
Baik
masyarakat maupun pemerintah telah menyadari bahwa mafia hukum adalah masalah
yang harus segera diselesaikan, jika ingin bangkit menjadi Negara yang adil dan
makmur. Karena sebagai Negara hukum, hukum dianggap sebagai panglima, sehingga
jangan sampai dibiarkan para mafia terus menerus menggunting dalam lipatan
“sang Panglima”.
Oleh karena itu, rasanya wajib bagi kita untuk mendukung
kehadiran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang baru saja dibentuk oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Satgas yang dikomandani Kuntoro Mangksubroto
ini perlu diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk membuktikan program-program
kerja yang akan diimplementasikan dalam upaya memberantas mafia hukum di Indonesia.
Orang boleh saja mencibir Satgas yang akan bekerja selama dua tahun ini
dianggap sebagai upaya membangun pencitraan pemerintah, namun rasanya sebagian
besar rakyat Indonesia sangat berharap bahwa Satgas ini dapat berjalan
sesuai rencana, sehingga mampu memberantas mafia hukum pada dua tahun
mendatang.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Memberantas
mafia hukum bukanlah hal yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang
terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan
mendasar ini yang diyakini telah menjadi factor penyebab utama atas bobroknya
penegakan huku di Indonesia. Tak heran ada perumpamaan bahwa hukum tajam
terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa.
Seperi
halnya masalah kemiskinan, mafia hukum belum dapat dituntaskan sampai ke
akarnya, namun optimesme dan usaha pemberantasannya tidak boleh berhenti
sedetik pun. Satu
hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk
dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan
kelemahannya masing-masing.
Oleh sebab itu,
prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit
berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk
pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia
hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar
melewati velodrome yang sama tanpa ujung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar