BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini mempunyai
kekurangan dan kelebihannya masing – masing dan segala sesuatu yang diciptakan
oleh Allah SWT tidak ada yang sia – sia, semuanya mempunyai manfaat dan hikmah.
Allah SWT telah mengatur porsi yang sesuai terhadap segala sesuatu yang ada di
muka bumi ini, misalnya makanan dan minuman dalam Islam tidak sembarangan untuk
dapat di konsumsi, karena tidak semua
makanan dan minuman mengandung banyak manfaat, ada juga makanan dan minuman
yang mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Maka dari itu Allah SWT
telah mengatur dan membatasinya dalam aturan – aturan yang pasti demi kebaikan
manusia. Diantaranya dengan adanya pengharaman terhadap jenis makanan tersebut
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Jelaskan
konsep dasar halal dan haram dalam islam ?
2.
Sebutkan jenis - jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam islam ?
3.
Sebutkan hikmah dibalik pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman dalam islam ?
4.
Jelaskan pentingnya lembaga sertifikasi halal ?
1.3.
Tujuan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu juga bertujuan agar dapat memahami
secara mendalam mengenai :
1.
Konsep dasar
halal dan haram dalam islam.
2.
Jenis - jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam islam.
3.
Hikmah dibalik pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman dalam islam.
4.
Pentingnya lembaga sertifikasi halal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Dasar Halal Dan Haram dalam Islam
Salah satu aturan atau
tuntunan yang ada dalam agama Islam adalah aturan halal (sesuatu yang
dibolehkan) dan haram (sesuatu yang dilarang). Aturan tersebut Allah ciptakan
demi kebaikan umat manusia, bukan semata – mata untuk mengekangnya. Sebagaimana
Sabda Rasulullah SAW : “Apapun yang di
halalkan Allah SWT dalam kitab-Nya adalah halal, dan apapun yang diharamkan
oleh Allah SWT adalah haram. Dan apapun yang tidak disebutkan oleh Allah SWT
maka dia adalah ampunan, terimalah
ampunan Allah karena Allah tidak akan melupakan
apapun”. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW tersebut jelas bahwa halal
dan haram dalam agama itu adalah hak absolut Allah SWT. Artinya manusia
(kecuali Rasul) tidak punya otoritas untuk mengharamkan atau menghalalkan
sesuatu.
Yusuf Qurdhawi
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan halal adalah sesuatu yang tidak
menimbulkan kerugian dan Allah SWT memberikan kewenangan untuk melakukannya.
Sedangkan haram adalah sesuatu yang secara tegas dilarang oleh Allah SWT untuk
dikerjakan dan pelakunya diancam siksa dan hukuman diakhirat.
Diantara perkara yang
halal dan haram tersebut ada perkara yang syubhat, yaitu sesuatu yang dilarang
oleh Allah SWT dengan tidak permanen, tidak memberikan dampak yang merugikan
dan pelakunya tidak diancam dengan hukuman. Walaupun tingkatan larangan Allah
SWT terhadap perkara yang syubhat terbilang lebih rendah dibandingkan yang
haram, tapi jika dianggap enteng atau disepelekan justru akan membawa pelakunya
kepada keharaman.
Pada dasarnya esensi dari segala
hal yang ada di dunia ini adalah boleh atau mubah. Allah SWT berfirman :
“Tidaklah kalian
melihat bahwa Allah telah menundukan untuk kalian apa-apa yang ada di langit
dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian
nikmat-Nya, lahir maupun batin”. (Q.S. Luqman : 20)
Allah SWT sebagai pencipta menetapkan
keputusan halal dan haramnya segala sesuatu itu ada di tangan Allah. Dia
mencabut kewenangan ini dari tangan manusia apapun kedudukan dan statusnya dalam
masyarakat. Dalam Al-Quran surat Yunus ayat 59 Allah SWT secara tegas mencela
orang – orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sekehendak hati
mereka.
Dengan demikian jika manusia
mengharamkan dan menghalalkan sesuatu dengan tanpa legitimasi-Nya berarti telah
melanggar hak dan kewenangan Allah SWT.
Abu
Abdullah Nukman bin Basyir r.a. berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya yang
halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas. Diantara keduanya
terdapat perkara – perkara yang syubhat (tidak terang halal atau haramnya) yang
tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Orang yang memelihara dirinya dari
perkara - perkara yang syubhat itu adalah seperti orang yang melindungi agama
dan kehormatan dirinya dari kekurangan dan cela. Orang yang tergelincir kedalam
perkara syubhat itu akan tergelincir masuk kedalam perkara haram. Laksana
seorang pengembala di pinggir sebuah tempat larangan, yang akhirnya lalai dan
masuk ke dalam tempat larangan itu. Setiap raja mempunyai sebuah tempat
larangan, dan tempat larangan Allah itu adalah hal – hal yang diharamkan-Nya.
Ketauhilah dalam setiap tubuh itu terdapat segumpal daging, jika baik, seluruh
tubuh itu akan baik dan jika rusak maka seluruh tubuh itu akan rusak. Segumpal
daging itu adalah hati”.(Muttafaq ‘Alaih)
Adapun
yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan
atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam ini termasuk wara. Para ulama berbeda pendapat mengenai
pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah. Pada hadist tersebut, sebagian ulama
berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya beradasarkan sabda Rasulullah
SAW : “Barang siapa menjaga dirinya dari yang samar – samar itu, berarti ia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya”. Sebagian lain berpendapat bahwa hal yang syubhat
itu hukumnya halal dengan alasan sabda Rasulullah SAW: “Seperti penggembala yang menggembala disekitar daerah terlarang”. Kalimat ini menunjukan
syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat wara.
Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat tidak dapat dikatakan halal atau
haram, karena Rasulullah SAW menempatkannya diantara halal dan haram, oleh
karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara juga.
Sehubungan dengan perkara yang syubhat, Rasulullah SAW bersabda : “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu
untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu” (H.R. Tirmidzi dan Nasa’i).
Sebagian ulama berpendapat syubhat itu ada
tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya
oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih
diragukan kehalalannya.
3. Seseorang ragu – ragu tentang
sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal.
Sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya bersifat menyeluruh (universal) dalam arti tidak hanya
ditujukan untuk sekelompok orang saja atau tidak hanya ditetapkan pada hal –
hal tertentu saja tetapi segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya adalah haram untuk semua manusia dan begitu pula yang dihalalkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya maka halal untuk semua manusia.
2.2 Jenis – Jenis Makanan Dan Minuman Yang Diharamkan Dalam Islam
Allah SWT mengharamkan semua
makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar dari pada
manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal,
ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat
ditentukan setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh
manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur
penyusun hati dan jasadnya. Allah SWT
berfirman yang artinya : “Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am :
119].
Makanan yang
haram dalam Islam ada dua jenis yaitu :
1.
Makanan yang diharamkan
karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram,
seperti : bangkai, darah, babi,
anjing, khamar, dsb.
2.
Makanan yang diharamkan
karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal
makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang
tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya : makanan dari hasil mencuri, upah perzinaan, sesajen perdukunan,
makanan yang disuguhkan dalam acara - acara yang bid’ah, dsb.
Berikut
ini adalah penjelasan jenis – jenis makanan dan minuman yang diharamkan dalam
islam berdasarkan dzatnya yaitu :
1.
Bangkai
Bangkai
adalah hewan – hewan yang asalnya
halal secara syar’i untuk dimakan, tetapi kemudian mati
bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan
badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap
sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Karena darah yang mengendap dalam tubuh bangkai tersebut kemudian menjadi
sarang tempat berkumpulnya mikroba yang berbahaya bagi tubuh manusia. Menurut
Dr. Adil Khair dalam bukunya al ijtihadat
fi at Tafsir al ’Ilmi menyebutkan beberapa penyakit yang diakibatkan karena
memakan bangkai, yaitu radang dan pembusukan usus dan penyakit – penyakit
pencernaan seperti typus, tetanus, keracunan darah, dan sebagainya.
Allah SWT dalam firman-Nya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
Artinya
:
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS.
Al-Ma`idah: 3)
Dan juga dalam firman-Nya :
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu
memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS.
Al-An’am: 121)
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di
atas yaitu :
1. Al-Munkhaniqoh, yaitu hewan
yang mati karena tercekik baik secara sengaja ataupun
tidak. Seperti karena lehernya terjerat tambang pengikatnya, atau kepalanya
masuk ke dalam lubang sempit,dan sebagainya.
2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang
mati karena dipukul
dengan alat / benda keras hingga
mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan
yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga ia mati.
4. An-Nathihah, yaitu hewan
yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya
sehimgga ia mati.
5. Hewan yang mati karena
dimangsa oleh binatang buas, yaitu hewan yang sebagian
tubuhnya dimakan hewan buas, kemudian mati.
6. Semua hewan yang mati
tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7. Semua hewan yang
disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang
disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan
yang terpotong / terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ
Artinya
:
“Apa-apa
yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka
potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan
dishohihkan olehnya).
Sekalipun
bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan
belalang.
1. Ikan, karena ikan termasuk hewan air dan semua hewan air
adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang, Berdasarkan hadits
Ibnu ‘Umar secara marfu’:
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ
وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Artinya
:
“Dihalalkan untuk
kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan
belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah)
3. Janin yang berada
dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali
An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
Artinya
:
“Penyembelihan
untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya
jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya
halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang. [Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat
point pertama]
Dari jenis bangkai diatas menjadi halal jika sempat disembelih sebelum
mati.Termasuk bangkai hewan yang dimatikan dengan cara sengatan listrik, dengan
peluru, atau dengan pemotong mekanis tanpa menyebut nama Allah SWT.
Rasululah
juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda yang "Artinya : Laut
itu suci airnya dan halal bangkainya" [Shahih.
Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11].
Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no. 480): " Dalam hadits
ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun
terapung di atas air (laut) ? Beliau menjawab : "Sesungguhnya yang
terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah SAW bersabda: "Laut
itu suci airnya dan halal bangkainya" [Hadits
Riwayat Daraqutni : 538]
2. Darah.
Yakni
darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat
145 :
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
Artinya : “Atau darah
yang mengalir”.
Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair.
Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka
merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang
atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian
darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan / minuman. Oleh karena
itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan
limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel
pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah
darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak
ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari
Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
3. Daging babi.
Dalam surah Al - Ma`idah ayat 3 dijelaskan tentang keharaman daging babi yaitu mencakup seluruh
bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya, baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Tentang
keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama.
