Home

Selasa, 01 November 2011

Pendidikan Agama Islam

Judul Makalah : Makanan & Minuman dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang
Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing – masing dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT tidak ada yang sia – sia, semuanya mempunyai manfaat dan hikmah. Allah SWT telah mengatur porsi yang sesuai terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, misalnya makanan dan minuman dalam Islam tidak sembarangan untuk dapat di konsumsi, karena tidak  semua makanan dan minuman mengandung banyak manfaat, ada juga makanan dan minuman yang mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Maka dari itu Allah SWT telah mengatur dan membatasinya dalam aturan – aturan yang pasti demi kebaikan manusia. Diantaranya dengan adanya pengharaman terhadap jenis makanan tersebut

 1.2              Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Jelaskan konsep dasar halal dan haram dalam islam ?
2.         Sebutkan jenis - jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam islam ?
3.         Sebutkan hikmah dibalik pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman dalam islam ?
4.         Jelaskan pentingnya lembaga sertifikasi halal ?
1.3.                                    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami secara mendalam mengenai :
1.         Konsep dasar halal dan haram dalam islam.
2.         Jenis - jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam islam.
3.         Hikmah dibalik pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman dalam islam.
4.         Pentingnya lembaga sertifikasi halal.

 BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Konsep Dasar Halal Dan Haram dalam Islam
            Salah satu aturan atau tuntunan yang ada dalam agama Islam adalah aturan halal (sesuatu yang dibolehkan) dan haram (sesuatu yang dilarang). Aturan tersebut Allah ciptakan demi kebaikan umat manusia, bukan semata – mata untuk mengekangnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW : “Apapun yang di halalkan Allah SWT dalam kitab-Nya adalah halal, dan apapun yang diharamkan oleh Allah SWT adalah haram. Dan apapun yang tidak disebutkan oleh Allah SWT maka dia adalah ampunan, terimalah ampunan Allah karena Allah tidak akan melupakan apapun”. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW tersebut jelas bahwa halal dan haram dalam agama itu adalah hak absolut Allah SWT. Artinya manusia (kecuali Rasul) tidak punya otoritas untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu.
            Yusuf Qurdhawi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan halal adalah sesuatu yang tidak menimbulkan kerugian dan Allah SWT memberikan kewenangan untuk melakukannya. Sedangkan haram adalah sesuatu yang secara tegas dilarang oleh Allah SWT untuk dikerjakan dan pelakunya diancam siksa dan hukuman diakhirat.
            Diantara perkara yang halal dan haram tersebut ada perkara yang syubhat, yaitu sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT dengan tidak permanen, tidak memberikan dampak yang merugikan dan pelakunya tidak diancam dengan hukuman. Walaupun tingkatan larangan Allah SWT terhadap perkara yang syubhat terbilang lebih rendah dibandingkan yang haram, tapi jika dianggap enteng atau disepelekan justru akan membawa pelakunya kepada keharaman.

            Pada dasarnya esensi dari segala hal yang ada di dunia ini adalah boleh atau mubah. Allah SWT berfirman :
“Tidaklah kalian melihat bahwa Allah telah menundukan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya, lahir maupun batin”. (Q.S. Luqman : 20)
Allah SWT sebagai pencipta menetapkan keputusan halal dan haramnya segala sesuatu itu ada di tangan Allah. Dia mencabut kewenangan ini dari tangan manusia apapun kedudukan dan statusnya dalam masyarakat. Dalam Al-Quran surat Yunus ayat 59 Allah SWT secara tegas mencela orang – orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sekehendak hati mereka.
            Dengan demikian jika manusia mengharamkan dan menghalalkan sesuatu dengan tanpa legitimasi-Nya berarti telah melanggar hak dan kewenangan Allah SWT.
            Abu Abdullah Nukman bin Basyir r.a. berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas. Diantara keduanya terdapat perkara – perkara yang syubhat (tidak terang halal atau haramnya) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Orang yang memelihara dirinya dari perkara - perkara yang syubhat itu adalah seperti orang yang melindungi agama dan kehormatan dirinya dari kekurangan dan cela. Orang yang tergelincir kedalam perkara syubhat itu akan tergelincir masuk kedalam perkara haram. Laksana seorang pengembala di pinggir sebuah tempat larangan, yang akhirnya lalai dan masuk ke dalam tempat larangan itu. Setiap raja mempunyai sebuah tempat larangan, dan tempat larangan Allah itu adalah hal – hal yang diharamkan-Nya. Ketauhilah dalam setiap tubuh itu terdapat segumpal daging, jika baik, seluruh tubuh itu akan baik dan jika rusak maka seluruh tubuh itu akan rusak. Segumpal daging itu adalah hati”.(Muttafaq Alaih)
            Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam ini termasuk wara. Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah. Pada hadist tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya beradasarkan sabda Rasulullah SAW : “Barang siapa menjaga dirinya dari yang samar – samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Sebagian lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alasan sabda Rasulullah SAW: “Seperti penggembala yang menggembala disekitar daerah terlarang”. Kalimat ini menunjukan  syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat wara. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah SAW menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara juga. Sehubungan dengan perkara yang syubhat, Rasulullah SAW bersabda : “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu” (H.R. Tirmidzi dan Nasa’i).
Sebagian ulama berpendapat syubhat itu ada tiga macam :
1.      Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak.
2.      Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya.
3.      Seseorang ragu – ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal.
Sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bersifat menyeluruh (universal) dalam arti tidak hanya ditujukan untuk sekelompok orang saja atau tidak hanya ditetapkan pada hal – hal tertentu saja tetapi segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya adalah haram untuk semua manusia dan begitu pula yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya maka halal untuk semua manusia.
2.2   Jenis – Jenis Makanan Dan Minuman Yang Diharamkan Dalam Islam
Allah SWT mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar dari pada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Allah SWT berfirman yang artinya : “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119].
Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis yaitu :
1.             Makanan yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti : bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dsb.
2.             Makanan yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya : makanan dari hasil mencuri, upah perzinaan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara - acara yang bid’ah, dsb.
Berikut ini adalah penjelasan jenis – jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam islam berdasarkan dzatnya yaitu :
1.        Bangkai
Bangkai adalah hewan – hewan yang asalnya halal secara syar’i untuk dimakan, tetapi kemudian mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Karena darah yang mengendap dalam tubuh bangkai tersebut kemudian menjadi sarang tempat berkumpulnya mikroba yang berbahaya bagi tubuh manusia. Menurut Dr. Adil Khair dalam bukunya al ijtihadat fi at Tafsir al ’Ilmi menyebutkan beberapa penyakit yang diakibatkan karena memakan bangkai, yaitu radang dan pembusukan usus dan penyakit – penyakit pencernaan seperti typus, tetanus, keracunan darah, dan sebagainya.
Allah SWT dalam firman-Nya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
Artinya :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Dan juga dalam firman-Nya :
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121)
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas yaitu :
1.    Al-Munkhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja ataupun tidak. Seperti karena lehernya terjerat tambang pengikatnya, atau kepalanya masuk ke dalam lubang sempit,dan sebagainya.
2.    Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat / benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
3.    Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga ia mati.
4.    An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya sehimgga ia mati.
5.    Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas, yaitu hewan yang sebagian tubuhnya dimakan hewan buas, kemudian mati.
6.    Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7.    Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8.    Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9.    Semua bagian tubuh hewan yang terpotong / terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ
Artinya :
Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya).
Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang.
1. Ikan, karena ikan termasuk hewan air dan semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang, Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Artinya :
Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
Artinya :
Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang. [Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama]
Dari jenis bangkai diatas menjadi halal jika sempat disembelih sebelum mati.Termasuk bangkai hewan yang dimatikan dengan cara sengatan listrik, dengan peluru, atau dengan pemotong mekanis tanpa menyebut nama Allah SWT.
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda yang "Artinya : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11].
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no. 480): " Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut) ? Beliau menjawab : "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah SAW bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Hadits Riwayat Daraqutni : 538]
2.  Darah.
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145 :
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
Artinya : Atau darah yang mengalir.
Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan / minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
3.   Daging babi.
Dalam surah Al - Ma`idah ayat 3 dijelaskan tentang keharaman daging babi yaitu mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya, baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama.
Babi diharamkan karena babi adalah hewan yang sangat menjijikan dangan mengandung penyakit yang sangat berbahaya. Makanan kesukaan hewan ini adalah barang-barang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya dalam setiap iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam percobaan. Makan daging babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal yang dapat mematikan. Penelitian telah membuktikan bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan adanya penyakit ganas yang sulit pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah 3/394-395]
Menurut  Al Imam Muhammad ‘Abdulah juga dinyatakan ketika beliau berkunjung ke Prancis sebagaimana yang dikutip oleh Syekh Fauzi Muhammad dalam bukunya Maidah al Muslim baina al Din waal ‘ilm. Bahwa “ Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda – pemuda kita yang sering pergi ke negara – negara Eropa dan Amerika, dimana babi merupakan makanan pokok dalam hidangan mereka. Disana, hal ini saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Al – Imam Muhammad ‘Abduh mengunjungi Prancis. Mereka bertanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam islam. Mereka bertanya kepada imam, “kamu (umat islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba – mikroba dan bakteri – bakteri lainnya. Hal ini sekarang sudah tidak ada. Babi – babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi – babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya? Tuan lihat, kami melakukan pemeriksaan kesehatan secara periodik, dan melakukan beberapa pengobatan secara teratur.’ Imam Muhammad ‘Abduh meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan dan satu ayam betina, serta dua ekor babi jantan dan satu babi betina. Mereka bertanya, ‘Untuk apa ?’ Beliau menjawab, ‘ Penuhi apa yang saya minta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia’. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh. Keduanya berusaha mendapatkan ayam betina untuk dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung  kedua ayam tersebut. Kemudian memerintahkan melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajatnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Maka beliau berkata, ‘saudara – saudara daging babi membunuh ghirah orang yang memakannya, itulah yang terjadi pada anda. Seorang laki – laki dari kalian melihat istrinya bersama laki – laki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak diantara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu dan was – was, karena daging babi itu menularkan sifat – sifatnya pada yang memakannya.’ . . . . itulah hukum Allah.
Pengharaman babi juga diperkuat oleh penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia yang menyatakan bahwa daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Presentase negara – negara penduduknya memakan babi meningkat secara drastis, terutama di negara – negara Eropa dan Amerika, serta negara – negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara itu, di negara – negara Islam presentasenya amat rendah, sekitar1/1000 . Hasil penelitian ini dipublikasikan pada tahun 1986, pada konfrensi Tahunan Sedunia Penyakit Alat pencernaan, yang diadakan di solo Paulo.
Fauzan Muhammad mengingatkan bahwa pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang di proses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi.
4.        Sembelihan Untuk Selain Allah
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama. Pengharaman makanan jenis ini bukan sebatas pada aspek fisik hewan tersebut tetapi pada unsur ruhiyah yaitu penyembahan kepada selain Allah sebagaimana yang dinyatakan Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fial Zhilal al ur’an.
5.        Hewan Yang Diterkam Binatang Buas
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudian mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Al-Mauqudhah, Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.
6.        Binatang Buas Bertaring
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933).
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28).
Sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- juga berkata:
أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.
Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya. [Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)].
7.        Burung Yang Berkuku Tajam dan Memiliki Cakar
Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim no. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”
Selain itu semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang bisa memangsa dengan cakarnya, seperti: elang dan rajawali pula maka diharamkan pula oleh Islam. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma- yaitu :
نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. (HR. Muslim) [Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]


