Judul Makalah : Pendidikan Sebagai Ilmu Dan Seni
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
dapat dipelajari, studi ilmiah tentang pendidikan telah menghasilkan ilmu
pendidikan. Ilmu pendidikan berfungsi sebagai landasan dan petunjuk tentang
cara-cara melaksanakan pendidikan. Praktek pendidikan menuntut diaplikasikannya
ilmu pendidikan, tetapi di samping itu praktek pendidikan juga sekaligus adalah
seni.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
konsep mengenai studi pendidikan ?
2.
Bagaimana
konsep mengenai ilmu pendidikan ?
3.
Apa yang
dimaksud dengan praktek pendidikan ?
4.
Bagaimana
praktek pendidikan sebagai paduan ilmu dan seni ?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Landasan
Pendidikan. Selain itu juga
bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai :
1.
Konsep studi
pendidikan.
2.
Konsep ilmu
pendidikan.
3.
Praktek
pendidikan.
4.
Praktek
pendidikan sebagai paduan ilmu dan seni.
1.4
Metode
Penulisan
Dalam makalah ini penyusun menggunakan
metode kepustakaan yaitu membaca hal – hal yang berkaitan dengan tema dari
beberapa sumber baik buku maupun internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Studi Pendidikan
Studi
pendidikan adalah upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam
rangka memahami pendidikan atau menghasilkan sistem konsep pendidikan. Studi
pendidikan dapat dilakukan melalui kegiatan membaca buku tentang pendidikan,
diskusi tentang pendidikan, penelitian ilmiah tentang pendidikan, dan
berfilsafat tentang pendidikan.
Adapun
metode atau cara kerja dalam studi pendidikan yaitu dapat dilakukan melalui
metode atau cara kerja tertentu, yaitu metode kerja awam, metode ilmiah, dan
metode filsafiah.
Studi
pendidikan melalui metode atau cara kerja awam yaitu upaya memahami pendidikan
dengan cara berfikir commonsense dan
pengamatan atau observasi sepintas yang kurang sistematis dan teliti. Studi
pendidikan seperti ini biasanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, dan
menghasilkan konsep – konsep pendidikan yang kurang sistematis.
Studi pendidikan
melalui metode filsafiah (studi filsafiah pendidikan) adalah upaya memahami
pendidikan melalui berfikir reflektif sistematis, kritis radikal, dan sinoptik
untuk menghasilkan sistem gagasan tentang pendidikan yang komprehensif dan
preskriptif. Mengingat cara berfikir filsafiah belum dikuasai banyak orang,
maka studi filsafiah pendidikan umumnya dilakukan oleh para filsuf. Studi
demikian telah dilakukan sejak lama, dan telah menghasilkan apa yang dikenal
sebagai filsafat pendidikan.
Studi
pendidikan melalui metode ilmiah (studi ilmiah pendidikan) adalah upaya
memahami pendidikan dengan menggunakan prosedur penelitian yang cermat dan
terencana, atau melalui berfikir kritis dengan menggunakan logika tertentu dan
pengamatan empiris yang teliti, sebagaimana dilakukan para ilmuwan. Namun
demikian, pelaksanaan studi seperti ini bukan semata – mata monopoli para
ilmuwan. Studi ilmiah pendidikan dapat dilakukan oleh siapapun dengan syarat
yang bersangkutan telah menguasai metode penelitian ilmiah. Selain dilakukan
oleh ilmuwan pendidikan, studi ilmiah pendidikan dapat pula dilakukan oleh para
mahasiswa pada program studi kependidikan yang sedang menyusun skripsi , para
guru, para dosen, dsb. Studi ilmiah pendidikan telah dilakukan oleh para
ilmuwan atau para peneliti pendidikan sejak lama, dan telah menghasilkan sistem
konsep pendidikan yang bersifat deskriptif maupun preskriptif/normatif yang
disebut ilmu pendidikan.
B. Konsep Ilmu Pendidikan
Istilah ilmu
berasal dari kata alama (bahasa arab)
yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa latin dikenal pula kata srice (sebagai
asal kata science) juga berarti pengetahuan. Ada berbagai jenis pengetahuan,
jenis pengetahuan diklasifikasikan menjadi : revealed knowledge, intuitif knowledge, rational knowledge, empirical knowledge, dan authoritative knowledge.