Babi diharamkan karena babi adalah hewan yang
sangat menjijikan dangan mengandung penyakit yang sangat berbahaya. Makanan kesukaan hewan
ini adalah barang-barang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya
dalam setiap iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam
percobaan. Makan daging babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal
yang dapat mematikan. Penelitian telah membuktikan bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak
negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan
penduduk negeri yang biasa makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan
adanya penyakit ganas yang sulit pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari
penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah
3/394-395]
Menurut Al Imam Muhammad ‘Abdulah
juga dinyatakan ketika beliau berkunjung ke Prancis sebagaimana yang dikutip
oleh Syekh Fauzi Muhammad dalam bukunya Maidah
al Muslim baina al Din waal ‘ilm. Bahwa “ Hal ini penting untuk diketahui,
terutama oleh pemuda – pemuda kita yang sering pergi ke negara – negara Eropa
dan Amerika, dimana babi merupakan makanan pokok dalam hidangan mereka. Disana,
hal ini saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Al – Imam Muhammad
‘Abduh mengunjungi Prancis. Mereka bertanya mengenai rahasia diharamkannya babi
dalam islam. Mereka bertanya kepada imam, “kamu
(umat islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang
mengandung cacing pita, mikroba – mikroba dan bakteri – bakteri lainnya.
Hal ini sekarang sudah tidak ada. Babi –
babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses
sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi – babi itu terjangkit cacing
pita atau bakteri dan mikroba lainnya? Tuan lihat, kami melakukan pemeriksaan kesehatan
secara periodik, dan melakukan beberapa pengobatan secara teratur.’ Imam
Muhammad ‘Abduh meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan dan satu
ayam betina, serta dua ekor babi jantan dan satu babi betina. Mereka bertanya,
‘Untuk apa ?’ Beliau menjawab, ‘ Penuhi
apa yang saya minta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia’. Kemudian
beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam
betina. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh. Keduanya berusaha
mendapatkan ayam betina untuk dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya
hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut. Kemudian memerintahkan
melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka
menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan
untuk melaksanakan hajatnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau
keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Maka beliau berkata, ‘saudara – saudara daging babi membunuh
ghirah orang yang memakannya, itulah yang terjadi pada anda. Seorang laki –
laki dari kalian melihat istrinya bersama laki – laki lain, dan membiarkannya
tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak diantara kalian melihat anak perempuannya
bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu dan was –
was, karena daging babi itu menularkan sifat – sifatnya pada yang memakannya.’
. . . . itulah hukum Allah.
Pengharaman babi juga diperkuat oleh penelitian ilmiah modern di dua negara
Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia yang menyatakan bahwa daging babi
merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Presentase negara – negara
penduduknya memakan babi meningkat secara drastis, terutama di negara – negara
Eropa dan Amerika, serta negara – negara Asia (seperti Cina dan India).
Sementara itu, di negara – negara Islam presentasenya amat rendah,
sekitar1/1000 . Hasil penelitian ini dipublikasikan pada tahun 1986, pada
konfrensi Tahunan Sedunia Penyakit Alat pencernaan, yang diadakan di solo
Paulo.
Fauzan Muhammad mengingatkan bahwa pengharaman tersebut tidak hanya daging
babi saja, namun juga semua makanan yang di proses dengan lemak babi, seperti
beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya
disiram dengan lemak babi.
4.
Sembelihan Untuk Selain Allah
Yakni
setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena
Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia.
Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama
selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum
sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama. Pengharaman makanan jenis ini bukan sebatas pada
aspek fisik hewan tersebut tetapi pada unsur ruhiyah yaitu penyembahan kepada
selain Allah sebagaimana yang dinyatakan Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fial Zhilal al ur’an.
5.
Hewan Yang Diterkam Binatang
Buas
Yakni
hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya
kemudian mati
karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian
lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama.
Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas
baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu
bagi kaum mukminin.
Al-Mauqudhah,
Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang diterkam binatang
buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya
masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka
hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.
6.
Binatang Buas Bertaring
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw
bersabda: “Setiap binatang buas yang
bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933).
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan
Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam
I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab”
yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia
seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan
sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam
Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas
yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja
adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr,
I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh
Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa
kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya.
Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya.
Demikianpula anjing, gajah dan
seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya).
Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk
binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang
adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku
pernah bertanya kepada Jabir tentang musang,
apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah
boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah
? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191)
dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-
Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan
di atas? Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa
tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk
kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf
(kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri
dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam
At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28).
Sahabat
Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- juga berkata:
أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ
ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
“Sesungguhnya
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua
hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Dan
dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang
bertaring maka memakannya adalah haram”.
Yang
diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan
taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat
Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
Jumhur
ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain
yang semakna dengannya. [Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh
Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)].
7.
Burung Yang Berkuku Tajam dan
Memiliki Cakar
Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam”
(HR Muslim no. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga
setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”.
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini
terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas
ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang
berkuku tajam.”
Selain itu semua burung yang memiliki cakar yang
kuat yang bisa memangsa dengan cakarnya, seperti: elang dan rajawali pula maka diharamkan pula oleh Islam. Jumhur ulama
dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan
pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma- yaitu :
نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ
ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
“Beliau
(Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung
yang memiliki cakar”. (HR. Muslim) [Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni'
(3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]
8.
Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)
Hal ini
berdasarkan hadits :
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah
melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan
daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain
disebutkan begini : “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan
khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari
kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban
(5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu
Sunnah no. 2811).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur
ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan
hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka
hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam
Syaukani).
Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali,
Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan
hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan
sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata
kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij
berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam
(4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).
Menurut ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu
‘anhuma- berkata :
نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله
عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ
“Kami
menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu
kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka
ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Ini
adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah
satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul
Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam
Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam
Al-Bidayah (1/3440).
[Mughniyul
Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18),
dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]
9.
Baghol.
Dia
adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu
‘anhuma- berkata:
حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي
يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ
“Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging
keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)
Dan
ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang
halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir
(11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)].
10.