8.        Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)
Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini : “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).
Menurut ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu ‘anhuma- berkata :
نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ
Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).
[Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]
9.        Baghol.
Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)
Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)].



10.    Al-Jallalah
Al-Jallalah yaitu hewan – hewan baik itu unta, kambing, sapi, ayam, itik, dll yang memakan atau makanan pokoknya adalah kotoran – kotoran seperti kotoran manusia ataupun hewan. (Fahul Bari 9/648). Sebagian ulama menyatakan bahwa pelarangan hewan jallalah oleh Rasulullah hanya sampai pada makruh tidak haram. Dalam sebuah hadist riwayat Ahmad disebutkan bahwa rasulullah SAW melarang dari keledai jinak (khimar ahliah) dan jallalah, baik mengendarainya ataupun memakannya. Sebab diharamkannya jallalah adalah perubahan bau dan rasa daging serta susunya. Pengecualian, jika hewan tersebut dikandangi, dijauhi dari kotoran, dan diberi makanan yang bersih dan suci, sehingga dagingnya menjadi baik tidak lagi haram hukumnya, bahkan halal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Hewan Jallalah menurut Syekh Fauzi Muhammad jika dikandangi selama 40 hari bagi unta, tiga puluh hari bagi sapi, tujuh hari bagi kambing, dan tiga hari bagi ayam hilang kemakruhan atau keharamannya.
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jallalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jallalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Selain itu berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan :
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Diharamkannya jalallah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelehnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
Jadi kesimpulannya  pengharaman jallalah yaitu :
1.        Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’ (3/529).
2.        Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28).
[Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
11.     Ad -Dhab (Hewan Sejenis Biawak)
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata : Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)
12.  Hewan Yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya”.
13.   Hewan Yang Dilarang Untuk Dibunuh
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
14. Binatang Yang Hidup Di Dua Alam
Sejauh Ini Belum Ada Dalil Dari Al Qur’an Dan Hadits Yang Shahih Yang Menjelaskan Tentang Haramnya Hewan Yang Hidup Di Dua Alam (Laut Dan Darat). Dengan Demikian Binatang Yang Hidup Di Dua Alam Dasar Hukumnya “Asal Hukumnya Adalah Halal Kecuali Ada Dalil Yang Mengharamkannya.
Berikut Contoh Beberapa Dalil Hewan Hidup Di Dua Alam :
Kepiting – Hukumnya Halal Sebagaimana Pendapat Atha’ Dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 Oleh Ibnu Qudamah Dan Al-Muhalla 6/84 Oleh Ibnu Hazm).
Kura-Kura Dan Penyu – Juga Halal Sebagaimana Madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad Bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri Dan Fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah Dan Al-Muhalla (6/84).
Anjing Laut – Juga Halal Sebagaimana Pendapat Imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi Dan Al-Auza’i (Lihat Al-Mughni 13/346).
Katak/Kodok – Hukumnya Haram Secara Mutlak Menurut Pendapat Yang Rajih Karena Termasuk Hewan Yang Dilarang Dibunuh Sebagaimana Penjelasan Di Atas.
15.   Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]“.
Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing. [Al-Luqothot point ke-12]
16.   Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya. [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]
17.   Monyet.
Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)” [13]. [Al-Luqothot point ke-13]
18.   Gajah.
Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-. [Al-Luqothot point ke-14]

19.   Musang (arab: tsa’lab)
Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
20.   Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)
Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]

21.    Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”. [Al-Luqothot point ke-16]
22.   Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]).
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
23.   Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. [Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]
24.    Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek). [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
25.   Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih” [16]. [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]
26.   Khamar.
Secara bahasa Khamar adalah “manutup”. Khamar dapat menutupi akal, maksudnya peminum khamar akan mengalami kehilangan akal sehat. Karenanya makanan dan minuman yang dapat menyebabkan tertutupnya akal dinamai juga khamar. Yang dimsaksud khamar disini adalah setiap minuman yang memabukan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap yang memabukan adalah khamr dan setiap khamr itu diharamkan ” (H.R. Ahmad). Mengenai sifat khamar menutupi atau mengacaukan akal dijelaskan oleh sabda Rasulullah SAW berikut :
Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamr. Ia terbuat dari salah satu 5 unsur : anggur, kurma, madu, jagung, dan gandum. Khamr itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal” (H.R. Bukhari)
Pengharaman khamr dalam islam dilakukan secara bertahap. Menurut para ulama ada empat ayat yang turun berkenaan dengan khamr, yaitu :
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukan dan rezeki yang baik” (Q.S Al Nahl [16] :67)
Saat ayat ini diturunkan umat islam biasa meminum khamr karena ayat tersebut tidak menunjukan pengharaman. Selanjutnya Umar, Mu’adz, dan sahabat lainnya datang kepada rasulullah, dan berkata, “wahai Rasulullah, berilah fatwa kepada kami tentang khamr, karena ia dapat menghilangkan dan akan merusak harta ”. Saat itu turun wahyu “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : “ pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. . .” (Q.S al Baarah [2] : 219)
Dengan turunnya ayat tersebut sebagian umat islam meninggalkannya tetapi sebagian lagi masih meminumnya. Wahyu ketiga berkenaan dengan khamr turun ketika beberapa sahabat yang sedang mabuk melaksanakan shalat dan salah dalam membaca surat al Kafirun menjadi, “katakanlah, “wahai orang – orang kafir saya menyembah apa yang kamu sembah”. Kemudian turunlah ayat :
“Janganlah kamu Shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk . . .” (Q.S Al Nisa [4] :43).
Setelah ayat ini turun, makin sedikitlah orang – orang yang meminum khamr. Ayat terakhir tentang khamr sekaligus penegasan tentang pengharamannya turun ketika terjadi pertengkaran antara kaum anshar dan muhajirin yang dipicu oleh Sa’ad bin Abi waqas salah satu tokoh muhajirin yang dalam keadaan mabuk secara tidak sadar membacakan puisi yang mengejek kaum anshar. Ia dipukul dengan tulang dagu unta oleh salah seorang anshar sampai terluka. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah Saw. Lalu Umar r.a. berdo’a, “ya allah jelaskanlah kepada kami mengenai khamr dengan penjelasan yang memuaskan . . . .” Kemudian turunlah firman Allah SWT :
Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah [434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang ; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S. Almaidah [5] : 90 – 91).
Yang termasuk ke dalam khamr adalah semua jenis minuman yang mengandung alkohol karena sifatnya yang memabukan. Dan bukan alkoholnya yang haram melainkan diharamkan pada minuman yang mengandung alkohol.. Pengharaman khamr tidak terbatas pada penggunaannya sebagai minuman termasuk juga ketika khamr dalam hal jenis arak digunakan dalam makanan sebagai bahan penyedap. Saat ini banyak jenis – jenis makanan yang menggunakan arak sebagai penyedap rasa, tak terkecuali di indonesia sebagaimana dilaporkan dalam beberapa artikel di internet, jenis arak yang digunakan misalnya dalam makanan Cina, Jepang, beberapa mie goreng, ikan bakar, bahkan daging panggang adalah arak putih, arak merah,dsb. Arak – arak yang digunakan tersebut di Indonesia di impor dari Cina, Jepang, Singapura dan ada juga buatan lokal dengan menggunakan perasan tape ketan yang difermentasi lanjut (anggur tape). Rasulullah Saw menyatakan bahwa khamr menyebabkan kerusakan bagi manusia, karena sedikit atau banyaknya kadar tetap dilarang. Khamr dapat mengganggu stabilitas akal dan menghilangkan fungsi – fungsi saraf.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90
Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”.
Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.