Ada juga yang mengelompokan jenis pengetahuan menjadi : commonsense knowledge, scientifik
knowledge, philosophical knowledge, dan religious knowledge (G. F. Kneller,
1971). Disamping itu, pengetahuan juga diklasifikasikan menjadi : commonsense knowledge, scientifik knowledge,
philosophical knowledge, dan religious knowledge.
Apabila kita
menggunakan istilah ilmu secara etimologis dan secara generik (sebagaimana
dipahami masyarakat secara umum dalam kehidupan sehari – hari), maka senua
pengetahuan sebagaimana telah dikemukakan diatas tergolong ilmu. Namun
demikian, dalam konteks studi akademik sejak zaman modern sebagaimana telah
dirintis oleh Francis Bacon (1560-1626), Galileo Galilei (1564 – 1642), Newton
(1642 – 1727), dll. Istilah ilmu atau science
telah mengalami perubahan arti. Ilmu mempunyai arti sfesifik, yaitu hanya
berkenaan dengan pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) saja. Berkenaan dengan ini Titus dkk. (1959) mengemukakan ada
tiga kemungkinan penggunaan istilah ilmu. Pertama, digunakan untuk menunjuk bodies of knowledge, misal : fisika,
kimia, psikologi, dll. Kedua, digunakan untuk menunjuk a body of systematic knowledge, yaitu konsep – konsep, hipotesis –
hipotesis, hukum – hukum, teori – teori, dsb yang tersusun secara sistematis
yang telah dibangun melalui kerja para ilmuwan selama bertahun – tahun. Ketiga,
digunakan untuk menunjuk cara kerja tertentu yaitu scientific knowledge atau metode ilmiah. Dengan demikian dewasa
ini, secara operasional dan substansial istilah ilmu mengandung arti cara kerja
ilmiah dan hasil kerja ilmiah. Ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang dihasilkan
melalui metode ilmiah.
Ilmu
pendidikan. Berdasarkan definisi ilmu sebagaimana telah dikemukakan diatas,
kita dapat mendefinisikan ilmu pendidikan, sebagai sistem pengetahuan tentang
fenomena pendidikan yang dihasilkan melalui penelitian dengan menggunakan
metode ilmiah.
Karakteristik
ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan antara lain memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1)
Objek studi
Objek studi ilmu meliputi berbagai hal
sebatas yang dapat dialami manusia. Setiap ilmu memiliki objek material dan
objek formal tertentu. Beberapa disiplin ilmu mungkin memiliki objek material
yang sama. Tetapi setiap disiplin ilmu mempunyai objek formal yang berbeda,
objek studi setiap disiplin ilmu bersifat sfesifik. Adapun objek material ilmu
pendidikan adalah manusia, sedangkan objek formalnya adalah fenomena
pendidikan, yaitu fenomena lain yang berhubungan dengan kegiatan pendidikan.
2) Metode
Ilmu menggunakan metode ilmiah,
demikian pula ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan menggunakan metode kualitatif
dan metode kuantitatif. Penggunaan metode tersebut tergantung kepada sifat
masalah atau objek penelitiannya.
3) Isi
Isi ilmu juga ilmu pendidikan dapat
berupa konsep, aksioma, postulat, prinsip, hukum teori, dan model yang disusun
secara sistematis. Umumnya isi ilmu tersebut bersifat deskriptif dan objektif.
Namun demikian, cabang – cabang ilmu pendidikan selain ada yang bersifat
deskriptif dan objektif, juga ada yang memiliki karakteristik preskriptif/normatif.
4) Fungsi
Ilmu adalah menjelaskan,
memprediksikan, dan mengontrol.
5) Ilmu pendidikan menggunakan ilmu – ilmu lain dalam
mempelajari pendidikan. Sekalipun demikian, menurut M.J. Langeveld (1952),
sebagai ilmu yang bersifat otonom ilmu pendidikan berperan sebagai “tuan
rumah”, sedangkan ilmu – ilmu lain sebagai tamunya.
Sistematika ilmu pendidikan. Mengacu
kepada sistematika pedagogik dari M. J. Langeveld, Madjid Noor dan J.M. Daniel
(1987) mengklasifikasikan ilmu pendidikan menjadi sebagai berikut :
a. Ilmu Pendidikan Teoritis :
1) Ilmu Pendidikan Sistematis
2) Ilmu Pendidikan Historis :
a. Sejarah Pendidikan :
1) Sejarah Teori Pendidikan
2) Sejarah
Praktek Pendidikan
b. Ilmu Pendidikan Komparatif
b. Ilmu Pendidikan Praktis :
1.