Al-Jallalah
Al-Jallalah
yaitu hewan – hewan baik itu unta, kambing, sapi, ayam, itik, dll yang memakan
atau makanan pokoknya adalah kotoran – kotoran seperti kotoran manusia ataupun
hewan. (Fahul Bari 9/648). Sebagian ulama menyatakan bahwa pelarangan hewan
jallalah oleh Rasulullah hanya sampai pada makruh tidak haram. Dalam sebuah
hadist riwayat Ahmad disebutkan bahwa rasulullah
SAW melarang dari keledai jinak (khimar ahliah) dan jallalah, baik mengendarainya ataupun memakannya. Sebab
diharamkannya jallalah adalah
perubahan bau dan rasa daging serta susunya. Pengecualian, jika hewan tersebut
dikandangi, dijauhi dari kotoran, dan diberi makanan yang bersih dan suci,
sehingga dagingnya menjadi baik tidak lagi haram hukumnya, bahkan halal secara
yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Hewan Jallalah menurut Syekh Fauzi
Muhammad jika dikandangi selama 40 hari bagi unta, tiga puluh hari bagi sapi,
tujuh hari bagi kambing, dan tiga hari bagi ayam hilang kemakruhan atau
keharamannya.
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian
menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jallalah perlu diteliti.
Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini
tidak termasuk kategori jallalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas
Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied
dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal,
Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu
Hajar).
Selain itu berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah
melarang dari jalalah unta untuk dinaiki.
(HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan :
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ
الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah melarang dari
memakan jallalah
dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan
jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan
Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Diharamkannya jalallah adalah perubahan bau
dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang
membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan
hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu
Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelehnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau
kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci
menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam
Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
Jadi kesimpulannya pengharaman jallalah
yaitu :
1.
Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam
kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan
yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya.
Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa
semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’ (3/529).
2.
Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga
isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya
saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang
benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar.
Lihat Al-Majmu’ (9/28).
[Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj
(4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
11. Ad -Dhab (Hewan Sejenis Biawak)
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata : Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan
sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa
Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari
Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas
berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits
Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya
dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)
12. Hewan Yang
Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang
hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing
hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking:
gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap
binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada
sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan
tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh
Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh
tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr
berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman
memakannya”.
13. Hewan Yang Dilarang Untuk
Dibunuh
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan :
semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu
Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan
Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya
mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan,
karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat
Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu
sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati
keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir
6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya
seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan
obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269),
Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu
Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan
beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i.
Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa
seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35)
, Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul
Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
14. Binatang Yang
Hidup Di Dua Alam
Sejauh Ini Belum Ada Dalil Dari Al Qur’an Dan Hadits Yang Shahih
Yang Menjelaskan Tentang Haramnya Hewan Yang Hidup Di Dua Alam (Laut Dan
Darat). Dengan Demikian Binatang Yang Hidup Di Dua Alam Dasar Hukumnya “Asal
Hukumnya Adalah Halal Kecuali Ada Dalil Yang Mengharamkannya.
Berikut Contoh Beberapa Dalil Hewan Hidup Di Dua Alam :
Kepiting – Hukumnya Halal Sebagaimana Pendapat Atha’ Dan Imam
Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 Oleh Ibnu Qudamah Dan Al-Muhalla 6/84 Oleh Ibnu
Hazm).
Kura-Kura Dan Penyu – Juga Halal Sebagaimana Madzab Abu Hurairah,
Thawus, Muhammad Bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri Dan Fuqaha’ Madinah. (Lihat
Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah Dan Al-Muhalla (6/84).
Anjing Laut – Juga Halal Sebagaimana Pendapat Imam Malik, Syafe’i,
Laits, Syai’bi Dan Al-Auza’i (Lihat Al-Mughni 13/346).
Katak/Kodok – Hukumnya Haram Secara Mutlak Menurut Pendapat Yang Rajih Karena Termasuk
Hewan Yang Dilarang Dibunuh Sebagaimana Penjelasan Di Atas.
15. Anjing.
Para
ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan
hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah
berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya
Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]“.
Dan
telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim
dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan
anjing. [Al-Luqothot point ke-12]
16. Kucing baik yang jinak
maupun yang liar.
Jumhur
ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang
bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh
Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim
akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.
[Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]
17. Monyet.
Ini
merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah,
Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet
adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang
bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan
setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa
memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai
hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa
monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis
dia tergolong hewan yang khobits (jelek)” [13]. [Al-Luqothot point ke-13]
18. Gajah.
Madzhab
jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang
bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby,
Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-. [Al-Luqothot point ke-14]
19. Musang
(arab: tsa’lab)
Halal,
karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa
manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan
yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan
salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299),
Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
20. Hyena/kucing
padang pasir (arab: Dhib’un)
Pendapat
yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam
Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau
berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan
buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh
memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan
ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“.
Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy
dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).
Pendapat
ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam
Asy-Syaukany.
Adapun
jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring,
maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang
mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus
lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman
hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in
(2/117).
[Mughniyul
Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
21. Kelinci.
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin
Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ
أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya
beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa
potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun
yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr
ibnul ‘Ash”. [Al-Luqothot point ke-16]
22. Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]).
Pendapat
yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa
dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- tentang biawak:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah
dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”.
(HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun
keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan
beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau
khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“Tidak
apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini
yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul
Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
23. Ash-shurod,
kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima
hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-,
beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ
الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan
hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun
larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan
semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin
seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. [Al-Luqothot point ke-19
s/d 23]
24. Kalajengking,
ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena
semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan
adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk
dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali
lewat proses penyembelihan yang syar’iy.
Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ
وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ
وَالْحُدَيَّا
“Ada
lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah
halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang,
tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun
tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari
hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek).
[Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil,
dan kelelawar.