2.3    Hikmah Dibalik Pengharaman Beberapa Jenis Makanan dan Minuman     Islam
            Hikmah yang dapat kita ambil dari pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman tertentu dalam Islam, secara umum diantaranya yaitu umat manusia pada khususnya umat Islam akan terhindar dari berbagai masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan sosial, serta hidup manusia akan lebih baik, terkontrol, dan bisa melatih kita dalam memilih dan memilah segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, pada khususnya dalam hal makanan dan minuman.
Contoh:
1.        Hikmah dibalik pengharaman daging babi
Sebuah kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"
Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.
Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."
Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.
Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."
Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.
Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr. Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131: "Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi? "Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr al Qur'an al Karîm, halaman 112, menyebutkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh daging babi: "Daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Patut dicatat, hingga saat ini, generasi babi belum terbebaskan dari cacing-cacing ini. Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:
a.         Kolera babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
b.        Keguguran nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
c.         Kulit kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan yang kedua menyebabkan gangguan persendian   
d.        Penyakit pengelupasan kulit.
e.         Benalu eskares, yang berbahaya bagi manusia.

2.        Hikmah di balik pengharaman minuman beralkohol

Sejatinya Allah swt telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang baik-baik dari sebagian karunia-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah swt itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik, dan Allah swt memerintahkan kepada hamba-Nya apa-apa yang diperintahkan kepada Rasul-rasul-Nya.
Sungguh, salah satu kebaikan dalam Islam yang dibawanya untuk kepentingan umat manusia adalah Islam tidak akan mengharamkan sesuatu, kecuali memberikan ganti (way out) yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu. Allah swt telah mengharamkan minuman beralkohol, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat dan cukup berguna bagi kesehatan rohani serta jasmani, seperti susu dan madu.
Begitulah, kalau kita ikuti dengan seksama keseluruhan hukum Islam akan kita jumpai disitu bahwa pelarangan sebagian makanan dan minuman oleh Allah swt tersebut tidaklah dimaksudkan untuk memberikan suatu kesempitan kepada hamba-hamba-Nya. Lagipula kalau kita mau berpikir jauh, sesungguhnya dibalik beberapa hal yang diharamkan oleh Allah swt itu sejatinya telah tersimpan sebab dan hikmat yang sangat luar biasa. Berikut ini akan kita lihat betapa Maha Penyayangnya Allah swt terhadap hamba-hamba-Nya dibalik keberadaan minuman beralkohol.
Minuman alkohol atau yang seringkali disebut dengan khamar dalam bahasa Arab, merupakan jenis minuman yang memabukkan dan menghilangkan akal orang yang meminumnya. Orang Arab Jahiliyah selalu menganggap khamar sebagai sesuatu yang istimewa. Ini dapat dibuktikan dalam syair-syair mereka yang memuji-muji khamar, sloki-sloki, pertemuan-pertemuan dan sebagainya. Tidak kurang dari 100 nama dibuat untuk mensifati khamar itu.
Setelah Islam datang, secara bertahap minuman beralkohol mulai dilarang. Pertama, dengan cara menerangkan bahayanya minuman beralkohol sekalipun didalamnya juga terkandung manfaat, kemudian kadar larangan ditingkatkan menjadi larangan mengerjakan shalat ketika sedang mabuk, dan terakhir baru Allah swt menurunkan ayat-ayat-Nya secara tegas dan menyeluruh:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ’Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagimu, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’....” (QS. Al Baqarah: 219)
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat, sedangkan dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....” (QS. An Nisaa’: 43)
Hai orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala dan mengundi dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah swt dan sembahyang; maka berhentilah kamu.” (QS. Al Maa-idah: 90-91)
Dampak Negatif Alkohol yaitu :