Pendidikan
Keluarga
2.
Pendidikan
Sekolah :
a. Administrasi Sekolah
b. Didaktik / Metodik
c. Kurikulum
- Pendidikan Masyarakat
Sedangkankan Redja Mudyaharjo (2001)
mengklasifikasikan ilmu pendidikan menjadi sebagai berikut :
a. Ilmu Pendidikan Makro :
1)
Ilmu
Pendidikan Administratif
2)
Ilmu
Pendidikan Komparatif
3)
Ilmu
Pendidikan Historis
4)
Ilmu
Pendidikan Kependudukan
b. Ilmu Pendidikan Makro :
1)
Ilmu Mendidik
Umum yang meliputi :
a. Pedagogis Teoritis
b. Ilmu Pendidikan Psikologis
c. Ilmu pendidikan Sosiologis
d. Ilmu Pendidikan Antropologis
e. Ilmu Pendidikan Ekonomik
c. Ilmu Mendidik Khusus :
1) Ilmu Persekolahan :
a. Ilmu Administrasi Sekolah
b. Ilmu Administrasi Kelas
c. Ilmu Kegiatan Pendidikan Sekolah
§ Ilmu Bimbingan
§ Ilmu Pengajaran (Didaktik/Metodik)
§ Ilmu Kepelatihan
2) Ilmu
Pendidikan Luar sekolah :
a. Pedagogik Keluarga
b. Pedagogik Taman Kanak – kanak
c. Ilmu Pendidikan Masyarakat (Andragogi)
3) Ilmu
Pendidikan Luar Biasa / Orthopedagogik :
a. Orthopedagogik fisik
b. Orthopedagogik Mental
C.
Praktek Pendidikan
Praktek pendidikan adalah upaya yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memfasilitasi peserta
didik agar peserta didik mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Praktek
pendidikan dapat terselenggara secara informal, maupun diselenggarakan secara
formal dan non formal. Contoh praktek pendidikan : seorang bapak sedang
memberikan wejangan kepada anaknya agar jangan lupa mendirikan sholat, Ibu guru
sedang menjelaskan konsep ekologi kepada para siswanya di kelas, Seorang tutor
sedang membimbing para peserta didik kejar paket B untuk dapat menjawab latihan
soal matematika, dsb.
Apabila kita mempelajari gejala
pendidikan dalam skala mikro, bahwa praktek pendidikan (praktek mendidik) pada
dasarnya berlangsung dalam kegiatan /
interaksi sosial antara pendidik dan peserta didik yang berlangsung dalam suatu
lingkungan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Adapun untuk
mencapai tujuan pendidikan tersebut, pendidik tentu saja memilih isi pendidikan
dan menggunakan alat dan cara – cara / metode pendidikan tertentu. Dengan
demikian kita dapat mengidentifikasi unsur – unsur yang terlibat dalam praktek
pendidikan, yaitu : (1) tujuan pendidikan, (2) pendidik, (3) peserta didik, (4)
isi / kurikulum pendidikan, (5) alat dan cara – cara / metode pendidikan, (6)
lingkungan pendidikan.
“Objek” (sasaran) dalam praktek
pendidikan yaitu peserta didik yang pada hakikatnya adalah manusia. Sebagaimana
telah kita pahami melalui bab II, manusia mempunyai kedudukan dan nilai
tersendiri apabila dibandingkan dengan benda – benda, tumbuhan, maupun hewan.
Disamping itu, tujuan pendidikan juga sarat dengan nilai. Sebab itu, isi
pendidikan dan alat atau cara – cara pendidikan pun hendaknya dipilih atas
pertimbangan nilai – nilai kemanusiaan yang melekat pada peserta didik sebagai
“objek” nya maupun yang melekat pada tujuan pendidikannya.
Hubungan antara studi pendidikan dan
praktek pendidikan. Terdapat hubungan komplementer antara studi pendidikan
dengan praktek pendidikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Redja Mudyahardjo
(Odang Muchtar, 1991) bahwa:
1. Studi pendidikan menjadi dasar sesuatu praktek
pendidikan.