Imam
Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal
memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak),
kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan
mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”,
dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas
dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa
dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan
pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa
menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya
adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih”
[16]. [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]
26. Khamar.
Secara
bahasa Khamar adalah “manutup”. Khamar dapat menutupi akal, maksudnya peminum
khamar akan mengalami kehilangan akal sehat. Karenanya makanan dan minuman yang
dapat menyebabkan tertutupnya akal dinamai juga khamar. Yang dimsaksud khamar
disini adalah setiap minuman yang memabukan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap yang memabukan adalah khamr dan
setiap khamr itu diharamkan ” (H.R. Ahmad). Mengenai sifat khamar menutupi
atau mengacaukan akal dijelaskan oleh sabda Rasulullah SAW berikut :
“Kemudian daripada itu, wahai manusia!
sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamr. Ia terbuat dari
salah satu 5 unsur : anggur, kurma, madu, jagung, dan gandum. Khamr itu adalah
sesuatu yang mengacaukan akal” (H.R. Bukhari)
Pengharaman
khamr dalam islam dilakukan secara bertahap. Menurut para ulama ada empat ayat
yang turun berkenaan dengan khamr, yaitu :
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat
minuman yang memabukan dan rezeki yang baik” (Q.S Al Nahl [16] :67)
Saat
ayat ini diturunkan umat islam biasa meminum khamr karena ayat tersebut tidak
menunjukan pengharaman. Selanjutnya Umar, Mu’adz, dan sahabat lainnya datang
kepada rasulullah, dan berkata, “wahai
Rasulullah, berilah fatwa kepada kami tentang khamr, karena ia dapat
menghilangkan dan akan merusak harta
”. Saat itu turun wahyu “Mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : “ pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya. . .” (Q.S al Baarah [2] : 219)
Dengan
turunnya ayat tersebut sebagian umat islam meninggalkannya tetapi sebagian lagi
masih meminumnya. Wahyu ketiga berkenaan dengan khamr turun ketika beberapa
sahabat yang sedang mabuk melaksanakan shalat dan salah dalam membaca surat al
Kafirun menjadi, “katakanlah, “wahai
orang – orang kafir saya menyembah
apa yang kamu sembah”. Kemudian turunlah ayat :
“Janganlah
kamu Shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk . . .” (Q.S Al Nisa [4] :43).
Setelah
ayat ini turun, makin sedikitlah orang – orang yang meminum khamr. Ayat
terakhir tentang khamr sekaligus penegasan tentang pengharamannya turun ketika
terjadi pertengkaran antara kaum anshar dan muhajirin yang dipicu oleh Sa’ad
bin Abi waqas salah satu tokoh muhajirin yang dalam keadaan mabuk secara tidak
sadar membacakan puisi yang mengejek kaum anshar. Ia dipukul dengan tulang dagu
unta oleh salah seorang anshar sampai terluka. Kemudian ia mengadu kepada
Rasulullah Saw. Lalu Umar r.a. berdo’a, “ya
allah jelaskanlah kepada kami mengenai khamr dengan penjelasan yang memuaskan
. . . .” Kemudian turunlah firman Allah SWT :
“Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah [434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan –
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran
(meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang ; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S.
Almaidah [5] : 90 – 91).
Yang
termasuk ke dalam khamr adalah semua jenis minuman yang mengandung alkohol
karena sifatnya yang memabukan. Dan bukan alkoholnya yang haram melainkan
diharamkan pada minuman yang mengandung alkohol.. Pengharaman khamr tidak
terbatas pada penggunaannya sebagai minuman termasuk juga ketika khamr dalam
hal jenis arak digunakan dalam makanan sebagai bahan penyedap. Saat ini banyak
jenis – jenis makanan yang menggunakan arak sebagai penyedap rasa, tak
terkecuali di indonesia sebagaimana dilaporkan dalam beberapa artikel di
internet, jenis arak yang digunakan misalnya dalam makanan Cina, Jepang, beberapa
mie goreng, ikan bakar, bahkan daging panggang adalah arak putih, arak
merah,dsb. Arak – arak yang digunakan tersebut di Indonesia di impor dari Cina,
Jepang, Singapura dan ada juga buatan lokal dengan menggunakan perasan tape
ketan yang difermentasi lanjut (anggur tape). Rasulullah Saw menyatakan bahwa
khamr menyebabkan kerusakan bagi manusia, karena sedikit atau banyaknya kadar
tetap dilarang. Khamr dapat mengganggu stabilitas akal dan menghilangkan fungsi
– fungsi saraf.
Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90
Dan
dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara
marfu’:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
“Semua
yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”.
Dikiaskan
dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal
(mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.
2.3
Hikmah Dibalik Pengharaman Beberapa Jenis Makanan dan Minuman Islam
Hikmah
yang dapat kita ambil dari pengharaman beberapa jenis makanan dan minuman
tertentu dalam Islam, secara umum diantaranya yaitu umat manusia pada khususnya
umat Islam akan terhindar dari berbagai masalah yang berhubungan dengan
kesehatan dan sosial, serta hidup manusia akan lebih baik, terkontrol, dan bisa
melatih kita dalam memilih dan memilah segala sesuatu yang ada di muka bumi
ini, pada khususnya dalam hal makanan dan minuman.
Contoh:
1.
Hikmah
dibalik pengharaman daging babi
Sebuah kejadian yang berlangsung ketika
Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai
rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam,
"Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah
yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal
itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern,
dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana
mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba
lainnya.?"
Imam
Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya
beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam
betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.
Mengetahui
hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab,
"Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu
rahasia."
Mereka
memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua
ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam
jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi
dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu
memerintahkan agar mengurung kedua
ayam tersebut kemudian
beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan
satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu
membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa
cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari
temannya.