Telah banyak Negara mengakui bahayanya minuman beralkohol. Alkohol selalu mempunyai efek samping berbahaya dan menyebabkan kerusahan fisik serta sosial. Sayangnya usaha pemberantasannya tak selalu berhasil baik. Di Amerika Serikat, misalnya, sebetulnya negara ini telah berusaha memberantas ketergantungan masyarakatnya terhadap alkohol dengan cara mengesahkan Undang-undang yang berkaitan dengan pembatasan minuman beralkohol, namun demikian agaknya usaha ini masih mengalami kegagalan. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil survey yang menyatakan bahwa lebih dari 18 juta warga Amerika Serikat ternyata telah menjadi pecandu alkohol. Akibatnya, secara finansial, pemerintah Amerika Serikat mengalami kerugian lebih dari 17 miliar dollar akibat masalah-masalah kejiwaan/mentalitas, kekacauan dalam rumah tangga (broken home), dan kesemrawutan tatanan sosial.
Majalah ’Lants’, London, juga menyebutkan bahwa sekitar 200 ribu orang telah meninggal dalam satu tahun di Inggris disebabkan oleh alkohol. Sementara kerugian finansial yang dialami oleh Inggris akibat masalah-masalah sosial yang mengikutinya diperkirakan mencapai 2 milyar poundsterling per tahun.
Menurut Dr. Peter J. D’Adamo dalam bukunya yang berjudul ”Eat Right for Your Type”, setiap orang yang berhubungan dengan pecandu alkohol akan mengalami hal yang sama. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kecanduan alkohol dapat mempengaruhi komponen genetis seseorang; biasanya keturunan pecandu alkohol memiliki kecenderungan empat hingga lima kali lipat untuk juga menjadi pecandu alkohol. Konsekuensinya, seorang pecandu alkohol akan mengalami kerusakan fisik berupa degenerasi (kerusakan) otak, penyakit jantung, hipertensi, defisiensi nutrisi, dan penyakit liver. Hanya sekitar 3% alkohol yang masuk ke dalam tubuh dan akan dikeluarkan; sisanya diolah oleh hati (liver) dan diproses teratur dan diproses dalam lambung serta usus halus. Setelah pola konsumsi alkohol yang teratur dan dalam jumlah besar, liver si pecandu alkohol akan rusak. Hasil akhirnya adalah sirosis liver, malanutrisi akibat penyerapan makanan yang buruk, dan akhirnya berakibat pada kematian.
Disamping itu, untuk jenis alkohol yang mengandung asam karbon (sampanye), lebih cepat meresap ke dalam lambung. Liver mencerna hampir 90% alkohol, sedang sisanya dikeluarkan lewat ginjal, paru-paru, dan kulit. 90% oksigen yang dibutuhkan untuk proses kimia dalam liver dipakai alkohol sehingga mengakibatkan penyempitan sel-sel liver.
Beberapa sumber mengatakan bahwa kebanyakan pecandu alkohol memiliki produksi hormon adrenokortikotropik (adrenocorticotropic hormone/ACTH) yang berkurang. Itu adalah hormon yang memberi sinyal kepada kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon stres. Hampir semua pecandu alkohol mempunyai beberapa bentuk hipoglikemia (kekurangan kadar kalium darah), yang mereka imbangi dengan stimulan. Biasanya orang semacam itu dalam jangka waktu panjang tidak ingin makan. Akibatnya, pecandu alkohol kehabisan stamina dan menggunakan alkohol untuk memperkecil efek adrenalin dan untuk memasok gula.
Setelah melihat besarnya dampak buruk yang diakibatkan oleh alkohol ini, maka patut bagi kita sekarang untuk bersyukur karena ketentuan syariat Islam melarang keras umat muslim mengonsumsi alkohol meskipun kadarnya sangat kecil sekalipun. Dalam hal ini Ahmad, Abu Daud dan Tarmidzi pernah meriwayatkan sebuah hadist:
Minuman apa pun kalau banyaknya itu memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram.
3.        Ketegasan Islam Mengatur Soal Minuman Beralkohol
Begitu ketatnya syariat Islam mengatur tentang minuman beralkohol sampai-sampai melarang meminumnya saja belumlah cukup. Berikut ini hal-hal yang dilarang untuk dikerjakan oleh seorang muslim terkait dengan alkohol:
a.         Bagi seorang muslim memperdagangkan minuman beralkohol adalah haram hukumnya sekalipun dijual pada orang non-muslim. Seorang muslim memang diwajibkan untuk menghormati orang-orang non-muslim untuk mengonsumsi alkohol, yang mana hal itu tidak dilarang oleh agamanya, namun demikian jika hal itu ada sangkut pautnya dengan umat muslim jenis jual beli semacam ini bagi seorang muslim tetap haram hukumnya. Seorang muslim tidak diperkenankan mengimpor, memproduksi, membuka kafe-kafe atau klub-klub yang didalamnya menyediakan minuman alkohol, dan bekerja di tempat-tempat semacam itu. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan:
Sesungguhnya Allah swt telah mengharamkan khamar, maka siapa yang mengetahui ayat ini dan dia masih mempunyai khamar walaupun sedikit, janganlah minum dan jangan menjualnya.
Dalam riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah:
Rasulullah saw melaknat tentang khamar, (terhadap) sepuluh golongan; (1.) yang memerasnya, (2.) yang minta diperaskannya, (3.) yang meminumnya, (4.) yang membawanya, (5.) yang meminta/memesannya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan hasil penjualannya, (9) yang membelinya, (10) yang minta dibelikannya.
b.        Seorang muslim juga dilarang menjual anggur kepada orang yang sudah diketahui bahwa anggur itu akan digunakan untuk membuat minuman beralkohol. Secara tegas masalah ini dinyatakan dalam sebuah hadist:
Siapa menahan anggurnya pada musim-musim panen, kemudian menjualnya kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat khamar, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka.
c.         Memberikan atau menerima hadiah minuman alkohol juga haram hukumnya. Tentang ini Rasulullah saw pernah diberi hadiah seguci alkohol oleh seorang laki-laki, namun beliau menolaknya. Kemudian laki-laki itu berniat menjualnya tapi Rasulullah saw saw melarangnya, begitu juga saat laki-laki itu berniat menghadiahkan minuman itu kepada seorang Yahudi, Rasulullah saw tetap melarangnya juga. Maka laki-laki itu pun bertanya,
Lalu, apa yang harus saya perbuat?”
Rasulullah saw menjawab, ”Tuang ke selokan air.
Berdasarkan sunnah Rasulullah saw, seorang muslim diharuskan meninggalkan tempat pesta alkohol, termasuk duduk-duduk dengan para pemabuk. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ahmad dikatakan:
Siapa beriman kepada Allah swt dan hari akhir janganlah menghadiri suatu pesta yang disitu dihidangkan khamar.
Setiap muslim diperintahkan untuk menghentikan kemungkaran jika menyaksikannya. Tetapi, kalau tidak mampu, dia harus berusaha menyingkir serta menjaga masyarakat dan keluarganya dari pengaruh alkohol.
d.        Sebagian orang berpendapat bahwa minuman beralkohol mengandung obat. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah ditanya seorang laki-laki tentang alkohol. Kemudian Rasulullah saw menjawab, ”Dilarang.” Laki-laki itu berkata, ” Kami memakainya untuk obat.” Maka Rasulullah saw dengan tegas menjawab, ” Ini bukan obat, melainkan penyakit.
Walaupun demikian, ada ulama yang berpendapat, jika sampai terjadi keadaan yang sangat darurat, dimana benar-benar tidak ditemukan obat yang lain selain alkohol sementara nyawa seseorang terancam jika tidak segera diobati, maka berdasarkan kaidah agama yang selalu membuat kemudahan dan menghilangkan beban yang berat, maka berobat dengan alkohol tidaklah dilarang. Namun demikian tetap dengan syarat yang ketat, alkohol hanya diperbolehkan digunakan dengan batasan seminimal mungkin. Ini didasarkan pada penafsiran diperbolehkannya seseorang mengonsumsi daging babi atau bangkai ketika berada dalam kondisi terdesak.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’aam: 145)
2.4      Pentingnya Lembaga Sertifikasi Halal
Salah satu upaya untuk memperoleh makanan yang halal dan baik tentunya bisa dikontrol dan diawasi dengan mudah di negara – negara muslim, seperti Iran jika dibandingkan dengan negara – negara lainnya sekalipun kebanyakan penduduknya muslim seperti di Indonesia. Apalagi di negara- negara yang jelas bukan muslim dan orang islam merupakan minoritas, seperti negara – negara Eropa dan Amerika hal tersebut sulit dilakukan secara individual. Dengan demikian di negara – negara tersebut dirasakan perlunya suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menginformasikan keharaman atau kehalalan suatu produk makanan kepada umat islam tidak terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia lembaga resmi yang berwenang menginformasikan keharaman dan kehalalan suatu produk makanan kepada umat Islam adalah LP POM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat – obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) yang didirikan pada tanggal 6 Januari 1989, berdasarkan Surat Keputusan No. 18/MUI/1989. Lembaga ini dibentuk untuk membentuk Majelis Ulama Indonesia dalam menentukan kebijaksanaan, merumuskan ketentuan – ketentuan rekomendasi dan bimbingan yang menyangkut pangan, obat – obatan dan kosmetika sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain LP POM MUI didirikan agar dapat memberikan rasa tentram pada umat tentang produk yang dikonsumsinya. Lembaga ini mengeluarkan sertifikasi halal ( yaitu fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam ) kepada perusahaan yang mengajukan dan telah lulus dalam uji halal yang dilakukan oleh LP POM MUI sebagaimana tercantum dalam Pedoman Memperoleh Sertifikasi Halal.      
   BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Salah satu aturan atau tuntunan yang ada dalam agama Islam adalah aturan halal (sesuatu yang dibolehkan) dan haram (sesuatu yang dilarang). Aturan tersebut Allah ciptakan demi kebaikan umat manusia. Allah juga memudahkan umat manusia dalam membedakan jenis – jenis makanan dan minuman yang halal dan haram karena telah diatur dan tercantum di dalam Al-Qur’an, selain itu Allah SWT telah memperlihatkan dengan jelas hikmah – hikmah yang dapat kita ambil dari adanya pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman tertentu, yaitu diantaranya apabila kita tetap mendekati (mengkonsumsi) makanan dan minuman yang diharamkan oleh Allah SWT maka kita akan terkena dosa dan kerugian – kerugian lainnya. Untuk memperjelas kepada orang – orang  di Indonesia pada khususnya tentang kehalalan suatu produk makanan, minuman, dan sebagainya di bentuk lembaga sertifikasi halal.
 