2. Studi pendidikan menjadi alat untuk mencek
keberhasilan praktek pendidikan.
3. Praktek pendidikan menjadi sumber bagi pelaksanaan
studi pendidikan.
4. Praktek pendidikan menjadi sarana pengujian
kebenaran prinsip pendidikan hasil studi pendidikan.
D.
Praktek
Pendidikan Sebagai Paduan Ilmu dan Seni
Pendidikan sebagai ilmu. Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, fenomena pendidikan dapat dipelajari melalui metode
ilmiah dan telah menghasilkan ilmu pendidikan. Adapun ilmu pendidikan tersebut
dapat dijadikan dasar dan petunjuk dalam rangka praktek pendidikan. Dengan
dasar ilmu pendidikan para pendidik dapat menyusun desain pembelajaran, yang
memuat tujuan, isi, metode dan teknik mengajar, serta evaluasinya. Atas dasar
desain pembelajaran itulah para guru melaksanakan praktek pendidikan. Dengan
demikian dapatlah dipahami makna dari pernyataan pendidikan sebagai suatu ilmu,
yaitu bahwa praktek pendidikan tersebut tiada lain adalah aplikasi dari ilmu
pendidikan. Implikasinya bahwa untuk menjadi guru atau untuk menjadi pendidik,
siapapun dapat mempelajarinya melalui ilmu pendidikan.
Pendidikan sebagai seni . Bertentangan
dengan pandangan diatas, ada kalangan yang memandang pendidikan sebagai seni.
Gilbert Highet dalam bukunya “The Art Of
Teaching” antara lain menyatakan : “Buku ini disebut “Seni Mengajar” karena
saya yakin bahwa mengajar adalah sebuah seni, bukan sebuah ilmu. Menurut
pandangan saya sangatlah berbahaya mempergunakan tujuan – tujuan dan metode –
metode ilmu untuk urusan manusia sebagai individu, meskipun suatu prinsip
statistik sering dapat dipergunakan untuk menerangkan tingkah laku manusia
dalam kelompok yang besar dan suatu diagnosa ilmiah tentang struktur fisik
manusia selalu sangat bermanfaat. Tetapi suatu hubungan “ilmiah” antar manusia
adalah terobosan yang tidak memadai dan mungkin bersifat penyimpangan. Tentu
merupakan keharusan bahwa guru harus teratur dalam merencanakan pekerjaannya
dan cermat dalam berurusan dengan fakta – fakta. Tetapi hal itu tidak
menyebabkan cara mengajarnya menjadi “ilmiah”. Mengajar melibatkan emosi, yang tidak dapat dinilai dan
dikerjakan secara sistematis, dan nilai –
nilai kemanusiaan, adalah nilai – nilai yang berada di luar jangkauan dari
ilmu. Suatu pendidikan anak yang dilaksanakan secara ilmiah akan merupakan
suatu monster yang memprihatinkan. Mengajar yang “ilmiah”, dengan bahan – bahan
pelajaran yang ilmiah, akan menjadi tidak selaras sepanjang guru dan muridnya
adalah manusia. Megajar tidaklah menimbulkan seperti reaksi kimia, mengajar
lebih banyak mirip seperti melukis sebuah gambar atau menggelar sebuah musik,
atau pada tingkat yang lebih rendah seperti menanam bunga di suatu taman atau
menulis surat persahabatan. Anda harus melibatkan hati sanubari di dalamnya,
anda harus menyadari bahwa mengajar tidak dapat seluruhnya dikerjakan
berdasarkan formula – formula, atau anda akan merusak pekerjaan anda, dan murid
– murid anda, serta diri anda sendiri” (Redja Mudyaharjo, 1995).
Pendidikan sebagai paduan ilmu dan
seni. Pendidikan sebagai paduan ilmu dan seni dikemukakan oleh A.S. Neil.