Selanjutnya
beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang
memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat
isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan
seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing,
dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi
itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."
Kemudian
beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam
mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita,
yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin
menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar
mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang
dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang
mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada
manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum
Allah, seperti itulah hikmah Allah.
Ilmu
pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan
mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr. Murad Hoffman,
seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian
Muslim Jerman", halaman 130-131: "Memakan daging babi yang
terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan
meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein
dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi
kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza
yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi? "Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya
Ijtihâdât fi at Tafsîr al Qur'an al Karîm, halaman 112, menyebutkan beberapa
penyakit yang disebabkan oleh daging babi: "Daging babi mengandung
benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan
berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Patut dicatat,
hingga saat ini, generasi babi belum terbebaskan dari cacing-cacing ini.
Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:
a.
Kolera
babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
b.
Keguguran
nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
c.
Kulit
kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan
yang kedua menyebabkan gangguan persendian
d.
Penyakit
pengelupasan kulit.
e.
Benalu
eskares, yang berbahaya bagi manusia.
2. Hikmah di balik pengharaman minuman beralkohol
Sejatinya Allah swt telah
memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengonsumsi makanan dan
minuman yang baik-baik dari sebagian karunia-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah
saw:
”Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Allah swt itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik, dan
Allah swt memerintahkan kepada hamba-Nya apa-apa yang diperintahkan kepada
Rasul-rasul-Nya.”
Sungguh, salah satu kebaikan dalam
Islam yang dibawanya untuk kepentingan umat manusia adalah Islam tidak akan
mengharamkan sesuatu, kecuali memberikan ganti (way out) yang lebih baik
guna mengatasi kebutuhannya itu. Allah swt telah mengharamkan minuman
beralkohol, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat
dan cukup berguna bagi kesehatan rohani serta jasmani, seperti susu dan madu.
Begitulah, kalau kita ikuti dengan
seksama keseluruhan hukum Islam akan kita jumpai disitu bahwa pelarangan
sebagian makanan dan minuman oleh Allah swt tersebut tidaklah dimaksudkan untuk
memberikan suatu kesempitan kepada hamba-hamba-Nya. Lagipula kalau kita mau
berpikir jauh, sesungguhnya dibalik beberapa hal yang diharamkan oleh Allah swt
itu sejatinya telah tersimpan sebab dan hikmat yang sangat luar biasa. Berikut
ini akan kita lihat betapa Maha Penyayangnya Allah swt terhadap hamba-hamba-Nya
dibalik keberadaan minuman beralkohol.
Minuman alkohol atau yang seringkali
disebut dengan khamar dalam bahasa Arab, merupakan jenis minuman yang
memabukkan dan menghilangkan akal orang yang meminumnya. Orang Arab Jahiliyah
selalu menganggap khamar sebagai sesuatu yang istimewa. Ini dapat
dibuktikan dalam syair-syair mereka yang memuji-muji khamar,
sloki-sloki, pertemuan-pertemuan dan sebagainya. Tidak kurang dari 100 nama
dibuat untuk mensifati khamar itu.
Setelah Islam datang, secara bertahap
minuman beralkohol mulai dilarang. Pertama, dengan cara menerangkan bahayanya
minuman beralkohol sekalipun didalamnya juga terkandung manfaat, kemudian kadar
larangan ditingkatkan menjadi larangan mengerjakan shalat ketika sedang mabuk,
dan terakhir baru Allah swt menurunkan ayat-ayat-Nya secara tegas dan
menyeluruh:
”Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: ’Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagimu, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’....” (QS. Al Baqarah: 219)
”Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu shalat, sedangkan dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan....” (QS. An Nisaa’: 43)
”Hai orang yang beriman,
sesungguhnya khamar, judi, berhala dan mengundi dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah swt dan sembahyang; maka
berhentilah kamu.” (QS. Al Maa-idah: 90-91)
Dampak Negatif Alkohol yaitu :
Telah banyak Negara mengakui bahayanya minuman beralkohol. Alkohol selalu
mempunyai efek samping berbahaya dan menyebabkan kerusahan fisik serta sosial.
Sayangnya usaha pemberantasannya tak selalu berhasil baik. Di Amerika Serikat,
misalnya, sebetulnya negara ini telah berusaha memberantas ketergantungan
masyarakatnya terhadap alkohol dengan cara mengesahkan Undang-undang yang berkaitan
dengan pembatasan minuman beralkohol, namun demikian agaknya usaha ini masih
mengalami kegagalan. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil survey yang
menyatakan bahwa lebih dari 18 juta warga Amerika Serikat ternyata telah
menjadi pecandu alkohol. Akibatnya, secara finansial, pemerintah Amerika
Serikat mengalami kerugian lebih dari 17 miliar dollar akibat masalah-masalah
kejiwaan/mentalitas, kekacauan dalam rumah tangga (broken home), dan
kesemrawutan tatanan sosial.
Majalah ’Lants’, London, juga
menyebutkan bahwa sekitar 200 ribu orang telah meninggal dalam satu tahun di
Inggris disebabkan oleh alkohol. Sementara kerugian finansial yang dialami oleh
Inggris akibat masalah-masalah sosial yang mengikutinya diperkirakan mencapai 2
milyar poundsterling per tahun.
Menurut Dr. Peter J. D’Adamo dalam
bukunya yang berjudul ”Eat Right for Your Type”, setiap orang yang
berhubungan dengan pecandu alkohol akan mengalami hal yang sama. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa kecanduan alkohol dapat mempengaruhi komponen
genetis seseorang; biasanya keturunan pecandu alkohol memiliki kecenderungan
empat hingga lima kali lipat untuk juga menjadi pecandu alkohol.