3.2    Saran
Dalam penusunan makalah ini, Kami selaku Penulis tentunya mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan – kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata, sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar – besarnya, di karenakan kami masih dalam tarap pembelajaran.
Seperti ada pepatah mengatakan : “ Tak ada gading yang tak retak “. Maka dari itu kami selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah berikutnya sehingga makalah berikutnya lebih sempurna dari pada makalah sebelumnya.
  
DAFTAR PUSTAKA

o    Tim Dosen Pendidikan Agama Islam. 2009. Islam Tuntutan Dan Pedoman Hidup.  Universitas pendidikan Indonesia. Value Press : Bandung.

o    www. almanhaj.or.id. 2007. Makanan Haram. html. majalah As – Sunnah : Bandung.

o    www.blogger.com. 2008. Ratualit  Hikmah Dibalik Pengharaman Minuman Beralkohol.html : Bandung.


o    www. faithfreedom. Org. 2010. hikmah pengharaman babi   Muhammad.html.

o    Halal Guide.htm. 2009. Mengenal Makanan Haram.



o    Admin. 2009. Jenis-jenis Makanan Haram dan Halal « Qur'an dan Sunnah.htm

o    http://al-atsariyyah.com/wp-content/uploads/2008/10/makanan.doc.) Penulis: Redaksi Al Atsariyyah Judul: Makanan Halal & Haram A – Z

o    Anwar. Saepul.2009.  Makanan dan Minuman Dalam Islam. www.mui.or.id

           



1 komentar:

  1. Kalau penyampaian di dalam kelas seperti terurai diatas saya yakin ini akan memberikan sebuah wawasan baru bagi adik-adik kita. Semoga sukses!

    BalasHapus