Menurutnya : “Mendidik dan mengajar bukanlah hanya suatu ilmu, tapi adalah
seni. Mendidik yang diartikan sebagai seni ialah bagaimana kita dapat hidup
dengan anak – anak dan dapat mengerti anak –anak sehingga seolah – olah kita
menjadi seperti anak – anak. Gramophone dapat menyajikan pelajaran dengan baik,
tetapi hal seperti itu tak dapat menemukan suatu hubungan yang vital dengan
anak – anak. Sydney J. Haris mengemukakan : “bagaimana caranya beberapa guru dapat
menguasai kelasnya dengan sangat mudah, dan tidak mempunyai kesulitan –
kesulitan mengenai disiplin, sedangkan guru – guru lain harus berteriak,
memohon, mengancam, dan masih tidak dapat apa – apa dengan murid – murid yang
suka bikin ribut?’’. Haris menyatakan bahwa hal ini sangat banyak hubungannya
dengan ke-“authentic” –an guru –
sangat berhubungan dengan kewibawaan guru, bukan dengan “authority”, karena kewibawaan adalah lebih dari sekedar kedudukan
resmi dan kemampuan untuk memberikan hadiah atau hukuman, tetapi kewibawaan itu
muncul dari dalam kepribadian seseorang. Hanya seseorang yang berkepribadian
yang menggetarkan orang lain. Pengetahuan tidaklah cukup. Teknik tidaklah cukup
sekedar pengalaman juga tidak cukup. Ini adalah suatu misteri di dalam proses
mengajar dan sama dengan misteri yang terdapat di dalam proses penyembuhan
(kedokteran). Masing – masing adalah seni lebih dari sekedar pengetahuan atau
keterampilan, dan seni itu melandasi kemampuan untuk “ berlagu dengan panjang
gelombang orang lain” (Battle dan Shannon, 1982). Selain itu, paham
konstruktivisme juga mengakui bahwa pendidikan bukan sekedar ilmu, melainkan
juga seni. Dalam analisis implikasi konstruktivisme terhadap proses mengajar
Paul Suparno (1997) mengemukakan bahwa : “tugas guru adalah membantu agar siswa
mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret maka
strategi mengajar perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi murid.
Oleh karena itu, tidak ada suatu strategi mengajar yang satu – satunya yang
dapat digunakan dimanapun dalam situasi apapun. Strategi yang disusun selalu
hanya menjadi tawaran dan sasaran, bukan suatu menu yang sudah jadi. Setiap
guru yang baik akan memperkembangkan sendiri. Mengajar adalah suatu seni yang
menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi”.
Pandangan bahwa mengajar (mendidik)
tidaklah seni semata, tetapi juga ilmu dikemukakan pula oleh Charles Silberman.
Silberman antara lain menyatakan : “yakin mengajar – seperti praktek kedokteran
– banyak merupakan suatu seni, yang memerlukan latihan bakat dan kreativitas.
Tetapi seperti kedokteran, mengajar adalah juga – atau hendaknya – menjadi
sebuah ilmu, karena berkenaan dengan suatu perbendaharaan teknik – teknik,
prosedur – prosedur, dan kecakapan – kecakapan yang dapat dipelajari dan
diterangakan secara sistematis, dan oleh karena itu ditransmisikan dan
dikembangkan” (Redja Mudyaharjo, 1995).
Demikianlah, pandangan pendidikan
sebagai seni tidak perlu dipertentangkan dengan pandangan pendidikan sebagai
ilmu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidik memerlukan ilmu pendidikan
dalam rangka memahami dan mempersiapkan suatu praktek pendidikan, namun dalam
prakteknya pendidik harus kreatif, skenario atau persiapan mengajar hanya
dijadikan rambu – rambu saja, pendidik perlu melakukan improvisasi. Dalam hal
ini pendidik harus memperhatikan karakteristik peserta didik, dsb. Esensinya,
bahwa praktek pendidikan itu hendaknya merupakan paduan ilmu dan seni.
B. Saran
Dalam penusunan makalah
ini, Kami selaku Penusun tentunya mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan – kesalahan baik
dala ejaan, pilihan kata, sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang
kurang di pahami. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar – besarnya, di
karenakan kami masih dalam tarap pembelajaran.
Seperti ada pepatah
mengatakan : “ Tak ada gading yang tak
retak “. Maka dari itu kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun agar kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah berikutnya
sehingga makalah berikutnya lebih sempurna dari pada makalah sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbulloh, 2001. Dasar-dasar ilmu pendidikan, Rajawali pers : Jakarta.
Syarifudin, Tatang. 2007. Landasan Pendidikan. Percikan Ilmu : Bandung.
luar biasa
BalasHapus