Konsekuensinya, seorang pecandu alkohol akan mengalami kerusakan fisik berupa
degenerasi (kerusakan) otak, penyakit jantung, hipertensi, defisiensi nutrisi,
dan penyakit liver. Hanya sekitar 3% alkohol yang masuk ke dalam tubuh dan akan
dikeluarkan; sisanya diolah oleh hati (liver) dan diproses teratur dan diproses
dalam lambung serta usus halus. Setelah pola konsumsi alkohol yang teratur dan
dalam jumlah besar, liver si pecandu alkohol akan rusak. Hasil akhirnya adalah
sirosis liver, malanutrisi akibat penyerapan makanan yang buruk, dan akhirnya
berakibat pada kematian.
Disamping itu, untuk jenis alkohol
yang mengandung asam karbon (sampanye), lebih cepat meresap ke dalam lambung.
Liver mencerna hampir 90% alkohol, sedang sisanya dikeluarkan lewat ginjal,
paru-paru, dan kulit. 90% oksigen yang dibutuhkan untuk proses kimia dalam
liver dipakai alkohol sehingga mengakibatkan penyempitan sel-sel liver.
Beberapa sumber mengatakan bahwa
kebanyakan pecandu alkohol memiliki produksi hormon adrenokortikotropik (adrenocorticotropic
hormone/ACTH) yang berkurang. Itu adalah hormon yang memberi sinyal kepada
kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon stres. Hampir semua pecandu alkohol
mempunyai beberapa bentuk hipoglikemia (kekurangan kadar kalium darah), yang
mereka imbangi dengan stimulan. Biasanya orang semacam itu dalam jangka waktu
panjang tidak ingin makan. Akibatnya, pecandu alkohol kehabisan stamina dan
menggunakan alkohol untuk memperkecil efek adrenalin dan untuk memasok gula.
Setelah melihat besarnya dampak buruk
yang diakibatkan oleh alkohol ini, maka patut bagi kita sekarang untuk
bersyukur karena ketentuan syariat Islam melarang keras umat muslim mengonsumsi
alkohol meskipun kadarnya sangat kecil sekalipun. Dalam hal ini Ahmad, Abu Daud
dan Tarmidzi pernah meriwayatkan sebuah hadist:
”Minuman apa pun kalau banyaknya itu memabukkan, maka sedikitnya pun adalah
haram.”
3.
Ketegasan Islam Mengatur Soal Minuman Beralkohol
Begitu ketatnya syariat Islam mengatur tentang minuman beralkohol
sampai-sampai melarang meminumnya saja belumlah cukup. Berikut ini hal-hal yang
dilarang untuk dikerjakan oleh seorang muslim terkait dengan alkohol:
a.
Bagi seorang muslim memperdagangkan minuman beralkohol adalah haram
hukumnya sekalipun dijual pada orang non-muslim. Seorang muslim memang
diwajibkan untuk menghormati orang-orang non-muslim untuk mengonsumsi alkohol,
yang mana hal itu tidak dilarang oleh agamanya, namun demikian jika hal itu ada
sangkut pautnya dengan umat muslim jenis jual beli semacam ini bagi seorang
muslim tetap haram hukumnya. Seorang muslim tidak diperkenankan mengimpor,
memproduksi, membuka kafe-kafe atau klub-klub yang didalamnya menyediakan
minuman alkohol, dan bekerja di tempat-tempat semacam itu. Sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim menyatakan:
”Sesungguhnya Allah swt telah mengharamkan khamar, maka
siapa yang mengetahui ayat ini dan dia masih mempunyai khamar walaupun sedikit,
janganlah minum dan jangan menjualnya.”
Dalam
riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah:
”Rasulullah saw melaknat tentang khamar, (terhadap)
sepuluh golongan; (1.) yang memerasnya, (2.) yang minta diperaskannya, (3.) yang
meminumnya, (4.) yang membawanya, (5.) yang meminta/memesannya, (6) yang
menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan hasil penjualannya, (9) yang
membelinya, (10) yang minta dibelikannya.”
b.
Seorang muslim juga dilarang menjual anggur kepada orang yang sudah
diketahui bahwa anggur itu akan digunakan untuk membuat minuman beralkohol.
Secara tegas masalah ini dinyatakan dalam sebuah hadist:
”Siapa menahan anggurnya pada musim-musim panen, kemudian
menjualnya kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat
khamar, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka.”
c.
Memberikan atau menerima hadiah minuman alkohol juga haram hukumnya.
Tentang ini Rasulullah saw pernah diberi hadiah seguci alkohol oleh seorang
laki-laki, namun beliau menolaknya. Kemudian laki-laki itu berniat menjualnya
tapi Rasulullah saw saw melarangnya, begitu juga saat laki-laki itu berniat
menghadiahkan minuman itu kepada seorang Yahudi, Rasulullah saw tetap
melarangnya juga. Maka laki-laki itu pun bertanya,
”Lalu, apa yang harus saya perbuat?”
Rasulullah saw menjawab, ”Tuang
ke selokan air.”
Berdasarkan sunnah Rasulullah
saw, seorang muslim diharuskan meninggalkan tempat pesta alkohol, termasuk
duduk-duduk dengan para pemabuk. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ahmad
dikatakan:
”Siapa beriman kepada Allah swt dan hari akhir janganlah
menghadiri suatu pesta yang disitu dihidangkan khamar.”
Setiap muslim diperintahkan
untuk menghentikan kemungkaran jika menyaksikannya. Tetapi, kalau tidak mampu,
dia harus berusaha menyingkir serta menjaga masyarakat dan keluarganya dari
pengaruh alkohol.
d.
Sebagian orang berpendapat bahwa minuman beralkohol mengandung obat. Dalam
hal ini Rasulullah saw pernah ditanya seorang laki-laki tentang alkohol.
Kemudian Rasulullah saw menjawab, ”Dilarang.” Laki-laki itu berkata, ” Kami
memakainya untuk obat.” Maka Rasulullah saw dengan tegas menjawab, ” Ini
bukan obat, melainkan penyakit.”
Walaupun
demikian, ada ulama yang berpendapat, jika sampai terjadi keadaan yang sangat
darurat, dimana benar-benar tidak ditemukan obat yang lain selain alkohol
sementara nyawa seseorang terancam jika tidak segera diobati, maka berdasarkan
kaidah agama yang selalu membuat kemudahan dan menghilangkan beban yang berat,
maka berobat dengan alkohol tidaklah dilarang. Namun demikian tetap dengan
syarat yang ketat, alkohol hanya diperbolehkan digunakan dengan batasan
seminimal mungkin. Ini didasarkan pada penafsiran diperbolehkannya seseorang
mengonsumsi daging babi atau bangkai ketika berada dalam kondisi terdesak.
”Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’aam: 145)
2.4
Pentingnya Lembaga Sertifikasi Halal
Salah satu upaya untuk memperoleh makanan yang halal dan baik
tentunya bisa dikontrol dan diawasi dengan mudah di negara – negara muslim,
seperti Iran jika dibandingkan dengan negara – negara lainnya sekalipun
kebanyakan penduduknya muslim seperti di Indonesia. Apalagi di negara- negara
yang jelas bukan muslim dan orang islam merupakan minoritas, seperti negara –
negara Eropa dan Amerika hal tersebut sulit dilakukan secara individual. Dengan
demikian di negara – negara tersebut dirasakan perlunya suatu lembaga yang
memiliki kewenangan untuk menginformasikan keharaman atau kehalalan suatu
produk makanan kepada umat islam tidak terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia lembaga resmi yang berwenang menginformasikan
keharaman dan kehalalan suatu produk makanan kepada umat Islam adalah LP POM
MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat – obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia) yang didirikan pada tanggal 6 Januari 1989, berdasarkan Surat
Keputusan No. 18/MUI/1989. Lembaga ini dibentuk untuk membentuk Majelis Ulama
Indonesia dalam menentukan kebijaksanaan, merumuskan ketentuan – ketentuan
rekomendasi dan bimbingan yang menyangkut pangan, obat – obatan dan kosmetika
sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain LP POM MUI didirikan agar dapat
memberikan rasa tentram pada umat tentang produk yang dikonsumsinya. Lembaga
ini mengeluarkan sertifikasi halal ( yaitu fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syari’at Islam ) kepada perusahaan yang mengajukan
dan telah lulus dalam uji halal yang dilakukan oleh LP POM MUI sebagaimana
tercantum dalam Pedoman Memperoleh Sertifikasi Halal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu aturan atau tuntunan yang ada
dalam agama Islam adalah aturan halal (sesuatu yang dibolehkan) dan haram
(sesuatu yang dilarang). Aturan tersebut Allah ciptakan demi kebaikan umat
manusia.
Allah juga memudahkan umat manusia dalam membedakan jenis – jenis makanan dan
minuman yang halal dan haram karena telah diatur dan tercantum di dalam
Al-Qur’an, selain itu Allah SWT telah memperlihatkan dengan jelas hikmah –
hikmah yang dapat kita ambil dari adanya pengharaman beberapa jenis makanan dan
minuman tertentu, yaitu diantaranya apabila kita tetap mendekati (mengkonsumsi)
makanan dan minuman yang diharamkan oleh Allah SWT maka kita akan terkena dosa
dan kerugian – kerugian lainnya. Untuk memperjelas kepada orang – orang di Indonesia pada khususnya tentang kehalalan
suatu produk makanan, minuman, dan sebagainya di bentuk lembaga sertifikasi
halal.
3.2 Saran
Dalam penusunan makalah ini, Kami selaku Penulis tentunya mengalami
banyak kekeliruan dan kesalahan – kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata,
sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untuk itu
kami mohon maaf yang sebesar – besarnya, di karenakan kami masih dalam tarap
pembelajaran.
Seperti ada pepatah mengatakan : “
Tak ada gading yang tak retak “. Maka dari itu kami selaku penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami bisa lebih baik
lagi dalam pembuatan makalah berikutnya sehingga makalah berikutnya lebih
sempurna dari pada makalah sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
o
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam. 2009. Islam Tuntutan Dan
Pedoman Hidup. Universitas pendidikan Indonesia. Value Press : Bandung.
o
www. almanhaj.or.id. 2007. Makanan Haram. html. majalah
As – Sunnah : Bandung.
o www.blogger.com. 2008. Ratualit Hikmah Dibalik Pengharaman Minuman Beralkohol.html : Bandung.
o
www.
faithfreedom. Org. 2010. hikmah pengharaman babi Muhammad.html.
o Halal Guide.htm. 2009. Mengenal Makanan Haram.
o
Admin. 2009. Jenis-jenis Makanan Haram
dan Halal « Qur'an dan Sunnah.htm
o
http://al-atsariyyah.com/wp-content/uploads/2008/10/makanan.doc.)
Penulis: Redaksi Al Atsariyyah Judul: Makanan Halal & Haram A – Z
o
Anwar. Saepul.2009. Makanan dan Minuman Dalam Islam. www.mui.or.id
Kalau penyampaian di dalam kelas seperti terurai diatas saya yakin ini akan memberikan sebuah wawasan baru bagi adik-adik kita. Semoga sukses!
BalasHapus